Nabire, WAGADEI – POHR atau Papuan Observatory for Human Rights meminta polisi di Polres Kota Sorong, membebaskan empat aktivis NRFPB (Negara Republik Federal Papua Barat).
Hal tersebut dikatakan Direktur Eksekutif POHR Thomas Ch. Syufi, melalui siaran pers kepada Wagadei di Nabire, Papua Tengah, Kamis (1/5/2025).
Empat aktivis NRFPB ditangkap Polres Kota Sorong, Senin (28/4/2025), karena diduga melakukan aksi makar.
“Menurut saya ini sebuah asumsi dan tuduhan yang prematur, karena apa yang disampaikan oleh kelompok ini merupakan sebuah aksi damai, demokratis, dan bermartabat yang patut dihormati dan itu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi,” kata Thomas.
Direktur Eksekutif POHR Thomas Ch. Syufi mengatakan, empat aktivis NRFPB yang ditangkap itu, merupakan warga negara yang mempunyai hak sama di depan hukum dan pemerintahan negara Indonesia, untuk menyampaikan pendapat secara lisan maupun tulisan kepada siapa pun termasuk pemerintah pusat.
“Ini saya lihat murni kebebasan berekspresi yang mereka lakukan, dengan cara yang damai dan demokratis di hadapan pemerintah daerah sebagai representasi pemerintah pusat,” kata Direktur Eksekutif POHR.
“Lalu, mereka disangkakan dengan pasal makar, sangatlah tidak relevan dan irasional. Ini merupakan bentuk penganiayaan serius terhadap hak asasi manusia dan serangan terhadap kemerdekaan berekspresi yang merupakan jantung dari demokrasi,” lanjutnya.
Menurut Thomas, empat aktivis NRFPB itu hanyalah segelintir orang yang mengaku memiliki sejumlah atribut kenegaraan, baik polisi atau tentara nasional Papua Barat.
‘Menurut saya ini adalah sebuah klaim sepihak yang tidak punya basis kebenaran, sehingga tidak perlu direspons secara berlebihan dan mengambil tindakan represif oleh kepolisian Resor Sorong,” katanya.
“Mereka mengaku punya polisi dan tentara, termasuk memiliki sebuah negara Papua Barat, adalah sesuatu yang tidak nyata, utopia untuk saat ini,” katanya lagi.
Meskipun aktivis NRFPB itu mengaku punya negara, katanya, mereka tidak punya peralatan perang, pesawat tempur, dan pasukan terlatih.
“Bagaimana mungkin mengambil alih atau menguasai seluruh atau separuh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, hingga memenuhi unsur perbuatan melawan hukum dengan merongrong kedaulatan negara, sebagai syarat dituduh itu sebuah tindakan makar?” katanya.
Thomas mengatakan, empat aktivis NRFPB itu bersuara secara damai. Perihal kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum, katanya, sudah dijamin dalam Pasal 28E, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum, Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
“Juga termaktub dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 10 Desember 1948, dan Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005,” katanya.
“Atas alasan filosofis dan normatif tersebut, maka saya berharap Kepolisian Resor Kota Sorong segera membebaskan empat aktivis NRFPB yang tengah ditersangkakan, yaitu Abraham Goram Gaman dan kawan-kawan, karena mereka tidak bersalah,” lanjutnya.
Dia meminta agar tidak menggunakan cara-cara represif untuk membungkam dan memasung setiap warga negara yang menyatakan pendapat secara damai, yang merupakan bagian dari hak asasi yang paling inheren.
“Seharusnya usaha-usaha para aktivis di Tanah Papua, termasuk para delegasi NRFPB untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai dan humanis dengan pemerintah pusat melalui jalan dialog semacam ini, perlu didukung oleh semua pihak, termasuk Polres Kota Sorong,” katanya.
Thomas bahkan menilai bahwa langkah progresif aktivis NRFPB itu mesti diapresiasi, bukan malah didiskriminasi, apalagi dikriminalisasi.
“Mereka menyatakan pendapat secara damai dan bertanggung jawab, tanpa melakukan aksi kriminal atau skandal korupsi seperti kebanyakan pejabat di Tanah Papua yang menggarong dana Otsus,” katanya.
Thomas mengatakan, untuk mengakhiri konflik Papua hanya melalui jalan dialog dan penegakan keadilan, bukan pendekatan represif, bukan penambahan anggaran, penambahan pemekaran daerah otonomi baru (DOB), penambahan pasukan, peralatan tempur.
“Saya pesimistis, konflik Papua bakal tidak terselesaikan, bila pemerintah Indonesia melalui aparat kepolisian masih konsisten melancarkan tindakan-tindakan represif terhadap aktivis pro-demokrasi dan hak asasi manusia di Tanah Papua,” katanya.
“Sekali lagi, saya minta Kapolri, Kapolda Papua Barat segera memberikan atensi dan supervisi khusus atas kasus ini, agar segera dibebaskan para aktivis yang ditahan karena mengemukakan pendapat di muka umum di Kota Sorong,” katanya.
Sebab, lanjutnya, tangkap-menangkap aktivis kemanusiaan dan perdamaian tidak dibenarkan dalam negara hukum yang demokratis seperti Indonesia. (*)