Oleh: Roberthino Hanebora*
Nabire adalah tubuh yang dibangun dari sejarah, darah, dan pengorbanan. Tapi siapa yang diakui, siapa yang diabaikan?
Pertanyaan ini tak pernah lekang, terutama bagi kami suku Yerisiam Gua di Nabire, yang berdiri sejak sebelum daerah ini disebut “Kabupaten Nabire”.
Hari ini, kami menyaksikan wajah pembangunan di Nabire yang semakin kompleks. Investasi mengalir, perusahaan membuka lapangan kerja, pendapatan daerah meningkat.
Namun satu hal tetap stagnan, pengakuan dan pelibatan masyarakat adat di Nabire dalam fondasi pembangunan itu sendiri. Di tengah kemajuan yang terus dibanggakan, suku Yerisiam Gua seperti hantu di rumah sendiri tampak, tapi tidak dianggap.
Pemerintah, dalam narasi formalnya, seringkali mempresentasikan Nabire sebagai ruang netral yang dibentuk dari kehadiran berbagai suku. Tapi itu setengah kebenaran.
Nabire adalah ruang yang dibentuk melalui perang, darah, dan rekonsiliasi antarmasyarakat adat.
Perang hongi antara suku Yerisiam Gua dan suku Wate menjadi penanda sejarah bahwa tanah ini diperebutkan secara sah secara adat.
Dan ketika perdamaian terjadi, ia tak hanya berhenti pada ikrar, tapi dikukuhkan melalui pernikahan antarsuku perempuan Yerisiam dinikahkan kepada laki-laki Wate sebagai simbol damai dan pengakuan batas wilayah.
Dari peristiwa ini lahirlah marga “Monei” dalam struktur masyarakat Yerisiam, bukti biologis sekaligus politis dari keterikatan itu.
Maka, ketika hari ini nama kami absen dari ruang kekuasaan, yang diingkari bukan hanya hak politik kami, tapi juga ingatan sejarah daerah ini.
Tidak bisa dipungkiri, keberadaan perusahaan sawit seperti PT Nabire Baru memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian lokal. Ratusan anak muda bekerja sebagai karyawan, lahirnya aktivitas ekonomi mikro di sekitar wilayah perkebunan, dan naiknya kontribusi sektor perkebunan terhadap APBD serta Dana Bagi Hasil (DBH) ke Kabupaten juga Provinsi Papua Tengah.
Namun pertanyaannya bukan pada “apakah sawit bermanfaat?”, melainkan siapa yang paling diuntungkan dan siapa yang paling tidak diberdayakan secara struktural?
Suku Yerisiam Gua adalah pemilik wilayah adat tempat sawit berkembang. Tapi dalam rapat-rapat strategis, dalam proses perencanaan pembangunan kabupaten, kami tidak pernah diundang sebagai subjek utama.
Hubungan kami dengan wilayah adat hutan, sungai, laut, dan tanah dianggap sebagai sesuatu yang bisa digantikan oleh nilai uang, bukan pengakuan hak.
Pembangunan yang baik tidak cukup hanya membuka lapangan kerja. Ia harus membuka ruang partisipasi. Dan disinilah titik pincangnya Nabire hari ini; pembangunan tumbuh, tapi tanpa akar keadilan.
Laut Yerisiam adalah ruang tangkap nelayan tradisional yang menyuplai sebagian besar ikan segar di pasar Nabire. Hutan adat kami, dulu tempat hidup dan ritual leluhur, kini sebagian besar telah dikonversi untuk aktivitas ekonomi daerah. Kami tidak menolak pembangunan. Tapi kami menolak dilupakan.
Lebih dari sekadar ekonomi, ini adalah soal eksistensi dan keberlanjutan. Negara, lewat aparaturnya, tidak boleh terus-menerus melihat tanah adat sebagai objek investasi semata.
Seperti dikatakan oleh akademisi dan aktivis Papua, Peneas Lokbere, dalam tulisannya di Jurnal Analisis Papua, “tanah bukan komoditas, melainkan tubuh kosmologis masyarakat adat.”
Secara hukum, negara Indonesia telah mengakui masyarakat adat. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.”
Begitu juga Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang mengamanatkan penguatan hak-hak adat dalam proses pembangunan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 bahkan secara tegas mengembalikan hutan adat kepada masyarakat adat, bukan sebagai bagian dari hutan negara.
Namun di Nabire, hukum-hukum ini masih diperlakukan sebagai dokumen mati. Tidak ada peraturan daerah (Perda) atau keputusan bupati yang secara eksplisit mengakui wilayah masyarakat adat sebagai subjek pembangunan.
Saran dan rekomendasi
Apa yang kami minta bukan belas kasihan, melainkan pemulihan hak sejarah yang dirampas secara diam-diam melalui pembangunan tanpa partisipasi. Maka hari ini suku Yerisam mendesak:
1. Perlu adanya peraturan daerah khusus tentang Pengakuan Masyarakat Yerisiam Gua, tapi juga suku pribumi lainnya sebagai dasar hukum untuk distribusi hak politik dan ekonomi.
2. Transparansi Dana Bagi Hasil (DBH) sektor perkebunan, agar kontribusi wilayah adat kami terhadap APBD dan pembangunan provinsi tidak hanya tercatat di angka, tapi dirasakan oleh masyarakat adat secara langsung.
3. Pembangunan kampung adat Suku Yerisiam Gua.
4. Perlu adanya Lembaga Adat yang memiliki kewenangan pengawasan, konsultatif dan pengawasan, terhadap proyek-proyek strategis daerah.
Tanah itu bukan objek. Ia adalah tubuh sosial-politik. Hutan ini bukan potensi ekonomi. Ia adalah sekolah tempat kami belajar menjadi manusia. Laut ini bukan ladang eksploitasi. Ia adalah halaman depan rumah kami.
Maka kami akan terus menuntut, bukan hanya demi kami, tapi demi wajah Nabire yang lebih adil, berakar, dan berdaulat.
“Jika pembangunan hanya memelihara angka dan bukan hubungan, maka ia gagal. Jika pemerintah lebih setia pada modal daripada pada sejarah, maka kehadirannya tak lebih dari perpanjangan tangan kekuasaan kolonial baru” (*)
*Penulis adalah Sekretaris Umum Suku Yerisiam Gua Nabire