Profisiat untuk Paus Leo XIV

Paus Leo XIV. - X/@Vaticannews
Paus Leo XIV. - X/@Vaticannews

Oleh: Thomas Ch Syufi* 

Terpilihnya Kardinal Robert Francis Prevost dengan nama kepausan Paus Leo XIV pada Jumat (9/5/2025) cukup menggemparkan dunia dan menyedot perhatian berbagai pihak. Para pemimpin negara, pemimpin spiritual, aktivis perdamaian, maupun umat Katolik di seluruh dunia, termasuk masyarakat Amerika Latin, turut menyampaikan selamat dan sukacita serta harapannya Sri Paus.

Misalnya, keterpilihan Paus Leo XIV itu telah dirayakan di seluruh Amerika Latin. Masyarakat memujinya sebagai Paus kedua dari wilayah tersebut, setelah pendahulunya dari Argentina, Paus Fransiskus.

Bacaan Lainnya

Berita itu memicu kegembiraan khusus di Peru, tempat ia tinggal dan bekerja selama lebih dari 20 tahun dan diberi kewarganegaraan pada tahun 2015. Di Lima, ibu kota Peru, lonceng katedral berdentang untuk merayakan.

Dalam penampilan pertamanya dari balkon Vatikan, Sri Paus beralih dari bahasa Italia ke Spanyol untuk menyapa umat Keuskupan Chiclayo, Peru, tempat ia menjabat sebagai uskup selama lebih dari satu dekade.

Menyebut keuskupan asalnya di Peru beralih dari bahasa Italia ke Spanyol menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang memahami komunikasi publik dengan baik. Baik dalam diksi, tata bahasa, maupun psikologi dari umat di keuskupan asalnya.

Presiden Peru, Dina Boluarte memuji pemilihan Paus Leo XIV yang bersejarah, yang menggambarkan sebagai warga Peru, berdasarkan pilihan dan keyakinan yang mengabdikan lebih dari 20 tahun untuk negara tersebut.

Ia menambahkan, Paus berusia 69 tahun itu memilih untuk menjadi salah satu di antara kita dan membawa dalam hatinya iman, budaya, dan impian negara ini.

“Paus adalah orang Peru, Tuhan mencintai Peru,” kata Boluarte (The Guardian, 8 Mei 2025).

Lantaran kesederhanaan, cinta, dan kepeduliannya terhadap masyarakat dengan semangat kerendahan hatinya, termasuk mengawasi mereka yang tertimpa bencana alam dan menemui korban bencana secara dekat, membuat mantan Presiden Peru Alberto Fujimori, menyebutnya “Uskup Agung Rakyat”.

Meski menjadi tokoh spiritual sekaligus intelektual yang berwibawa,ia tidak segan-segan untuk melontarkan kritik atau koreksi terhadap penguasa, termasuk rezim Alberto Fujimori yang cenderung koruptif, otoriter, dan melakukan pelanggaran HAM.

Ia bukanlah pemimpin sekuler yang gila hormat dan terbang ketika dipuji, silau mata ketika berkuasa.

Menurutnya yang ia lakukan adalah wujud panggilan imamatnya–religius dan misionaris, yang tidak butuh popularitas, pujian, dan kehormatan, tetapi membutuhkan totalitas pengabdian dan pengorbanan, demi kebaikan dan keselamatan sesama manusia.

Pada awal tahun 2023, ia secara terbuka menentang pemerintahan Boluarte. Ia mendeskripsikan “kesedihan dan rasa sakitnya” atas tewasnya 49 pengunjuk rasa dalam demonstrasi anti pemerintah, yang meletus ketika Presiden Boluarte menjabat pada bulan Desember 2022, menggantikan Pedro Castillo, yang dipaksa keluar karena menangguhkan kongres.

“Konflik ini tidak mewakili yang terbaik dari negara ini,” kata Prevost dengan kesal.

Lanjutnya, kerusuhan tersebut mencerminkan pengabaian historis terhadap masyarakat miskin Peru. Tidak sampai di situ, Paus Leo XIV juga meminta mendiang mantan Presiden Peru Alberto Fujimori, yang dipenjara pada tahun 2009 atas tuduhan melanggar HAM dan korupsi, untuk meminta pengampunan secara pribadi kepada masing-masing korban pelanggaran HAM pada masa pemerintahannya (ketidakadilan besar yang telah dilakukan dan menyebabkan dia diadili dan dijatuhi hukuman) guna memulai proses rekonsiliasi.

Sarannya muncul hanya dua hari setelah Fujimori diberi pengampunan oleh Presiden sebagai bagian dari konsensus politik dan meminta maaf setengah hati yang dirilisnya melalui video.

Namun Fujimori kembali dijebloskan ke penjara tahun 2018, kemudian diampuni pada tahun 2023 di tengah protes jalanan yang masif di Peru, dan ia meninggal pada tahun 2024.

Rosa Maria Vilchez (49), yang berasal dari Keuskupan Chiclayo (keuskupan yang pernah dipimpin oleh Paus Leo XIV) tetapi sekarang tinggal di Lima, mengatakan, ia bertemu Pater Prevost saat menghadiri kebaktian gereja beberapa tahun lalu.

Ia mengaku, mereka mengenalnya dengan namanya, serta Pater Prevost adalah sosok imam yang menyenangkan, ia ingin menangis ketika mengingatnya, karena Prevost benar-benar menyentuh hatinya. Dia memancarkan banyak kedamaian.

“Saya berharap dia membawa sedikit kedamaian, bahwa dia dapat menstabilkan negara ini dengan cara tertentu, karena orang Peru pada umumnya sangat taat beragama dan sangat Katolik. Jadi saya pikir, dia (Prevost) akan menjadi figur otoritas politik,” tambahnya (The Guardian, 8 Mei 2025).

Memang gejolak dan penindasan di Peru memiliki akar sejarah yang kompleks, mulai dari konflik separatis di abad ke-19 sampai perang saudara dan protes politik di era modern.

Konflik separatis yang menentang pemerintah pusat di masa lalu itu dilakukan oleh kelompok yang bernama Loreto dan Huanta.

Kedua kelompok tersebut melakukan pemberontakan atas ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat, termasuk reformasi yang memicu konflik, seperti penetapan pajak garam dan larangan mata uang Bolivia.

Meski pasca kemerdekaan dari Spanyol tahun 1821, memiliki konstitusi yang menjamin kebebasan sipil, baik kebebasan individu maupun kebebasan beragama, Peru masih diiringi berbagai gejolak dan penindasan yang berujung pada pelanggaran HAM, khususnya di wilayah tertentu.

Misalnya, meletusnya perang saudara pada dekade 1980-an, yang melibatkan dua partai berhaluan kiri, Partai Komunis Peru atau Sendero Luminoso ( Jalan Cemerlang/PCP) dan Gerakan Revolusioner Tupac Amaru (MRTA), yang menyebabkan kekerasan dan kematian dalam skala besar bagi masyarakat sipil, terutama masyarakat asli diperkirakan sekitar 50.000 hingga 70.000 orang tewas.

Selain itu, Jesus Leon Angeles, Koordinator Kelompok Katolik Chiclayo mengatakan, telah bekerja sama dengan Prevost yang memiliki keterampilan kepemimpinan, tetapi juga pendengar yang baik sejak tahun 2018–itu dalam sejumlah proyek amal dan bantuan sosial di Chiclayo dan Trujillo, daerah di dekatnya.

Paus Leo XIV saat homili di depan para kardinal. - X/@Vaticannews
Paus Leo XIV saat homili di depan para kardinal. – X/@Vaticannews

Paus juga getol mengunjungi kota-kota lainnya di Peru. Ia seorang pastor yang memiliki kebajikan, tidak sombong, karena itu dicintai oleh masyarakat.

Selain gemar blusukan dan menyelami budaya lokal, suka makan ceviche, kacang-kacangan dengan daging kambing, dan cau-cau, yang semuanya merupakan hidangan lokal yang populer di Peru.

Jeninna Sesa, yang bertemu Prevost saat bekerja untuk lembaga amal Katolik Caritas, mengatakan, Paus Leo XIV adalah tipe orang yang suka blusukan.

Saat terjadi hujan dan bencana melanda Chiclayo dan desa-desa sekitarnya pada tahun 2022, tanpa ragu Prevost mengenakan sepatu bot dan mengarungi lumpur, untuk membantu mereka yang paling membutuhkan (terdampak bencana), sekaligus mengirimkan makanan dan selimut ke desa-desa terpencil di Andes.

“Ia mengendarai truk pikap putih dan tidur di atas kasur tipis di lantai,” ujar Jeninna.

Itulah gambaran singkat aneka persoalan HAM dan sosial yang dihadapi masyarakat Peru. Beragam persoalan yang mungkin terjadi sebelum bahkan di tengah Paus Leo XIV menjadi misionaris dan uskup di sana.

Lebih dari 20 tahun Leo XIV berkarya di “Tanah Misi” Peru. Banyak suka dan duka yang ia lalui, ia merekatkan persaudaraan dalam kesederhaan dengan masyarakat Peru ala seorang Augustinian sejati.

Tentu pengalaman menjadi misionaris di Peru, kemudian didapuk menjadi uskup di negara itu, membuat dirinya sebagai seorang imam asing yang sangat dihormati, karena dedikasi dan loyalitas serta totalitas pengabdiannya kepada masyarakat Peru.

Prevost sangat dicintai sebagai sosok humanis yang sederhana dan rendah hati.

Apa yang dilakukan oleh Paus Leo XIV di Peru, sama halnya yang dilakukan oleh pendahulunya, Paus Fransiskus saat masih menjadi Pastor, Uskup Agung, Provinsial Jesuit, hingga Kardinal di Argentina pada masa-masa pelik.

Argentina yang kala itu dirundung berbagai fenomena sosial, politik, dan HAM, dengan sistem pemerintahan yang non demokratis, terutama di bawah kepemimpinan Presiden Jorge Rafael Videla (1976-1981).

Videla adalah presiden de facto pada era itu dan Paus Fransiskus adalah Provinsial Jesuit dan kemudian Uskup Agung Buenos Aires.

Pemerintahan Videla menjadi titik awal perang kotor, masa penuh kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan dalam sejarah Argentina.

Videla yang naik ke panggung kekuasaan melalui jalan kudeta militer menggulingkan Isabel Peron (istri mantan Presiden Argentina Juan Peron), melakukan berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM berupa penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan yang terhadap rival politik, aktivis, dan warga sipil.

Di masa-masa sulit itu, Paus Fransiskus menunjukkan sikap keberpihakannya kepada para korban, termasuk para pastor Jesuit yang melayani di pemukiman kumuh yang diculik oleh junta militer Videla.

Paus berjuang untuk keadilan bagi para korban, mendukung upaya pengungkapan kebenaran tentang pelanggaran HAM.

Paus Fransiskus membantu menjamin keselamatan bagi orang-orang yang menjadi target rezim militer, dengan memberi tempat perlindungan kepada beberapa orang, termasuk para Jesuit yang menjadi target kebrutalan rezim Videla.

Inilah salah satu sisi kesamaan Paus Leo XIV dan Paus Fransiskus yang menunjukkan sikap keberpihakannya kepada sesama yang lain, terutama mereka yang lebih membutuhkan atau menderita, bukan mengikuti kemauan kekuasan atau perasaan mayoritas orang yang hidup dalam kenyamanan diri.

Paus Fransiskus dan Paus Leo XIV tidak segan-segan untuk mengkritik kekuasaan, tidak menjaga kesembangan atau netralitas di mata penguasa yang menindas.

Mereka manunggal dengan umat, berjuang bersama rakyat, dengan prinsip luka untukmu (korban) dan darah untuku (Paus Fransiskus dan Paus Leo XIV).

Karena rekam jejak dan pengalamannya mengantarkan Jorge Mario Bergoglio beranjak menjadi Paus Fransiskus yang menjadi pemimpin paling berpengaruh, dihormati dan dicintai oleh miliaran umat manusia, bukan saja umat Katolik, tapi ia dikasihi dan dicintai juga oleh masyarakat non-Katolik.

Ia menjadi Paus liberal dan progresif yang telah berhasil melakukan reformasi di tubuh Gereja, menjadikan Gereja yang inklusif, melihat penderitaan semua orang sebagai tanggungjwab spiritual dan kemausiaannya.

Demikian juga terpilihnya Prevost sebagai Paus dengan menggunakan nama Paus Leo XIV ini, tentu akan melanjutkan semua agenda dan cita-cita agung dari Paus Fransiskus untuk gereja dan kemanusiaan.

Tentu Paus Leo XIV hadir di tengah dunia yang masih berkecamuk dengan beragam tantangan dan dilanda krisis kemanusiaan, sosial, dan ekologis.

“Seakan-akan ini kembaran Paus Fransiskus yang lebih muda, dengan hidup sederhana, penuh bela rasa, hidup suci, penuh dedikasi yang muncul di dalam pribadi Kardinal Prancis Prevost (Paus Leo XIV),” kata Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Monsinyur Antonius Subianto Bunjamin O.S.C (10 Mei 2025).

Jadi, Paus Leo XIV muncul di saat banyak orang hidup tepekur meratapi penderitaan; baik karena kekerasaan, ketidakadilan sosial, kemiskinan, kerusakan lingkungan, maupun diskriminasi ras, gender, dan strata sosial. Karena kasih dan kerahiman Tuhan itu hadir di saat-saat yang penuh ketidakpastian.

Seperti dikatakan Santo Agustinus, “Misericordia Domini inter pontem et fontem” (kerahiman Tuhan itu hadir di antara arus air dan jembatan).

Pandangan Bapa Gereja Latin dan teolog terbesar kesayangan Gereja Katolik ini mengingatkan pada cinta kasih Tuhan yang begitu besar kepada makhluk ciptaan-Nya, manusia.

Ketika manusia dalam situasi sulit, diterjang berbagai bencana dan membuatnya tidak berdaya disitulah Tuhan akan hadir untuk menolongnya.

Maka, Paus Leo XIV sebagai pewaris dari spirit Agustinus dan Paus Fransiskus, hadir untuk menjawab tantangan zaman ini, menyembuhkan luka-luka sejarah, menyatukan Gereja dan mewartakan kabar perdamaian kepada semua umat manusia di seluruh dunia, baik di Afrika, Amerika, Eropa, Asia/Timur Tengah, dan Pasifik, termasuk Tanah Papua yang masih terbelenggu dengan konflik bersenjata, kekerasan, pelanggaran HAM, penghancuran budaya, dan kerusakan lingkungan yang sangat masif sejak pemerintah Indonesia masuk ke Tanah Papua melalui invasi militer yang dikenal Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961 dan Referendum “bermasalah” 1969.

Itu sejalan dengan kata-kata Santo Agustinus yang diucapkan oleh Paus Leo XIV pada penampilan perdananya, saat menyapa umat beriman dan dunia dari atas balkon, Basilika Santo Petrus, Roma, “Saya adalah seorang putra Santo Agustinus, seorang Agustinian.”

Ia pernah berkata, “Bersama kalian, aku adalah seorang Kristen, demi kalian aku adalah seorang uskup”. Maka, marilah kita melangkah bersama menuju tanah air sejati yang telah disiapkan Allah bagi kita semua.

Untuk Gereja di Roma, salam khusus dariku: “Kita perlu bersama-sama mencari cara untuk menjadi Gereja yang misioner, yang membangun hubungan yang membuka dialog, yang selalu siap menyambut siapapun dengan tangan terbuka. Seperti lapangan ini, terbuka untuk semua, terbuka bagi siapapun yang membutuhkan kasih, kehadiran, dialog, dan cinta dari kita.

Akhirnya, proficiat kepada Paus Leo XIV. In illo uno unum. (*)

* Penulis adalah Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR) dan Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKR) Sanctus Thomas Aquinas periode 2013-2015

Pos terkait

Tinggalkan Balasan