Pengungsi Nduga meninggal dan masa depan Papua

Seorang pengungsi dari Kabupaten Nduga bernama Nerenius Tabuni (24), meninggal di Ilekma, Wamena, Jayawijaya, Provinsi Papua Tengah, Sabtu (3/5/2025).
Seorang pengungsi dari Kabupaten Nduga bernama Nerenius Tabuni (24), meninggal di Ilekma, Wamena, Jayawijaya, Provinsi Papua Tengah, Sabtu (3/5/2025). - Dok. Penulis

Oleh: Akia Wenda*

Seorang pengungsi dari Kabupaten Nduga bernama Nerenius Tabuni (24), meninggal di Ilekma, Wamena, Jayawijaya, Provinsi Papua Tengah, Sabtu (3/5/2025). Tabuni meninggal setelah berjuang melawan sakit selama dua minggu.

Tabuni, seorang pengungsi nahas itu kemudian dimakamkan di Betlehem, Ilekma, Wamena.

Bacaan Lainnya

Nerenius Tabuni lahir di Mbua, Kabupaten Nduga, 15 Februari 2001. Sejak kecil, ia menghadapi banyak tantangan.

Tahun 2018, konflik bersenjata pecah di Nduga. Situasi ini membuat Nerenius harus mengungsi. Dia dan keluarganya pun meninggalkan kampung halamannya, dan mencari perlindungan di Wamena.

Nerenius tak sendiri. Dia bersama ribuan pengungsi lainnya adalah korban konflik bersenjata, antara TNI/Polri dengan TPNPB-OPM.

Bersama ribuan pengungsi lainnya, Nerenius Tabuni mulai bertahan hidup di tempat baru, tempat pengungsian. Namun, di sini mereka menghadapi ketidakpastian akan masa depannya.

Meski demikian, Nerenius tidak pernah meninggalkan pendidikan. Dia terus belajar hingga mengikuti ujian nasional di sekolah darurat Ilekma, Wamena.

Semangatnya tidak pudar meski lingkungan barunya adalah pengungsian.

Ia berusaha keras menyelesaikan pendidikan tingginya hingga yudisium. Tinggal menunggu wisuda.

Akan tetapi, dia tak menikmati momen wisudanya, karena kematian lebih mendahuluinya.

Ketika ia pulang menemui orang tuanya, Nerenius tiba-tiba jatuh sakit. Selama lebih dari dua minggu, ia berjuang melawan penyakitnya, hingga akhirnya meninggal dunia.

Kehilangan Nerenius begitu menyayat hati. Ia adalah sosok yang baik, sabar, dan penuh kasih.

Tidak hanya bagi keluarganya, tetapi juga bagi seluruh masyarakat yang mengenalnya.

Nerenius berada di garis depan dalam perjuangan Papua, membawa harapan bagi mereka yang terpinggirkan, dan berusaha agar pendidikan tetap menjadi prioritas bagi generasi muda pengungsi.

Perjuangan Nerenius Tabuni akan selalu dikenang sebagai bagian dari sejarah. Semangat dan tekadnya, menjadi inspirasi bagi anak muda Papua yang masih berjuang.

Konflik di Nduga telah menyebabkan ribuan orang mengungsi. Sebanyak 14 distrik menjadi terdampak langsung dan 32 distrik lainnya turut merasakan dampaknya.

Hingga kini, masyarakat yang mengungsi belum kembali ke kampung halamannya karena trauma.

Beberapa sekolah di Kenyam, ibu kota Kabupaten Nduga, mulai berjalan kembali, tetapi jumlah siswa jauh melebihi tenaga pengajar dan fasilitas yang tersedia.

Pendidikan masih menjadi tantangan besar bagi korban konflik bersenjata di Tanah Papua. Namun, belum ada langkah konkret dari pihak berwenang, untuk menyelesaikan masalah ini secara adil dan menyeluruh.

Kehidupan pengungsi tidak menentu, dan masa depannya tergantung pada kebijakan dan kepedulian pemerintah dan pihak-pihak terkait.

Kematian Nerenius Tabuni menjadi pengingat bahwa pendidikan adalah harapan dan setiap orang pantas mendapatkan keadilan dan perlindungan.

Semangatnya akan terus hidup dalam hati orang-orang yang mengenalnya.

Masyarakat Nduga harus dipandang sebagai manusia yang sama dengan penduduk lain di Indonesia dan dunia. Jika pemerintah membutuhkan sumber daya alam (SDA) dari wilayah ini, mengapa tidak bernegosiasi dengan cara yang baik?

Jika Egianus Kogeya dan rekan-rekannya memilih jalan perlawanan bersenjata, adakah solusi untuk kedamaian? Haruskah rakyat Nduga menderita karena NKRI harga mati vs Papua merdeka harga mati?

Apa tujuan dari keberadaan Kabupaten Nduga dengan 32 distrik serta kampung-kampungnya, jika negara justru membabi buta terhadap rakyat sipil? Mengapa harta benda, masa depan, serta nyawa orang-orang Nduga menjadi hancur dan luluh seperti ini?

Pemerintah Indonesia belum menunjukkan niat baik untuk menyelesaikan persoalan ini secara serius. Pemerintah justru melakukan patroli militer, baik organik maupun nonorganik. DPR RI dan kementerian terkait masih menutup mata dan melipat tangan, mengalokasikan dana serta bantuan material untuk konflik di Nduga. Namun kenyataannya, korban terbanyak tetap rakyat sipil.

DPR RI dan kementerian yang membidanginya, seharusnya membuka mata terhadap tragedi kemanusiaan yang menimpa rakyat sipil, khususnya masyarakat Nduga. (*)

*Penulis adalah Ketua Departemen Pemuda Baptis West Papua dan jurnalis di Papua Pegunungan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan