Oleh: Benyamin Lagowan, S.Ked*
Melihat persoalan aksi demo damai ratusan dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih (FK Uncen) minggu lalu, sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari persoalan laten yang melilit kampus ini. Persoalan ini ibarat bom waktu yang terus-menerus mengikuti perjalanan FK Uncen sepanjang dua dekade lebih.
Aksi demo mahasiswa FK Uncen tahun 2013–2015 dan tahun 2020 merupakan rangkaian aksi pertama dan kedua karena berbagai persoalan krusial. Ibarat virus patogenik yang masih melanda dan menginfeksi fakultas ini.
Dalam aksi demo damai yang dilakukan tahun 2013, beberapa persoalan utama, seperti minimnya fasilitas pendidikan, rendahnya SDM, baik dosen, maupun tenaga kependidikan, hingga penerimaan mahasiswa yang membludak, tidak sebanding dengan fasilitas perkuliahan, menjadi penyebab kampus FK dilanda aksi demo panjang mahasiswa (Lagowan, 2016: 28).
Meski aspek kepemimpinan Dekan FK pertama pernah menjadi sasaran luapan kemarahan mahasiswa yang sudah tidak bisa dikendalikan, namun setelah direfleksikan, aspek kepemimpinan bukanlah persoalan utama yang terjadi kala itu. Sebab persoalan utama ada pada minimnya perhatian pemerintah dan pemerintah daerah pasca dibentuknya FK Uncen tahun 2000-yang beririsan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Menanggapi situasi saat itu, Plt. Dekan FK Uncen 2015, Yohanes Krey, SH.,M.Hum menanggapi dengan bijak dalam pengantarnya dalam buku berjudul “Pergerakan Mahasiswa Kedokteran Papua: Potret Aktivisme di Kampus FK Uncen”. Dia mengatakan, setelah berjalannya, program ini (pendidikan dokter) ibarat bayi yang dipaksakan untuk makan makanan keras atau dipaksakan untuk segera berjalan sebelum waktunya, sehingga mengakibatkan pertumbuhannya tidak normal dan cenderung tidak sehat.
Dengan melihat rentetan aksi demonstrasi para dokter muda ini secara detail dan komprehensif tanpa disilaukan oleh sentimen dan ego, maka akar persoalan dari situasi dan kondisi yang menimpa FK Uncen ini, dapat ditangkap secara baik dan objektif.
Itu sebabnya bagi kami, persoalan FK Uncen hari ini tidak dapat dipisahkan dengan persoalan laten sejak periode-periode awal mula FK Uncen hadir.
Bahwa sejumlah masalah, seperti meningkatnya jumlah penerimaan mahasiswa pada tahun 2007–2015, yang tidak sebanding dengan fasilitas perkuliahan dan tenaga dosen/kependidikan, serta persoalan lain, seperti adanya ancaman yang pernah diberikan kepada mahasiswa yang demo, menjadi faktor penyebab FK terus-menerus ditimpa aksi demo.
Kecuali, barangkali, semua mahasiswa angkatan lama ini selesai. Sebab bila semua persoalan ini dianggap sebagai salah pribadi mahasiswa, maka itu tentu tidak dapat diterima dan dibenarkan sepenuhnya.
Perlu diketahui bahwa hampir kebanyakan mahasiswa FK Uncen yang pernah ikut aksi demo, baik tahun 2013, maupun tahun 2020, semuanya masih ada dan bertahan dengan segala macam dinamika pahit-manis mereka hingga saat ini. Dengan demikian, bagaimana mungkin persoalan FK Uncen kali ini dapat dilihat secara terpisah dari aksi-aksi sebelumnya?
Kecurigaan lain yang muncul adalah adanya dugaan upaya “balas dendam” pihak kampus terhadap sejumlah mahasiswa vokal/kritis yang kini berstatus dokter muda, melalui rencana pemberlakuan drop out (DO) secara sepihak dan diam-diam, tanpa melihat atau tidak mau tahu dengan realitas duduk masalah FK Uncen secara objektif- yang mana memang sejak awal telah disandera banyak persoalan mendasar sebagaimana diungkapkan di atas.
Konteks masalah
Bila persoalan demo mahasiswa FK tahun 2013–2015 lebih banyak menyangkut aspirasi pembenahan sistem pendidikan FK Uncen yang masih serba kekurangan, maka faktor penyebab persoalan aksi demonstrasi damai mahasiswa tahun 2020 dan 2025 ini agak berbeda, meskipun tetap saling berkaitan.
Inti persoalan aksi demo mahasiswa tahun 2020 yang diwarnai pemalangan kampus FK selama hampir sebulan, yakni: 1) menolak ancaman DO terhadap 129 mahasiswa FK di Praklinik; 2) mendesak diwisudakannya 100-an mahasiswa FK; 3) menentang aroma tebang pilih dalam penerimaan, pelulusan dan perekrutan mahasiswa, staf tenaga kependidikan hingga dosen; 4) mengutuk keras oknum dosen tertentu yang diduga mempersulit mahasiswa OAP; 5) menolak kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) 2019 atau biaya SPP sepihak; 6) mendesak perbaikan (reformasi) sistem pendidikan klinik; 7)membuka jalur lokal penerimaan mahasiswa baru dengan persentase 100 % OAP dan; 8) memperjelas status RS pendidikan FK Uncen yang sempat mangkrak (Lih. Status facebook lagowanchegelian 18 Agustus 2020).
Hasil terpenting dari aksi demo damai saat itu, yaitu 129 mahasiswa yang hendak di-DO tidak terjadi.
Di sini penting dicatat bahwa rencana kampus melakukan DO tahun 2020 itu, bukan karena alasan berakhirnya masa studi, melainkan karena pihak kampus melihat banyak mahasiswa mungkin tidak mampu, sehingga hendak “dipaksa” keluar (DO), tanpa berpikir bahwa kegagalan mahasiswa itu adalah bukti kelalaian/kegagalan nyata mereka sebagai pengajar.
Dalam pertemuan yang dimediasi oleh Rektor Uncen Dr. Apolo Safanpo, ST.,MT di Aula Rektorat Uncen, pihak FK Uncen berjanji akan mengevaluasi dan membenahi poin-poin yang diaspirasikan.
Di sini patut diketahui bahwa 129 mahasiswa yang pernah diancam di-DO oleh pihak kampus tahun 2020, semuanya adalah mahasiswa praklinik. Dengan beragam perlakuan dan perkataan yang terlebih dahulu mereka terima, misalnya, jika tidak mampu mendingan pindah saja ke fakultas lain, dan lain-lain.
Mereka bahkan pernah menandatangani surat pernyataan yang belakangan disangkal pihak FK Uncen. Akan tetapi, sekali lagi, hasil dari aksi demo tahun 2020, tidak ada sama sekali mahasiswa yang di DO dan para mahasiswa itu pun dapat diwisudakan.
Akhirnya, kini sebagian dari mereka telah dilantik menjadi dokter umum, dan sudah mengabdi. Sedangkan sebagian lainnya masih berproses di klinik sebagai dokter muda dan lainnya saat ini terancam DO jilid 2.
Pertanyaannya: jika saat itu mereka di-DO, apakah mereka bakal bisa menjadi dokter seperti saat ini?
Persoalan terkini tahun 2025 terjadi menurut hemat penulis, hanyalah upaya pengulangan dari rencana DO tahun 2020, dan merupakan ekses yang tidak terlepas dengan situasi pendidikan klinik sejak tahun 2015 silam.
Tidak diketahui siapa aktor utama yang sedang mendesain rencana ini dan menjadi virus-iblis yang hendak membunuh masa depan ratusan dokter muda Papua ini.
Bila ditelusuri ke belakang itu, maka aspirasi mengenai pentingnya perbaikan (reformasi) sistem pendidikan klinik telah disuarakan sejak tahun 2020. Saat itu, para mahasiswa yang telah menjalani sistem pendidikan klinik telah mengalami sistem yang terkesan menghambat mahasiswa yang bisa berdampak pada habisnya masa waktu pendidikan profesinya.
Akibat dari perilaku menghambat mahasiswa yang berpotensi pada berakhirnya masa waktu studi pun akhirnya benar-benar terjadi dan menyata di tahun 2025 ini. Dimana tidak hanya mahasiswa baru dan angkatan lama yang terancam di-DO, justru sejumlah besar mahasiswa profesi (dokter muda) yang pernah diancam DO saat masih pendidikan praklinik tahun 2020 lalu itu, kini juga kembali diancam DO jilid 2 dengan alasan masa studi habis.
Padahal sejumlah fakta dinamika sistem pendidikan di klinik yang selama ini merugikan mahasiswa FK, seolah dilupakan begitu saja. Fakta-fakta tersebut adalah sebagai berikut:
Sistem rotasi koass mandek (tidak sinergis), setiap bagian (departemen/SMF) tidak berpedoman pada standar logbook yang ditetapkan dan dikeluarkan oleh pihak kampus FK, yang mengatur regulasi sistem pendidikan klinik, sistem penilaian serta perputaran rotasinya.
Dalam konteks kasus ini banyak mahasiswa harus mengulang di stase yang sama selama berbulan-bulan, bahkan sampai bertahun-tahun. Padahal waktu normal setiap mahasiswa profesi (dokter muda) berpraktik sebagai koass di suatu bagian ada yang hanya satu hingga sepuluh minggu.
Penyebab dari mahasiswa diminta harus mengulang pun beragam. Mulai dari masalah nilai, persoalan attitude (paling sensitif), dan persoalan individu seperti kendala biaya dan persoalan pribadi lainnya.
Kesan yang ada, mahasiswa kebanyakan dikenakan persoalan attitude merah dan disuruh mengulang berkali-kali tanpa kejelasan. Persoalan attitude semacam itu kerap dipengaruhi mood setiap dokter spesialis yang ada di bagian. Adapula stase/bagian yang menerapkan aturan versi mereka sendiri.
Sejumlah hal itu dianggap telah turut menyebabkan habisnya masa studi tiap mahasiswa. Termasuk mereka yang rencana di-DO tahun 2025 ini.
Kasus terburuk semacam itu juga menjadi pemicu dua orang dokter muda melakukan bunuh diri setelah mengalami depresi dan stress (kasus Dokter Muda Clemens Wopari dan Paul G. Fonataba tahun 2017 dan 2020).
Pengabaian masa pandemi Covid-19
Akhir tahun 2019–2022 dunia dikejutkan dengan pandemi Covid-19. Termasuk di Papua. Mahasiswa profesi (dokter muda) mulai dirumahkan (ditarik) dari siklus pendidikan profesi sejak awal tahun 2020 (bulan Februari).
Mahasiswa FK akhirnya dapat diizinkan kembali melakukan praktik sekitar akhir tahun 2021 dan awal tahun 2022. Meski sebelumnya ada sejumlah bagian departemen yang melaksanakan pendidikan profesi secara daring (online), praktik online tentu tidak masuk akal dan tidak maksimal.
Situasi pandemi Covid-19 itu tak sama sekali dilihat sebagai suatu kondisi yang dapat dipertimbangkan, untuk diambil suatu kebijakan untuk menambahkan masa studi menggantikan masa waktu yang habis selama masa pandemi.
Mestinya pihak kampus, rektorat, hingga kementerian terkait menambah waktu untuk mahasiswa profesi (1-2 tahun) untuk menyelesaikan studi pendidikan profesi. Namun, sangat disayangkan hal tersebut, diabaikan begitu saja.
Tidak ada DO di FK Uncen
Sejak sekitar satu dekade lebih menjadi mahasiswa FK Uncen, kami belum pernah mendengar ada mahasiswa Uncen, bahkan FK Uncen yang di-DO. Artinya, lembaga Uncen tidak pernah memberlakukan sistem DO secara langsung, meski regulasi mengenai sistem DO itu barangkali ada.
Hal lazim yang terjadi selama ini, mahasiswa Uncen bahkan FK Uncen keluar karena mengundurkan diri secara individu-tanpa mendapatkan surat DO. Dan paling banyak dilakukan oleh pihak kampus Uncen adalah menyelamatkan mahasiswa dari ancaman DO.
Hal tersebut sangat dirasakan dari sentuhan-sentuhan kebijakan (diskresi) dan kasih sayang, yang selama ini banyak diberikan oleh para dosen Uncen kepada puluhan ribu mahasiswanya.
Sehingga setiap mahasiswa kebanyakan dapat menyelesaikan studi mereka dengan cepat dan tepat waktu.
Lantas, mengapa di kampus FK Uncen seolah hal semacam itu tidak dilakukan? Apakah para tenaga pendidiknya tidak mempunyai belas kasihan?
Dengan fakta semacam itu, maka aneh dan mengherankan bila FK Uncen memberlakukan DO sepihak di tengah tingginya kebutuhan tenaga dokter di Tanah Papua pasca dimekarkannya empat DOB saat ini.
Selain tiga faktor utama di atas, sejumlah persoalan lain, seperti, tidak pernah dilakukannya sosialisasi terkait regulasi apapun, misalnya kenaikan SPP bahkan DO dan lainnya turut menjadi pemicu aksi demo dokter muda FK Uncen.
Setelah sejumlah upaya komunikasi secara persuasif dengan pihak lembaga FK Uncen tak membuahkan hasil, mahasiswa merasa ada upaya membunuh masa depan mereka secara sistematis dan terstruktur dari FK Uncen. Akhirnya, demo damai pun menjadi opsi realistis.
Rencana DO ini juga secara tidak langsung bertentangan dengan fakta masih tingginya disparitas ketersediaan jumlah tenaga dokter di Tanah Papua dan luar Papua. Bisa lihat enam provinsi di Tanah Papua masuk dalam kategori wilayah dengan jumlah tenaga dokter paling sedikit di Indonesia (Kompas, 2024).
Bahkan ini adalah suatu sikap berseberangan dengan hadirnya empat DOB di Tanah Papua, yang tentu akan sangat membutuhkan jumlah SDM tenaga dokter yang begitu banyak.
Sangat disayangkan bila masih ada situasi yang tak sinergis (jalan sendiri-sendiri) antara pemerintah dengan pihak institusi pendidikan tinggi (kedokteran), dalam mengupayakan ketersediaan SDM tenaga kesehatan, untuk memperkuat pelayanan kesehatan di tengah hadirnya terjangan badai DOB di Tanah Papua.
Lantas darimana kebutuhan tenaga dokter di Tanah Papua akan dipenuhi? Apakah dari luar tanah Papua–(maaf) yang barangkali kurang memahami tropical medical dan sistem etnomedisin orang asli Papua?
Krisis dokter Indonesia sebagaimana berita per Mei 2024 dari Dinas Kesehatan Papua, sudah semestinya mendapat atensi pihak manajemen FK Uncen dan Uncen, dalam mengambil langkah arif dan bijaksana ke depan (Dinkes. Papua. go.id, 2024).
Penutup
Fakta lain yang perlu diketahui bahwasannya 134 dokter muda yang secara sepihak hendak di-DO ini berasal dari berbagai angkatan (2005, 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014 hingga 2016).
Kesepuluh angkatan ini terancam di-DO bukan semata-mata akibat kelalaian mereka sendiri, sebagaimana kekeliruan orang-orang di luar sana. Sejak awal kami sudah sampaikan, mengapa angkatan lama yang ada ini tidak di-DO sejak lama? Mengapa mereka baru mau di-DO saat ini?
Ketika mayoritas mereka sudah menyelesaikan pendidikan klinik (6–10 tahun). Ada yang hanya sementara menunggu ujian kompetensi (UKMPPD) setelah beberapa kali gagal.
Ada pula yang sementara baru akan ujian kompetensi. Ada juga yang hanya menunggu diyudisiumkan saja, untuk selanjutnya mengikuti ujian kompetensi.
Ada yang hanya menyisakan beberapa stase terakhir untuk selesai pendidikan profesi. Bahkan ada yang sudah menyelesaikan seluruh tahapan pendidikan profesi (Koass sebagai dokter muda) dan sedang menunggu ujian program khusus (progsus) untuk kemudian yudisium dan selanjutnya mengikuti ujian kompetensi.
Bila disimak secara teliti, sebenarnya siapa pun tak akan menerima, ketika belasan bahkan puluhan tahun, semua tahapan pendidikan telah dilewati hingga di tahap akhir hanya menyisakan ujian kompetensi (UKMPPD) untuk meraih gelar dokter umum, kemudian tiba-tiba muncul informasi adanya DO karena alasan masa studi habis.
Siapapun manusia di muka bumi ini akan menolak dan balik melawan demi menyelamatkan nasib dan masa depan mereka. Tidak salah bila tagline “jangan bunuh masa depan kami” menghiasi pamflet aspirasi yang disuarakan.
Dengan demikian pertanyaan lain: apakah pantas ada sejumlah orang di luar FK Uncen yang tak paham konteks masalah dengan seenak-egonya dan serakahnya menyalahkan ratusan dokter muda FK Uncen ini sebagai mahasiswa tidak mampu, bodoh, pemalas dll sehingga wajar di DO? Apakah itu pernyataan yang fair?
Mari bersolidaritas bersama kami, untuk menyelamatkan masa depan kami. Sebab siapa tahu secara tidak sadar, suatu hari nanti mungkin jasa salah satu dari ratusan dokter muda yang Anda hakimi ini akan menyelamatkan nyawamu dan keluargamu!
Hentikan stigma dan cemoohan bila tidak memahami duduk perkara yang menimpa ratusan dokter muda FK Uncen hari ini. (*)
*Penulis adalah dokter muda asal Wamena, Papua Pegunungan