Aksi tutup Freeport di Nabire diadang polisi

Aksi Solidaritas Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP) dan masyarakat Nabire menuntut penutupan PT Freeport Indonesia atau PTFI di Nabire, Provinsi Papua Tengah, diadang polisi. - Wagadei/Elias Douw
Aksi Solidaritas Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP) dan masyarakat Nabire menuntut penutupan PT Freeport Indonesia atau PTFI di Nabire, Provinsi Papua Tengah, diadang polisi. - Wagadei/Elias Douw

Nabire, WAGADEI – Aksi Solidaritas Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP) dan masyarakat Nabire menuntut penutupan PT Freeport Indonesia atau PTFI di Nabire, Provinsi Papua Tengah, diadang polisi.

Dalam aksi yang dilakukan pada Senin (7/3/2025), sejumlah mahasiswa membawa spanduk bertuliskan “Tolak RUU TNI”.  Mereka juga membawa sejumlah pamflet berukuran kecil, dengan berbagai tulisan kritikan kepada pemerintah.

Adapun isi tuntutan dalam aksi mereka tertulis pada spanduk penolakan PT Freeport Indonesia. Kemudian mereka juga menulis dan mengkritik pemerintah pada spanduk.

Bacaan Lainnya

Disebutkan bahwa PT Freeport Indonesia merupakan aktor utama kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua.

“Berikan nasib sendiri bagi kami bangsa Papua. Kekayaan Papua bukan milik negara, PT Freeport bukan milik negara,” demikian bunyi spanduk lainnya.

Kapolres Nabire AKBP Samuel D. Tatiratu menyatakan pihaknya mendukung aksi tutup Freeport Indonesia oleh mahasiswa dan masyarakat di Nabire. Namun, pihaknya tidak mengizinkan adanya longmarch.

“Kenapa kami tidak izinkan (longmarch)? Karena sekian peserta demo dan masyarakat dalam sejumlah besar otomatis kan akan mengganggu ketertiban,” kata AKBP Samuel kepada wartawan di Nabire, Senin.

Selain itu, katanya, akses jalan raya bukan hanya milik sekelompok atau massa aksi, tetapi bagi masyarakat luas.

“Nah, kami dari polisi resor Polres Nabire melarang untuk melaksanakan aksi demo yang jalan kaki long march,” ujarnya.

Namun demikian, kata AKBP Samuel, pihak Polres Nabire sudah memfasilitasi truk pengangkut massa aksi demo ke tujuan kantor DPRPT, tetapi koordinator lapangan aksi tidak setuju.

“Artinya begini, tapi mau fasilitasi dengan kendaraan truk, satu lokasi kita menggunakan tiga truk. Truk itu bukan menggunakan milik militer, tetapi kita sewa truk milik masyarakat, tetapi massa aksi tidak setuju,” katanya.

Wakil koordinator lapangan umum Apniel Selegani mengatakan kepada Wagadei bahwa aksi penutupan PT Freeport tidak hanya dilakukan di Nabire, tetapi juga di sejumlah kabupaten/kota di Tanah Papua dan Indonesia.

Ia menjelaskan bahwa ada empat titik kumpul massa aksi. Yaitu di depan hotel Adamant Wadio, Siriwini, Pasar Karang, dan Kesuma Bangsa Jalan Merdeka.

Selegani mengakui bahwa polisi melarang aksi mahasiswa untuk mengantarkan aspirasi ke kantor DPRPT.

“(Pengadangan) Ini merupakan salah satu pembungkaman ruang demokrasi yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar di Republik ini, yang menutup hak (untuk menyampaikan) pendapat rakyat yang menyampaikan pendapat di muka umum,” katanya.

Menurut Selegani, polisi bertindak sesuai tugasnya, yakni mengayomi dan melindungi masyarakat, bukan malah menutup ruang demokrasi.

Kapolres Nabire AKBP Samuel D. Tatiratu
Kapolres Nabire AKBP Samuel D. Tatiratu. – Wagadei/Elias Douw

Kronologi aksi

Selegani mengatakan, pada pukul 6 pagi, empat titik empat titik kumpul seperti di hotel Adamant, Kusuma Bangsa, Siriwini dan Pasar Karang, anggota polisi sudah bersiap hingga pukul 9 pagi.

Di depan hotel Adamant TNI/Polri melepas gas air mata hingga mengakibatkan massa aksi membubarkan diri.

Pada pukul 10.23 pagi, massa aksi di Pasar Karang mulai berorasi dan berdialog dengan anggota Polres Nabire, hingga pukul 11.34 WP. Massa aksi kemudian bubar pada pukul 12 siang.

“Dan dalam aksi tersebut di salah satu tempat di Karang Mulia ada satu (dari) massa yang kena tembakan peluru karet, tetap tidak besar. Dia sudah pulang ke rumah. Demikian sama dengan massa aksi di Adamant ada yang kena peluru hanya luka-luka,” katanya.

Dia menyayangkan tindakan represif aparat yang justru mengadang jalannya aksi aspirasi rakyat Papua.

Dia mengaku, empat titik kumpul diadang ketat oleh aparar gabungan TNI/Polri, sehingga massa aksi tidak melanjutkan aksinya di kantor DPRPT.

“Ini salah satu tindakan ruang pembungkam yang dilakukan oleh pihak keamanan TNI-Polri,” katanya.

Pernyataan sikap

Solidaritas Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM WP) kemudian mengeluarkan beberapa pernyataan sikap, sebagai berikut:

  1. Tutup PT Freeport Indonesia dan kembalikan hak-hak kedaulatan rakyat Amungme dan Kamoro demi kemanusiaan di Tanah Papua;
  2. Hentikan operasi militer dan tarik seluruh pasukan organik maupun nonorganik dari Tanah Papua;
  3. Hentikan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke, Papua Selatan, yang mengancam eksistensi masyarakat adat;
  4. Tutup seluruh perusahaan ilegal yang beroperasi di Tanah Papua;
  5. Hentikan pendekatan militeristik dan tindakan brutal aparat TNI-Polri yang merusak demokrasi dan penegakan hukum;
  6. Berikan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua, sebagai wujud demokrasi sejati. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan