Sistem noken: Pemicu konflik pilkada di Tanah Papua dan solusinya

Akia Wenda, Ketua Departemen Pemuda Baptis West Papua dan jurnalis Wagadei.id, tinggal di Wamena, Papua Pegunungan. - Dok. Penulis
Akia Wenda, Ketua Departemen Pemuda Baptis West Papua dan jurnalis Wagadei.id, tinggal di Wamena, Papua Pegunungan. - Dok. Penulis

Oleh: Akia Wenda*

Pemilu di Papua seringkali menjadi ajang konflik yang merugikan masyarakat. Salah satu penyebab utama konflik pemilu adalah penggunaan sistem noken.

Sistem noken merupakan metode pemilu yang diakui sebagai kearifan lokal di Tanah Papua. Meskipun sistem ini bertujuan untuk menghormati budaya adat, praktiknya sering kali menimbulkan ketegangan, diskriminasi, dan kekerasan.

Bacaan Lainnya

Artikel ini akan membahas dampak negatif sistem noken, termasuk konflik yang terjadi di berbagai kabupaten, serta solusi, untuk menciptakan pemilu yang lebih damai dan adil.

Undang-Undang Noken

Sistem noken adalah cara unik masyarakat adat Papua untuk memilih pemimpin mereka. Sistem ini diakui dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Mahkamah Konstitusi atau MK juga menyatakan bahwa sistem noken ini sah, asalkan tetap mengikuti prinsip kejujuran, transparansi, dan kesepakatan bersama.

Namun, dalam kenyataannya, sistem noken ini sering disalahgunakan. Keputusan seringkali dibuat oleh segelintir elite, bukan melalui musyawarah yang melibatkan semua masyarakat adat.

Konflik yang terjadi akibat sistem noken

Sistem noken sering menjadi sumber konflik di Tanah Papua. Ketegangan muncul karena dominasi suku tertentu dalam pengambilan keputusan, yang membuat suku lain merasa tidak dihargai.

Selain itu, manipulasi suara, bentrokan antar pendukung, dan gugatan hukum sering terjadi. Bahkan, konflik ini sering berujung pada kekerasan fisik dan kerusuhan yang merugikan banyak pihak.

Dampak sistem noken pada demokrasi

Sistem noken, meskipun dianggap sebagai kearifan lokal, telah mengurangi prinsip dasar demokrasi: “satu orang, satu suara, satu nilai.”

Banyak masyarakat merasa bahwa hak mereka untuk memilih secara langsung telah diambil. Akibatnya, kepercayaan terhadap proses pemilu menjadi berkurang.

Hilangnya nyawa

Konflik pilkada di Tanah Papua seringkali berujung pada kekerasan yang memakan korban jiwa. Misalnya, dalam Pilkada 2024, bentrokan antar pendukung menyebabkan 12 orang meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka.

Kekerasan ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menciptakan trauma mendalam bagi masyarakat.

Konflik pilkada di Provinsi Papua Pegunungan seringkali membuat pemerintahan daerah tidak berjalan dengan baik. Di Kabupaten Lanny Jaya, misalnya, bentrokan antar pendukung pada Pilkada 2024 menyebabkan satu orang meninggal, ratusan orang terluka, dan banyak rumah, serta kendaraan dibakar.

Situasi ini membuat pemerintahan tidak stabil.

Di Kabupaten Tolikara, ada masalah manipulasi suara. Beberapa distrik tidak melakukan pemungutan suara, tetapi hasilnya tetap diumumkan di tingkat kabupaten.

Hal ini memicu protes dari masyarakat dan menurunkan kepercayaan terhadap pemerintah.

Kabupaten lain seperti Yahukimo, Pegunungan Bintang, dan Jayawijaya juga mengalami konflik serupa.

Ketidakpuasan terhadap hasil pemilu sering berujung pada kekerasan dan gugatan hukum. Akibatnya, kepala daerah yang terpilih sering tidak dipercaya oleh masyarakat, sehingga pemerintahan menjadi lemah.

Hancurnya pemerintahan

Konflik pilkada seringkali menghasilkan kepala daerah yang kurang kompeten. Akibatnya, pembangunan daerah terhambat, dan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Kondisi ini memperburuk situasi sosial dan ekonomi di Papua.

Permusuhan atau dendam antarcalon

Permusuhan antarcalon seringkali berlanjut hingga pemilu berikutnya. Konflik yang tidak terselesaikan menciptakan dendam yang mendalam, yang kemudian memicu ketegangan baru.

Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih damai dan inklusif, dalam penyelenggaraan pemilu.

Solusi

Untuk mengatasi konflik yang disebabkan oleh sistem noken, diperlukan langkah-langkah berikut:

Pertama, dialog terbuka. Pemerintah, masyarakat adat, dan tokoh agama harus duduk bersama, untuk mencari solusi yang adil; Kedua, pendidikan pemilu. Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang pentingnya pemilu yang transparan dan partisipatif;

Ketiga, pengawasan ketat. Proses pemilu harus diawasi dengan ketat untuk mencegah manipulasi suara;

Keempat, reformasi sistem. Sistem noken perlu diganti dengan metode pemilu langsung yang lebih demokratis, tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya lokal.

Penutup

Sistem noken, meskipun diakui sebagai kearifan lokal, telah menjadi sumber konflik yang merugikan masyarakat Papua.

Dari diskriminasi hingga kekerasan yang menelan korban jiwa, sistem noken ini telah menggerus prinsip dasar demokrasi.

Reformasi sistem pemilu di Papua menjadi kebutuhan mendesak untuk menciptakan pemilu yang adil, transparan, dan damai.

Pemerintah, masyarakat adat, dan tokoh agama harus bekerja sama, untuk memastikan bahwa pemilu di Papua tidak lagi menjadi ajang konflik, tetapi menjadi alat emansipasi dan kesejahteraan bagi rakyat. (*)

*Penulis adalah Ketua Departemen Pemuda Baptis West Papua dan jurnalis Wagadei.id, tinggal di Wamena, Papua Pegunungan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan