Oleh : Sepi Wanimbo
“Saya pulang dengan keyakinan bahwa, tanah dan bagsa papua akan di kuasai oleh mereka yang mempunyai kepentingan politik, atas segala keyakinan dari hasil tanah itu, tetapi mereka tidak akan membangun manusia papua dengan kasih sayang, sebab keadilan dan kebenaran akan di putar balikan. Serta banyak hal baru yang akan membuat orang papua menyesal. Tetapi itu bukan maksud Tuhan, karena itu keinginan manusia”. Pdt. Izaac Samuel Kijne, Wasior 25 Oktober 1925”
Dalam perjalanan mengujungi sebuah kampung di Distrik Arguni Bawah Kabupaten Kaimana, saya mendapatkan pelajaran berharga dari sebuah diskusi di para – para (tempat berkumpul) kampung bersama empat paitua (bapak) yang menimani saya ke kebun mereka yang paling berdekatan. Seorang paitua mengukapkan, “Orang Papua itu belum mampu kelola hidup. Hutan itu yang hidupi orang Papua. Orang Papua tidak bisa kelola tanah yang tandus. Bagimana tong (kita) mau kelola hutan kalau hutan su (sudah) dijual ke pengusaha.’’
Mereka belajar dari pengalaman saudara di Arsoba, Tofoi, Furwata dan Tanah Merah Kabupaten Teluk Bintuni yang berbatasan dengan Kabupaten Kaimana. Hutan – hutan yang terbentang antara Aroba, Furwata sampai Teluk Arguni Atas sudah abis ditebang karena masuknya perusahaann kayu dan kelapa sawit. Mereka tidak lagi mempunyai hak atas hutan yang menjadi sumber penghidupan. Pengalaman pahit dari saudara mereka itulah yang membuat mereka kini berhati – hati menjaga hutan agar tidak lepas dari kepemilikan ada mereka. “Tong (kita) sekarang tra (tidak) sebarang jual hutan dan tanah. Bagimana. Tong pu (kita punya) generasi selanjutnya?”tanya seorang paitua sambil menunjukkan ke arah ujung bukit yang mereka sebut dengan jaindab (lokasi matahari turun).
Perjuangan masyarakat adat menegakkan hak kepemilikan terhadap hutan mereka diwarnai dengan konflik dan kekerasan. Hal ini tidak terlepas dari UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang menetapkan hutan adat adalah hutan negara. Jauh sebelumnya, jika melacak geneologi kepemilikan tanah di Indonesia kira – kira dimuai pada abad 19, selalu saja terjadi kontestasi ( baca: pertarungan sekaligus negosiasi ) antara negara dan masyarakat. Penetrasi dari perusahan – perusahan Trans National Corporation (TNC) dan gurita kuasa kapital yang bekerjasama dengan rezim otoritarian dan kapitalistik Orde Baru untuk menggerus jutaan hektar hutan dan tanah – tanah milik masyarakat adat. Intinya, yang diperlukan oleh rezim kapitalis negara yang bekerjasama dengan otoritas negara hanyalah tanah saja, bukan manusia yang menepati tanah tersebut. Secara tajam Tania Murray Li sebagai pembicara utama dalam pertemuan European Association of Asian Studies di Gothenburg (Swedia) 2010 mengukapkan: “tanah dibutuhkan, tapi orang tidak!” dan “sumber daya manusia dari Jawa didatangkan tanpa pelayaran balik” (Ramstedt, 2011 : 42). Papua Versus Papua. I Ngurah Suryawan, 2017, 153 – 155).
“Jangan hidup dari hasil jual tanah, tapi hiduplah dari hasil olah tanah. MGR Jonn Philip Saklil”
Kehilangan Tanah Dan Hutan Seluas 5.810 Hektare Di Papua
Deforestasi atau hilangnya tutupan hutan terus terjadi di Tanah Papua. Menurut Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, seluas 5.810 hektare dibabat untuk bisnis perkebunan dan kehutanan sepanjang tahun 2021.
Natalia Yewen, peneliti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, mengatakan, berdasarkan pemantauan lapangan dan citra satelit, pembersihan lahan terjadi pada lokasi izin usaha perkebunan, industri hutan tanaman industri, dan pembalakan kayu.
“Kami mencatat sepanjang tahun 2021, telah terjadi pembukaan lahan dan deforestasi di Papua seluas 5.810 hektare yang lokasinya tersebar di beberapa daerah,” kata Natalia dalam peluncuran Catatan Akhir Tahun 2021, Jumat,18 Februari 2022.
Pembukaan hutan terluas berada di areal perusahaan pembalakan kayu seluas 2.286 hektare, yang diduga untuk pembangunan infrastruktur perusahaan, penebangan, dan pemanenan ilegal. Pusaka mencatat, salah satu kasus penebangan ilegal diduga melibatkan perusahaan kayu PT Papua Satya Kencana, anak perusahaan Artha Graha group, yang beroperasi di Kabupaten Teluk Bintuni.
Sementara itu, laporan Perkumpulan Panah Papua (November 2021) menemukan adanya pelanggaran pemanenan kayu bulat di Distrik Merdey berada di luar rencana kerja tahunan (RKT). Perusahaan diduga turut menggusur spesies lindung jenis kayu damar putih.
Selain itu, pembukaan hutan terluas lainnya terjadi di sebuah hamparan di sekitar Kali Mbian, Distrik Kaptel, Kabupaten Merauke. Pembabatan seluas 1.789 hektare tersebut diduga dilakukan oleh perusahaan hutan tanaman industri PT Plasma Nutfah Marind Papua (PT PNMP), anak perusahaan Moorim dari Korea.
“Dari pemantauan lapangan dan informasi masyarakat adat Malind di Kampung Buepe yang bermukim di sekitar lokasi perusahaan, diduga PT PNMP menggusur hutan dataran rendah, rawa dan lahan gambut, untuk pengembangan hutan tanaman,” tulis Pusaka dalam laporannya.
Kawasan hutan hilang dan rusak juga terjadi pada areal perusahaan perkebunan kelapa sawit seluas 1.552 hektare. PT Medco Papua Hijau Selaras (MPHS), anak perusahaan Capitol group, yang beroperasi di daerah Distrik Prafi dan Sidey, Kabupaten Manokwari, diduga menggusur hutan setempat seluas 1.038 hektare untuk perluasan kebun sawit.
Menurut Pusaka, aktivitas PT MPHS sering mendapat keluhan dari masyarakat adat dan buruh perusahaan. Hal itu terkait pengrusakan hutan, pencemaran sungai dan udara, bencana banjir dan hak-hak buruh, serta tanggung jawab sosial.
Sementara itu, PT Perkebunan Boven Digoel Sejahtera (PBDS) di Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, juga melakukan penggusuran hutan seluas 434 hektare. Perusahaan ini merupakan anak dari Digoel Agri group.
Ironisnya, kedua perusahaan yang beroperasi di Distrik Jair, Boven Digoel, itu telah memiliki komitmen untuk pengembangan perkebunan berkelanjutan menggunakan pendekatan tanpa deforestasi, perusakan gambut, dan eksploitasi (NDPE).
Pusaka menyebut komitmen hijau dan janji kesejahteraan tersebut hanya untuk pencitraan dan untuk menutupi operasi yang melanggar hak masyarakat dan merusak lingkungan.
“sehingga Negara dan pelaku bisnis harus perlu memperkuat upaya melindungi dan menghormati hak masyarakat adat, lingkungan, serta pembela lingkungan,” Betahita.Id, Minggu, 20 Februari 2022
Hutan Dan Tanah yang Hilang Akibat Proyek Jalan Trans-Papua
– Salah satu yang diprioritaskan dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), pembangunan Jalan Trans-Papua justru disebut berpotensi menghilangkan ribuan hektare tutupan hutan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengungkapkan, dalam jangka panjang, proyek JalanTrans-Papua diprediksi dapat memusnahkan 12.469 hektare tutupan hutan atau seluas tiga kali.
Organisasi independen tersebut mengemukakan perkiraan itu kala merilis hasil desk study-nya yang berjudul Analisis Pengaruh Rencana Pembangunan Major Project Jalan Trans Papua Terhadap Aspek Sosial-Ekologis Papua, Selasa (6/7/2021).
Dalam acara tersebut, Walhi juga menuturkan bahwa sekitar 4.772 hektare lahan terancam itu merupakan hutan lindung.
Peneliti Walhi, Umi Marufah memaparkan bahwa proyek yang telah dimulai sejak 2001 hingga 2019 tersebut telah menghilangkan banyak hutan di tanah Papua.
Dengan rincian, 34 persen non-kawasan hutan yang hilang, 22 persen kawasan hutan lindung konservasi, dan 44 persen hutan produksi.
Seperti pembangunan ruas jalan Fakfak-Windesi, yang menurut Umi, telah menghilangkan hampir 4.000 hektare hutan produksi.
Sementara, pada ruas jalan Wagete-Timika, telah hilang 2.000 lebih hektare hutan produksi dan 500 hektare hutan lindung.
Lalu, ruas jalan Wanggar-Kwatisore-Kp Muri juga melenyapkan lebih dari 1.500 hektare hutan produksi dan 500 hektare hutan lindung serta konservasi.
Adapun di ruas jalan Wamena-Elelim-Jayapura, telah menghilangkan hampir 1.500 hektare hutan lindung dan 2.500 hektare hutan produksi.
“Dari tahun ke tahun terjadi penurunan tutupan hutan, seiring dengan meningkatnya panjang ruas jalan yang dikerjakan,” papar Umi, seperti dikutip dari Kompas.com, Selasa (6/7/2021).
Walhi memprediksi, dalam jangka pendek ketika terjadi pembukaan hutan lagi untuk melanjutkan pembangunan 74 kilometer jalan yang masih tersisa bisa menghilangkan 57 hektar hutan.
“Jika ada pembukaan jalan lagi maka menghilangkan 57 hektar tutupan hutan, 20 hektar di antaranya adalah hutan lindung,”.
Walhi juga memperhitungkan, dalam jangka menengah, sebanyak 1.290 hektare tutupan hutan akan hilang sebagai efek tepi dari pembangunan 100 meter jalan.
Dari luas tutupan hutan yang hilang itu, 464 hektar di antaranya termasuk ke dalam kawasan hutan lindung.
Dengan hilangnya tutupan hutan, maka beberapa keaneka ragaman hayati seperti flora fauna yang dilindingi pun terancam keberadannya.
Misalnya, Anggrek Kasut Ungu dan Kanguru Pohon Mbaiso yang merupakan dua mahkluk hidup endemik yang terancam punah dan hidup di beberapa area hutan di sekitar Jalan Trans-Papua.
Diketahui, proyek Jalan Trans-Papua terdiri dari sembilan ruas jalan dan rencananya akan dibangun sepanjang 2.300 kilometer.
Hingga kini, berdasarkan citra satelit terdapat 74 kilometer yang masih terputus dan dalam tahap pembangunan lanjutan. Kompas.Tv, Selasa 6 Juli 2021
Penggundulan Hutan dan Konflik Terus Meningkat
Analisis peta citra satelit Nusantara Atlas, menunjukkan telah terjadi Deforestasi di Papua sejak awal Januari – Juni 2022 seluas lebih dari 1.150 hektar. Kebanyakan areal deforestasi tersebut berada pada areal perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri, yang melakukan ekspansi bisnis.
Ada lima lokasi perusahaan teridentifikasi tempat kejadian deforestasi terbesar di Papua, yakni PT Inti Kebun Sawit dan PT Inti Kebun Sejahtera, kedua perusahaan ini beroperasi di Distrik Moi Segen dan Seget, Kabupaten Sorong, PT Subur Karunia Raya di Kabupaten Teluk Bintuni, PT Permata Nusa Mandiri di Kabupaten Jayapura, dan PT Selaras Inti Semesta di Kabupaten Merauke.
Kondisi di lapangan di Sorong, Jayapura dan Merauke, ditemukan berbagai permasalahan aktifitas penggundulan hutan. Pada April 2022, anggota marga Mugu mempersoalkan dan menghentikan aktifitas perusahaan PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ), terjadi keributan ketegangan dengan marga Klagumut, yang diduga memberikan restu perusahaan PT IKSJ.
Perusahaan menggusur hutan adat milik marga tanpa musyawarah dan kesepakatan Marga Mugu. Kepala Distrik Moi Segen dan Dewan Adat memediasi pertengkaran antara marga dan perusahaan di Kantor Kampung Wonosobo pada 18 Juli 2022.
“Hutan adat kami terdapat tempat penting bersejarah disebut Mambus Wisnik, Tawili Wolu, Kelem Wobeles, yang digusur perusahaan, kami tidak pernah mengizinkan perusahaan dan kami menuntut perusahaan bertanggung jawab memulihkan kembali hutan adat ini, perusahaan dan pihak yang merusak harus diberikan sanksi,”jelas Efron Mugu melalui press releasenya. Papuasatu.com, Senin (01/08/2022).
Kasus serupa terjadi di Kampung Masmili, Distrik Moisegen, perusahaan PT IKSJ menggusur kawasan hutan adat dan mendapatkan perlawanan Marga Kutumun. Sejak April 2022, Nelson Kutumun dan beberapa keluarga, membuka hutan di Dusun Klawiri, persis berbatasan dengan bekas hutan yang telah digunduli perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ).
Mereka mendirikan beberapa rumah panggung dari kayu, berdiam dan berkebun di Dusun Klawiri. Sebelumnya, anggota Marga Kutumun ini tinggal di Kampung Masmili, Distrik Moi Segen, Kabupaten Sorong.
“Kami buka dusun ini untuk menghadang dan menghentikan rencana perusahaan kelapa sawit yang memperluas kebun sawit dan menghabiskan hutan kami,”jelas Nelson Kutumun.
Marga Kutumun menghadang dan menolak rencana perluasan PT IKSJ karena luas pembukaan hutan melebihi kesepakatan antara marga dan perusahaan, yakni panjang 1000 meter dan lebar 500 meter.
Berdasarkan peta citra satelit dan keterangan Marga Kutumun yang berdiam di Dusun Klawiri dan Kampung Masmili, deforestasi di Dusun Klawiri terjadi untuk pengembangan kebun kelapa sawit. PT IKSJ menggusur hutan sejak Desember 2021 dan meningkat cepat pada Januari 2022, hingga menyebabkan lebih dari 100 hektar hutan hilang.
Aktifitas penggundulan hutan oleh PT IKSJ berhenti pada pertengahan Juni 2022. Diperkirakan deforestasi di Dusun Klawiri lebih dari 200 hektar.
Menurut Nelson Kutumun, operator perusahaan PT IKSJ menjanjikan akan mengukur ulang luas hutan yang digusur dan bertanggung jawab atas hutan hilang. Masyarakat resah karena belum ada tanda terang dari janji perusahaan dan penanaman sawit terus berlangsung hingga saat ini.
Kebanyakan masyarakat tidak mengantongi surat-surat dokumen perusahaan terkait rencana perusahaan, surat resmi perizinan dan peta lokasi, surat kesepakatan perusahaan dengan marga dan sebagainya. Masyarakat hanya mengingat perusahaan datang dengan janji-janji pembangunan dan kesejahteraan.
Marga Klafiyu di Kampung Ninjemur, sejak awal meminta seluruh surat dan dokumen peta lahan dari perusahaan PT IKSJ. Ditemukan dalam surat penyerahan dan pelepasan tanah adat, marga mendapatkan kompensasi sebesar Rp. 50.000 ha dan kompensasi kayu mix, tanam tumbuh sebesar Rp. 185.000 ha. Artinya nilai tanah dan kekayaan alam didalam hutan sebesar Rp. 235.000 per hektar atau 1 m2 = Rp.23.500. Angka tersebut tidak sebanding dengan nilai dan harga pasar kayu merbau Rp. 3.000.000, perkubik.
Ketegangan antara marga pemilik tanah dengan perusahaan menandakan buruknya pengelolaan bisnis perkebunan yang mengabaikan hak masyarakat, tidak adil dan tidak menjalankan prinsip keberlanjutan lingkungan.
Pihak yang diuntungkan dari deforestasi adalah birokrat korup dan korporasi yang tidak bertanggung jawab. Sedangkan masyarakat setempat mengalami kehilangan mata pencaharian dan kesulitan akses pemanfaatan sumber pangan, terpaksa menerima kompensasi yang tidak adil dan menanggung resiko bencana ekologis.
Pada awal Januari 2022, Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmen dan kebijakan pemerintah mencabut izin-izin yang tidak produktif dan tidak sesuai peraturan, dengan dalil ‘mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan dan kerusakan alam’.
Pada 05 Januari 2022, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut 192 izin konsesi di kawasan hutan, 51 izin diantaranya berada di Papua dengan luas 1.287.030,37 hektar. Namun perusahaan tersebut masih tetap beraktivitas menggunduli hutan dan deforestasi meluas.
Masyarakat adat Papua bertahun-tahun melindungi hutan dengan tradisi pengetahuan dan norma adat, sebelum perusahaan datang dengan aturan, surat izin dari pemerintah, uang dan alat kekerasan negara, sebagai jalan menggunduli hutan adat. PapuaSatu.com Manokwari, 01 Agustus 2022
Ketidakadilan Bertumbuh Subur
Ketidakadilan sebagai jantung persoalan Papua bertumbuh subur berurat akar di Papua sejak 1969 sampai dengan era Otonomi Khusus 2001 sampai 2020. Ada beberapa fakta ketidakadilan yang menjadi catatan dari sekian banyak hanya sebagian kecil saja sebagai berikut.
Kasus Tolikara, Jumat Juli 2015 sebanyak 11 orang ditembak aparat keamanan Indonesia dan 10 orang luka – luka. 1 orang bernama Endi Wanimbo tewas di tangan aparat keamanan Indonesia. Ketidakadilan terlihat ketika panglima TNI, Polri, Menteri Sosial datang ke Kabupaten Tolikara, urus kayu – kayu, dan seng kios yang terbakar. Karena kios itu digunakan sebagai tempat ibadah (Musola). Musola itu terbakar, bukan dibakar. Panglima TNI, Kapolri dan Menteri Sosial Republik Indonesia tidak mempersoalkan 10 orang yang luka – luka akibat ditembak aparat keamanan Indonesia dan 1 orang bernama Endi Wanimbo yang tewas.
Pendeta Dan Aktivis Korbang Kekerasan Militer
Pendeta Yeremia adalah Ketua Sekolah Teologia Atas (STA) di Hitadipa dan gembala jemaat Imanuel Hitadipa dari Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) daerah Hitadipa wilayah Papua 3, Peterjemah Alkitab Bahasa Moni dan tokoh gereja, dan juga pemuka masyarakat suku Moni.
Akibat dari operasi militer, ada 7 – 8 gereja dikosongkan dan anggota jemaat menyelamatkan diri dengan melarikan diri ke hutan – hutan.
Pendeta Geyimin Nigiri tewas ditembak oleh pasukan elit TNI tanggal 19 Desember 2018 di Distrik Mampenduma.
Pendeta Elisa Tabuni ditangkap, diborgol tangannya, dan tewas ditembak oleh pasukan kopassus di bawah pimpinan Dansatgas BAN-11/Kopassus, Letkol Inf. Yogi Gunawan.
Pada tanggal 14 Juni 2012, sekitar pukul 09.00 Waktu Papua, Densus 88 Antiteror melakukan penembakan terhadap Mako Tabuni, Ketua I Komite Nasional Papua Barat. Pada tubuh korban, ditemukan 4 proyektil. Korban ditembak di putaran taksi perumnas III Waena Distrik Heram Kota Jayapura Provinsi Papua. (Gembala Dr. Socratez Sofyan Yoman, 2021 – 91 – 97).
Gizi Buruk
Pelapor khusus untuk Hak atas Pangan Dewan HAM Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB), Hilal Elver, menyebut kasus gizi buruk yang menimpa suku pedalaman Asmat di Papua sebagai insiden tragedis. “Saya ingin menarik perhatian anda semua pada sebuah insiden yang sangat tragis. Dalam beberapa bulan terakhir, 72 anak meninggal di Kabupaten Asmat, Papua. 66 anak meninggal akibat campak dan 6 lainnya akibat gizi buru.” (CNN, Rabu, 18/04/2018).
Hal ini merupakan suatu yang memalukan bagi sebuah negara yang punya perkembangan ekonomi yang baik dan sumber daya yang melimpa. Di tengah kelimpahan masih ada warga yang mengalami gizi buruk. (Gembala Dr. Socratez Sofyan Yoman, 2021 – 91 – 97).
Hak Atas Ekonomi
Masyarakat asli Papua masih terus bergumul dengan persoalan kemiskinan di atas tanah yang menghasilkan devisa besar bagi pendapatan nasional negara Indonesia. Data angka kemiskinan di Papua mencapai 480. 578 rumah tangga, 81,52% atau kurang lebih 391. 767 digolongkan rumah tangga miskin atau miskin absolut, Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Papua 2006, sejumlah 486. 857 dari 604. 922 rumah tangga di Papua atau 80 persen berada dalam kondisi miskin dan miskin absolut.
Dampaknya dapat terlihat pada rendahnya angka indeks pembangunan Manusia untuk Papua yang secara nasional berada di lapisan terbawah dari provinsi lain di Indonesia, berkisar 55,5 hingga 63, 8 tahun usia harapan hidup. Tingkat perkembangan kegiatan ekonomi daerah perkotaan di Papua dalam wujud menyamurnya pembangunan ruko – ruko, mall dan hotel, tidak dapat menjadi ukuran kemajuan Papua karena hanya dimiliki segelitir atau mayoritas warga pendatang. Sebagian besar masyarakat Papua mengalami marjinalisasi, seperti yang dialami mama – mama pedagang asli Papua yang duduk berjualan di atas aspal dan tanah berbecek. Derasnya arus migran juga memperburuk dan mempersempit kesempatan dan kondisi ekonomi orang asli Papua.(Markus Haluk, 2013, 172 )
Hak Atas Pendidikan
Masalah pendidikan merupakan permasalahan sumber daya manusia yang berada di suatu wilayah, terlebih khusus di wilayah Papua. Pendidikan harus ditempuh oleh setiap individu, karena pendidikan merupakan hak asasi manusia yang harus ditempu pada masa kini.
Wajah pendidikan di tanah Papua sangat jelas, masih tampak suram. Meskipun kini banyak orang asli Papua sudah bersekolah tinggi, bahkan hingga menjadi Profesor dan Doktor, namun realitas itu belum mengambarkan kondisi nyata wajah pendidikan di tanah Papua.
Masalah pendidikan di tanah Papua yang harus di atasi oleh pemerintah, terkait dengan layanan pendidikan. Kurangnya guru sekolah dasar di daaerah – daerah pedalaman terpencil yang mengakibatkan proses pembelajaran tidak dapat berjalan dengan baik. Sehingga anak muda Papua menjadi korban dalam pendidikan.
Selama ini saya belum pernah liat setiap perguruan tinggi di tanah Papua dan Papua Barat memiliki perpustakaan buku yang layak untuk mahasiswa dan mahasiswa belajar tetapi yang adanya kurang ketersedia buku sehingga sumber daya manusia Papua menjadi korbang. Tetapi menjadi harapan setiap perguruan tinggi yang ada di tanah Papua dan Papua Barat segera membangung sebuah perpustakaan buku yang lajak di setiap perguruan tinggi di tanah Papua.
Kesimpulan
Pemerintah, para penguasa serta pengusaha yang bermodal bersar jangan memotivasi untuk pentingkan tanah dan hutan di tanah Papua lalu nomor satukan kepentingan elit, individu,kelompok dan negara kemudian dinomor duakan orang asli Papua. Yang punya tanah, punya hutan, punya wilayah atau dusun.
Sebuah wilayah mengedepankan, Sumber Daya Allam, (SDA). saja lalu motivasinya mau memiliki tempat, ambil hasil hutan dan tanah untuk masa depan pribadi, kelompok serta mereka sendiri tapi ingat selalu, Orang Asli Papua, (OAP). yang pemilik sah tanah dan hutan Papua di abaikan saja berarti kapanpun daerah Papua ini tidak akan pernah maju – maju yang ada hanya tantangan, masalah, persoalan terus menerus akan dihadapi oleh penguasa.
Elit politik, dan para penguasa membangun sumber daya manusia Papua di bidan ekonomi, kesehatan, pendidikan dan politik yang unggul, itu lebih penting dari pada fokus mengambil kekayaan alam Papua dan ketika, Sumber Daya Manusia, (SDM). sudah siap berbagai jurusan, program dengan baik saya pikir segi kualitas tidak diragukan maka tenaganya siap kerja, siap dipake dimana tempat saja lalu soal merebut atau mau kuasai tanah dan hutan itu urusan nomor ke dua. Terpenting mensejahterahkan, Orang Asli Papua, (OAP) sama dengan daerah lain di wilayah Indonesia yang dirindukan oleh orang Papua.
Gaya kebijakan melalu pendekatan keamana negara ini kurang elok dan profesional maka membuat rakyat kecil trauma, ragu, takut, bimbang dan lain – lain untuk melakukan aktivitas sehingga gaya pendektan atau pola ini tentu harus beruba gaya dan caranya baru supaya rakyat kecil di tanah Papua memiliki rasa nyaman, aman, damai melakukan aktivitas sehari – hari sesuai profesi yang mereka miliki.
Bagi Orang Asli Papua, (OAP). ingat jangan menjual tanah dan hutan, jangan tingalkan tanah lalu kasih kepada orang dengan sembarangan ingat selalu ketika menjual tanah dan hutan berarti menjula masa depan anak dan cucumu, tetapi ketika menjaga tanah dan hutan berarti anda selamatkan masa depanmu generasi Papua.
“Kamu tahu akan hukum Allah: “jangan mencuri; jangan berzina; jangan berikan kesaksian palsu; jangan menipu; hormatilah ibu bapamu”. (Markus 10 : 19).
Wamena, 06 Mei 2023
*)Penulis Ketua Umum DPD – PPDI Provinsi Papua Pegunungan, Anggota Departemen Litban PGBWP dan Anggota Forum Pemuda Kristen Di Tanah Papua