Oleh: Imanuel Gurik*
Setiap gelaran Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Tanah Papua, khususnya di wilayah adat Lapago dan Meepago, hampir selalu dibayangi konflik. Bentrokan antar pendukung, manipulasi suara, hingga gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjadi semacam “ritus” pascapemilu.
Namun, pertanyaan yang jarang dijawab secara jujur adalah, apa akar dari konflik ini? Jawabannya tidak sesederhana perbedaan pilihan atau ketidakpuasan pada hasil.
Akar konflik pemilukada di Papua, bersumber dari ketegangan antara sistem nilai lokal, dengan demokrasi prosedural nasional.
Di tengah ketegangan ini, sistem noken menjadi episentrum perdebatan.
Noken: Dari simbol kultural ke alat politik
Sistem noken adalah metode pemungutan suara yang khas Papua, di mana suara pemilih diwakili oleh kepala suku atau tokoh adat.
Mahkamah Konstitusi telah mengakui sistem ini sebagai kekhususan budaya Papua, dan mengizinkan praktiknya dalam penyelenggaraan pemilu.
Dalam kerangka otonomi khusus (otsus) noken adalah bentuk penghormatan terhadap kearifan lokal.
Namun, dalam praktiknya, sistem noken telah mengalami distorsi. Apa yang semula adalah mekanisme kolektif berbasis musyawarah, kini sering kali berubah menjadi alat mobilisasi politik oleh elite adat atau tim sukses.
Suara kolektif tidak lagi lahir dari diskusi komunitas, melainkan dari keputusan segelintir tokoh yang telah “bertransaksi” dengan pasangan calon.
Demokrasi tanpa rakyat?
Sistem noken, dalam banyak kasus, telah menggerus prinsip paling dasar dari demokrasi: “satu orang, satu suara, satu nilai”.
Ketika kepala suku memilih atas nama ratusan orang tanpa proses transparan, maka hak politik warga Papua sesungguhnya terampas secara sistematis.
Lebih dari itu, rakyat tidak hanya kehilangan suara, tetapi juga kehilangan kendali atas nasib politik mereka sendiri.
Dalam sistem ini, demokrasi berhenti menjadi alat emansipasi, dan justru berubah menjadi ritual tanpa makna.
Penyelenggara pemilu yang tak independen
Masalah semakin rumit ketika penyelenggara pemilu di daerah, seperti KPU dan Bawaslu, dianggap tidak netral. Banyak kasus menunjukkan adanya keberpihakan, manipulasi hasil, atau bahkan keterlibatan aktif dalam memenangkan pasangan calon tertentu.
Di wilayah Lapago dan Meepago, misalnya, sengketa suara sering kali diselesaikan secara politis, bukan hukum.
“Ketika kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara runtuh, maka kekerasan menjadi jalan pintas. Warga yang frustasi memilih untuk membakar kantor KPU, memblokade bandar udara, atau menyerang pendukung lawan”.
Semua ini menunjukkan bahwa demokrasi tanpa integritas hanya akan melahirkan konflik, bukan legitimasi.
Waktunya kembali ke prinsip demokrasi sejati
Sudah saatnya Papua kembali ke prinsip demokrasi yang sehat. Sistem noken perlu dievaluasi secara terbuka—bukan dengan pendekatan diskriminatif, tetapi melalui dialog jujur antara negara, masyarakat adat, dan tokoh gereja.
Jika noken tetap dipertahankan, maka mekanismenya harus direformasi agar benar-benar mencerminkan kehendak rakyat, bukan elit.
Lebih penting lagi, penyelenggara pemilu harus dipastikan benar-benar independen. Proses seleksi komisioner KPU dan Bawaslu di Papua harus ketat, transparan, dan bebas dari intervensi politik lokal. Tanpa itu, pesta demokrasi akan selalu berubah menjadi panggung konflik.
Demokrasi atau kompromi?
Pertanyaan terakhir yang harus dijawab adalah: Apakah demokrasi di Papua sungguh membawa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, ataukah hanya menjadi kompromi yang dikemas dalam simbol-simbol budaya?
Jika jawaban yang jujur adalah “kompromi,” maka kita, baik negara, maupun masyarakat adat, harus bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Karena tanpa suara rakyat, demokrasi hanyalah ilusi. (*)
*Penulis adalah Kepala Bappeda Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua Pegunungan