Gedung Gereja Katolik APO masuk dalam kategori cagar budaya

Jayapura, WAGADEI – Tim ahli cagar budaya dari Pelestarian Kebudayaan Wilayah XXII Papua dan Ikatan Arsitek Indonesia (IKI)yang membidangi pelestarian telah melakukan peninjauan terhadap gedung gereja Katolik Paroki Santo Fransiskus Asisi APO, Kota Jayapura, Papua yang telah mencapai usia lebih dari 50 tahun. Para ahli ini meyakini bahwa gedung gereja tersebut memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat penting.

Cagar Budaya diatur dalam pasal 5 ayayt (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU Nomor 11 Tahun 2010 mengatur tentang Perlindungan terhadap Objek yang Diduga Cagar Budaya (ODCB), yang diberlakukan sama dengan Cagar Budaya. Jika dibongkar tanpa mempertimbangkan, bisa berhubungan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU tersebut.

Menurut Soleman Itlay, salah satu pemerhati sejarah misi Kaatolik di Papua, saat ini pihak Pelestarian Kebudayaan Wilayah XXII Papua tengah melakukan kajian mendalam terkait Gedung gereja ini. Sedangkan para ahli dari IKI telah melaunching sebuah buku yang berjudul “Arsitektur Gereja Di Timur,” termasuk di Tanah Papua. Salah satu gedung tertua yang dikaji secara ilmiah dan hasilnya dimuat dalam buku tersebut adalah gedung gereja Katolik APO.

“Pendapat para ahli cagar budaya dan IKI ini apabila dilihat dari sejarah perkembangan misi Katolik di wilayah Port Numbay memiliki korelasi. Dimana gereja Katolik pertama di Kota Hollandia dibangun di kompleks yang saat ini menjadi Gereja Katolik Gembala Baik Abepura. Pos gereja darurat katolik pertama dibangun pada tanggal 14 November 1929,” kata Soleman Itlay, Senin, (4/11/2026).

Sedangkan Gereja Katolik kedua di Kota Hollandia, gereja APO sekarang pertama dibuka oleh tentara sekutu asal Amerika Serikat, Australia, dan New Zelland pada 1944 pada Perang Dunia II di Kawasan Pasifik. Lokasi bangunan pertamanya sekarang sudah dibangun rumah sakit Provita. Bangunan gerejanya berbentuk bulat dan panjang 15 meter.

Sesudah Perang Pasifik berakhir, yaitu pada bulan Oktober 1946 Residen Hollandia, Kolonel Polisi Jan Pieter Van Eechout yang juga beragama Katolik beserta pengurus Gereja Katolik APO rencana memindahkan gereja ini ke lokasi baru yang lebih luas. “Pertimbangan utamanya adalah dengan melihat semakin hari kota ini berkembang dan semakin sempit untuk menampung umat,” ucapnya.

“Karena itu, mereka mencari lokasi baru ke arah Dok V. Dengan demikian Residen Eechoud menyediakan lokasi di Dok 5 Bawah, yaitu dari lokasi SD Kristus Raja sampai perbatasan dengan Gereja Zending Paulus Dok V atas sekarang ini. Akhirnya semua orang sepakat agar gereja baru dibangun di situ,” katanya.

Ie mengatakan, pada tahun 1954 gereja Katolik Dok V dibangun secara permanen dengan arsitektur semi Eropa-Papua, yang diinisiasi oleh Bruder Sebastian Vendrig OFM, Bruder Marius Jansen OFM, Bruder Ambrosius Denkers OFM serta tukang tukang lokal didikan missionaris sendiri. Gereja tersebut diresmikan oleh Prefektur Apostolik Hollandia, Oscar Cremers OFM pada tanggal 30 Oktober 1955.

Pada jamannya Mgr. Manfred Rudolf Staverman OFM, Gereja Katolik APO saat ini dibangun kembali oleh Bruder Henk Bloom OFM tahun 1959. Lokasinya persis di gereja saat ini. Kemudian direhab kembali pada tahun 1978, namun tidak merubah posisi ataupun dibongkar sama sekali.

Secara de facto menunjukkan bahwa gedung gereja tua ini telah mencapai 65 tahun. Kemudian sesuai tradisi hirarki Gereja Katolik paroki definitif dibentuk pada tanggal 22 Desember 1967. Karena itu secara de joure 57 tahun. Angka-angka ini menunjukkan secara eksplisit, bahwa Gereja Katolik Paroki St. Fransiskus Asisi APO ini telah mencapai usia yang lebih tua.

Jasman Yaleget, Ketua PMKRI Kota Jayapura mengatakan, tepat 2037, 100 tahun Fransiskan masuk di Tanah Papua bisa dibuktikan dengan keberadaan gedung tua ini. Jika dirawat baik, maka 2059 akan mencapai usia 100 tahun. Bila ini dirawat baik seperti kota-kota besar lain memelihara gedung tua, tentu akan menjadi ikon terpenting di kota ini.

“Tidak salah, apabila gedung gereja tua ini dijadikan sebagai cagar budaya. Sungguhpun panitia Pembangunan dibentuk dari 5-10 tahun, itu tidak sampa dengan usia dan nilai sejarah gereja yang mencapai usia 60-an tahun. Jika mau memperbaiki, misalnya seng yang bocor, silahkan saja. Tapi jangan membogkar apalagi bahan, bentuk dan struktur bangunan yang masih kuat.
Selama tiga bulan terakhir terdapat pro kontra terkait rencana pembongkaran gedung gereja APO ini. Gedung gereja ini sangat bersejarah dan bukan hanya milik umat di paroki ini saja. Sehingga tidak heran, apabila banyak orang berbicara soal gedung gereja ini,” ungkap Jasman Yaleget.

Pihaknya berharap, setelah melihat perdebatan dan diskuasi dimana-mana, termasuk di media masa diharapkan supaya pastor paroki, Dewan Pengurus Paroki (DPP) dan panitia Pembangunan tidak memaksakan kehendak secara sepihak. Tetapi alangkah baiknya, sebelum bongkar perlu membangun dialog dengan melibatkan semua pihak terkait untuk diskusi dan mencari jalan keluar bersama.

“Kerasulan awam Keuskupan Jayapura boleh menjadi fasilitator ataupun dapat memediasi dialog. Semua pihak yang berkepentingan, termasuk tim arsitek bangunan, tim ahli cagar budaya dan lainnya perlu dihadirkan guna menyaring semua saran dan masukan. Kemudian dari situ bisa menemukan jalan tengah guna mengakhir perdebatan menyangkut gedung gereja bersejarah satu ini,” katanya. (*)

Pos terkait