Mengenal Kardinal Pietro Parolin

Kardinal Pietro Parolin, ahli Hukum Kanonik, dan pakar tentang Asia yang telah lebih dari 20 tahun menjadi diplomat Vatikan. - Wikipedia.
Kardinal Pietro Parolin, ahli Hukum Kanonik, dan pakar tentang Asia yang telah lebih dari 20 tahun menjadi diplomat Vatikan. - Wikipedia.

Oleh: Thomas Ch. Syufi*

Inilah arsitek dan aktor di balik suksesnya diplomasi Paus Fransiskus selama hampir 13 tahun masa pontifikal/ kepausannya. Dia adalah Kardinal Pietro Parolin, ahli Hukum Kanonik, dan pakar tentang Asia yang telah lebih dari 20 tahun menjadi diplomat Vatikan.

Ia pernah menjadi utusan Paus untuk urusan Amerika Latin dan Afrika, termasuk Meksiko dan Nigeria, pernah menjadi Nuntius Apostolik (Duta Besar Vatikan) untuk Venezuela.

Bacaan Lainnya

Ia pernah menjadi Wakil Menteri Luar Negeri di bawah Kardinal asal Prancis Pierre Jean-Louis Tauran (Menlu Vatikan) dan pernah menjadi Wakil Menteri Sekretaris Negara di bawah Kardinal asal Italia Angelo Sodano.

Dan pada tahun 2013, Parolin resmi diangkat Paus Fransiskus menjadi Menteri Luar Negeri Vatikan.

Ia termasuk sukses dalam mewakili Tahta Suci dalam mengurus aliran politik luar negeri, dari negara mungil punya pengaruh global yang terbentang di kota Roma itu– berlandaskan nilai-nilai moral dan cinta kasih yang menjadi jantung Kekristenan.

Karena memang Vatikan adalah negara yang tidak punya hubungan kerja sama perdagangan, ekonomi, politik, militer, dll dengan negara lain, kecuali kerja sama di bidang keagamaan, budaya, dan perdamaian/ kemanusiaan.

Parolin sukses terlibat dalam berbagai negosiasi dan sejumlah perundingan internasional, untuk penyelesaian aneka konflik. Juga melahirkan berbagai konsensus, dan keputusan-keputusan penting tentang keadilan, perdamaian, dan kemanusiaan.

Parolin juga menjadi Utusan Khusus Paus Fransiskus untuk urusan Ukraina selama 28 bulan.

Parolin menormalisasi hubungan Gereja Katolik dengan negara-negara Komunis di Asia maupun sosialis di Amerika Latin.

Misalnya, dibukanya Keuskupan di Tiongkok (RRT), meminimalisir tindakan pembatasan dan penganiayaan terhadap umat Kristen di Cina dan Kamboja adalah buah diplomasi Parollin. Namun itu tetap diakui merupakan pengaruh Paus Fransiskus.

Khususnya, normalisasi hubungan Amerika Serikat dengan rezim komunis Kuba yang dibekukan sejak tahun 1960-an, berkat buah bantuan Paus Fransiskus yang berani turun langsung ke Havana bertemu Presiden Fidel Castro.

Ia berbicara dengan Castro, agar semua aset atau yayasan, baik sekolah, maupun rumah sakit Katolik, yang dibekukan puluhan tahun bisa diaktifkan.

Castro pun bersedia melakukan itu. Lebih dari 300 ribu umat Katolik yang hidup di bawah rezim komunis Kuba, akhirnya menghela napas panjang. Mereka bebas menjalankan iman Katoliknya, tanpa tekanan dan intervensi penguasa.

Bahkan Castro sebagai seorang komunis dan agnostik pun kembali berpikir tentang Agama.

Castro melihat agama bukan lagi sebagai musuh, juga bukan hal yang penting dan menarik baginya, tapi Castro seperti tercandu untuk kembali beragama.

Itulah pengaruh Paus Fransiskus yang membuat Presiden AS Barack Obama sujud kepadanya. Atas hadiah ulang tahun Sri Paus membawa anugerah bagi Amerika dan Kuba.

Bendera Kuba bisa berkibar di Washington DC, dan bendera AS berkibar di Havana.

Semua dilakukan agar pesan-pesan Injil itu terus menyebar ke mana-mana, tanpa ada sekat-sekat ideologi dan aliran politik sekuler.

Prinsip Gereja Katolik tidak membenci para komunis, atheis, agnostik, dan relativis, tapi Gereja menolak paham tersebut, karena Gereja Katolik meyakini bahwa Allah yang diwujudkan melalui wajah dan cara hidup Yesus adalah kebenaran mutlak yang pantang ditawar (conditio sine qua non). Tidak ada jalan menuju keselamatan tanpa melalui Yesus Kristus.

Kembali ke Kardinal Parolin. Banyak umat Katolik di seluruh dunia yang sudah mengenal Kardinal Parolin tentu memberi penilaian tersendiri.

Beliau memang menjadi Kardinal yang cukup menonjol di masa Kepausan Fransiskus, karena ia mengambil peran penting sebagai Sekretaris Negara Vatikan dan Menteri Luar Negeri.

Parolin adalah diplomat bersahaja, piawai, dan menarik dalam menari di panggung diplomasi untuk membawa misi Vatikan dan Gereja Katolik untuk eksistensi dan pertumbuhan iman Kekristenan, melalui pesan-pesan perdamaian dan kemanusiaan yang berbasis pada “Cinta Kasih”.

Banyak orang menganggap Kardinal yang sejak umur 4 tahun bercita-cita menjadi imam dan kemudian masuk seminari menengah di Italia Utara– itu hanya punya kapabilitas di bidang diplomasi dan administrasi namun miskin dalam karya pastoral (pelayanan umat), ia tidak seperti Paus Fransiskus yang sangat populis, meski sama-sama memiliki pandangan yang progresif untuk kemajuan umat dan Gereja Universal sesuai tuntutan zaman.

Meski ada Kardinal calon Paus yang agak konservatif dan tradisional, seperti Kardinal Sarah dari Afrika. Ia menghendaki perubahan dalam tubuh Gereja, namun tidak bisa meninggalkan tradisi-tradisi lama, seperti misa bahasa Latin, menolak perceraian, menentang perkawinan sesama jenis, dll.

Dan ia percaya bahwa keselamatan tidak hanya diperoleh dari luar Gereja, melalui praksis kehidupan nyata, seperti melaksanakan hukum kasih, tapi keselamatan juga didapat dari hidup berkontemplasi (keselamatan dari dalam Gereja, melalui tatacara dan kebiasaan doa menjadi penting untuk diperkuat).

Intinya, keduanya harus jalan beriringan agar memperjuangkan keselamatan seluruh umat manusia sebagai Pewaris Kerajaan Allah.

Namun dari semua kelebihan dan kekurangan para calon Kardinal tidak menentukan keterpilihan mereka.

Karena jabatan Paus bukan jabatan dunia atau perebutan kekuasaan, yang butuh popularitas, tapi itu jabatan sakral yang mengemban tugas Ilahi.

Maka yang terpilih jadi Paus nanti adalah yang terbaik daripada yang baik. Dia adalah Paus untuk semua umat Katolik seluruh dunia, sebagai ‘Servus Servorum Dei‘ (hamba dari segala hamba Allah). (*)

*Penulis adalah umat Gereja Katolik Paroki Gembala Baik Abepura, Keuskupan Jayapura, Papua

Pos terkait

Tinggalkan Balasan