Sistem kontrak tanah adat di Papua Pegunungan

Ilustrasi. Lukisan karya seniman Papua, Yanto Gombo. - Dok. Penulis.
Ilustrasi. Lukisan karya seniman Papua, Yanto Gombo. - Dok. Penulis.

Oleh: Benyamin Lagowan*

Sistem kepemilikan tanah adat di Indonesia pada umumnya bersifat komunal. Salah satu contoh penerapan sistem kontrak tanah adalah masyarakat Minangkabau, yang tidak menjual tanah karena dianggap sebagai pusaka tertinggi (harato pusako tinggi).

Model kepemilikan serupa juga berlaku di Papua Pegunungan, di mana tanah dimiliki oleh klan atau marga secara komunal, bukan secara individu.

Bacaan Lainnya

Sejak turun-temurun, masyarakat adat Lapago telah mempertahankan sistem ini, sebelum berinteraksi dengan misionaris dan pemerintah.

Agar pembangunan berlangsung secara aman, damai, dan berkelanjutan bagi orang asli Papua Pegunungan dalam 100 tahun ke depan, penting untuk menerapkan regulasi yang melarang penjualan tanah adat.

Regulasi ini bisa berbentuk Perdasus (Peraturan Daerah Khusus) atau Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi) yang ditetapkan oleh DPRP dan MRP, berlaku di delapan kabupaten yang membentuk wilayah adat Lapago.

Urgensi perlindungan tanah adat

Masyarakat adat Papua Pegunungan sangat bergantung pada hasil alam untuk keberlangsungan hidupnya. Jika tanah dijual, mereka berisiko kehilangan akar kehidupan dan filosofi sosial-budaya, yang telah diwariskan leluhur mereka.

Oleh karena itu, dalam hal pembangunan oleh pemerintah, baik untuk infrastruktur, maupun pemukiman, sebaiknya diterapkan sistem kontrak, bukan jual beli atau hibah cuma-cuma, seperti yang pernah terjadi di Wouma-Welesi.

Dengan sistem kontrak, masyarakat adat tetap memiliki hak atas tanah mereka dan dapat memperoleh manfaat ekonomi melalui penyewaan. Model ini terbukti sukses di Papua Nugini, khususnya di Port Moresby.

Di Port Moresby, Papua Nugini, tanah digunakan untuk pusat pemerintahan melalui skema kontrak, yang menghasilkan pendapatan bagi pemilik hak ulayat.

Ilustrasi. Lukisan karya seniman Papua, Yanto Gombo. - Dok. Penulis.
Ilustrasi. Lukisan karya seniman Papua, Yanto Gombo. – Dok. Penulis.

Keuntungan sistem kontrak dibandingkan jual beli

Sistem jual beli tanah (cash and carried) berpotensi membuat masyarakat Papua kehilangan akses atas tanah leluhur mereka, dan mengakibatkan alienasi dari lingkungan sosial dan budaya mereka.

Lebih buruk lagi, praktik ini bisa mempercepat kepunahan orang asli Papua Pegunungan, karena mereka kehilangan sumber produksi yang telah menopang kehidupan mereka secara turun-temurun.

Sebaliknya, sistem kontrak tanah memberikan keuntungan berkelanjutan. Jika pemerintah atau swasta ingin menggunakan lahan masyarakat adat, mereka harus membayar kontrak tahunan.

Sebagai contoh, jika di Wouma terdapat sekitar delapan klan dengan total 500 kepala keluarga, dana kontrak tahunan senilai Rp 2 miliar bisa dialokasikan sebagai berikut: Rp 500 juta untuk operasional yayasan dan pendidikan, sementara Rp 1,5 miliar dibagikan langsung kepada anggota masyarakat.

Dengan skema ini, setiap individu bisa mendapatkan sekitar Rp 3 juta per tahun, yang dapat dibayarkan secara triwulan atau per empat bulan.

Pendekatan ini memastikan masyarakat adat tetap dapat mengelola tanah mereka, dan mendapatkan penghasilan tanpa kehilangan kepemilikan. Model ini jauh lebih menjamin kesejahteraan masyarakat adat dibandingkan menjual tanah secara permanen.

Menatap masa depan: Regulasi dan perlindungan hak ulayat

Kasus penempatan kantor gubernur di Wouma menunjukkan perlunya regulasi yang mengatur sistem penggunaan tanah adat. Sebelumnya, ada upaya akademisi dan advokat, untuk menyusun regulasi terkait sistem kontrak tanah adat, sebagai rujukan bagi kebijakan pembangunan.

Sayangnya, rencana tersebut batal setelah terjadi pembayaran ganti rugi atas lahan, yang awalnya dihibahkan secara cuma-cuma.

Keputusan terkait kepemilikan dan pemanfaatan tanah adat di Papua Pegunungan harus dibuat dengan bijak.

Gubernur, DPRP, dan MRP memiliki peran penting dalam menentukan keberlanjutan pembangunan, baik infrastruktur, maupun kesejahteraan masyarakat. Kesalahan dalam kebijakan bisa membuat orang asli Papua kehilangan tanah leluhurnya.

Pelajaran dari masa lalu menunjukkan bahwa beberapa wilayah di Wamena Kota dan tanah LIPI telah digunakan untuk pembangunan akibat kesalahan dalam pengelolaan tanah adat.

Ke depan, perlu ada aturan yang memastikan keberadaan pemerintah, dan kebijakan pembangunan tidak menjadi ancaman bagi masyarakat adat, tetapi justru menjadi alat untuk mempertahankan hak mereka secara berkelanjutan. (*)

*Penulis adalah dokter muda asal Wamena, Papua Pegunungan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan