Oleh: Akia Wenda*
Paskah adalah perayaan untuk mengenang sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus.
Yesus mati untuk membebaskan manusia dari dosa dan memberikan harapan bagi kehidupan yang lebih baik.
Namun, bagi masyarakat pengungsi di Nduga, Provinsi Papua Pegunungan, makna kebebasan ini masih jauh dari kenyataan.
Sejak tahun 2018, konflik antara TPN-OPM dengan TNI/Polri, membuat banyak warga terpaksa meninggalkan rumah mereka. Mereka mengungsi dan hidup dalam ketakutan, kesulitan makanan, obat-obatan, dan tempat tinggal.
Korban jiwa terus berjatuhan, termasuk perempuan dan anak-anak. Dari tahun 2018 hingga 2020, lebih dari 200 orang meninggal akibat konflik ini.
Hingga tahun 2025, penderitaan masyarakat pengungsi belum berakhir, dan mereka belum bisa kembali ke kampung halamannya.
Paskah dan harapan
Bagi masyarakat pengungsi, Paskah bukan sekadar perayaan, melainkan juga simbol pengharapan dan kesabaran. Yesus telah mati untuk membebaskan umat manusia, tetapi mereka belum merasakan kebebasan itu.
Hidup dalam ketakutan dan penderitaan membuat mereka terus berdoa. Mereka berharap agar suatu hari nanti dapat hidup dengan damai dan bebas.
Paskah mengajarkan bahwa pengorbanan dan kesabaran adalah bagian dari kehidupan. Meski saat ini mereka mengalami berbagai kesulitan, pengungsi tetap percaya bahwa keadaan akan membaik.
Paskah menjadi momen untuk merenungkan harapan akan kedamaian bagi semua orang, terutama bagi mereka yang hidup dalam penderitaan.
Paskah dalam trauma
Para pengungsi menghadapi berbagai ancaman, seperti pembunuhan, pengusiran, serta kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Meski demikian, dalam kondisi penuh ketidakpastian, mereka tetap berharap kepada Yesus Kristus.
Sebagian pengungsi masih berusaha merayakan Paskah dengan penuh ketulusan, mengenang pengorbanan Sang Juruselamat.
Namun, bagi banyak orang, suasana Paskah telah hilang, tergantikan oleh ketakutan akibat konflik yang masih berlangsung.
Di Kenyam, ibu kota Kabupaten Nduga, kehadiran militer begitu dominan. Helikopter militer, kendaraan lapis baja, dan intelijen mengisi kota dengan suasana yang mencekam.
Warga sulit beribadah dengan tenang, sementara gereja yang dulunya menjadi tempat pemulihan rohani, kini hanya menjadi tempat pelarian bagi mereka yang tersisa.
Pendidikan dan ancaman bagi guru
Pendidikan bagi anak-anak pengungsi juga menghadapi banyak kendala. Anak-anak dari 32 distrik dipusatkan dalam satu sekolah gabungan di Kenyam.
Namun demikian, guru-guru menghadapi berbagai tantangan. Teror dari pihak militer membatasi ruang gerak mereka dan meningkatkan ketakutan setiap hari.
Saat malam tiba, kriminalitas meningkat. Ini menyebabkan ketakutan bagi para guru.
Sebagian guru telah meninggalkan tempat tugasnya, sementara yang bertahan masih merasa terancam.
Situasi ini semakin diperparah dengan adanya pernyataan Panglima TNI yang menyatakan bahwa “semua yang melayani di pedalaman adalah anggota saya”.
Kesulitan ekonomi dan kesehatan
Sejak tahun 2018, pemerintah mengaku telah membentuk tim khusus untuk menangani para pengungsi. Banyak anggaran telah dialokasikan, tapi bantuan tersebut tidak pernah sampai kepada mereka.
Sebagian besar pengungsi menumpang di tanah adat milik suku lain, sehingga mereka tidak dapat berkebun atau beternak. Beberapa pihak berusaha membangun sekolah bagi pengungsi di Jilekma, Kabupaten Jayawijaya, tetapi pemerintah setempat menolak izin pendirian sekolah tersebut.
Menurut Wakil Bupati Nduga Yoas Beon, mereka belum mengetahui kebijakan yang telah dibuat oleh pemimpin sebelumnya. Kondisi semakin sulit karena sudah hampir empat tahun Kabupaten Nduga tidak memiliki bupati dan wakil bupati definitif.
Harapan dan solusi
Para pengungsi berharap agar pemerintah daerah memperhatikan kebutuhan dasar mereka, terutama pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Mereka juga mengharapkan agar pemerintah pusat segera menarik TNI/Polri dari 14 distrik yang terkena dampak konflik di Nduga, agar masyarakat bisa kembali ke kampung halaman mereka dengan aman.
Hemat penulis, konflik di Tanah Papua, khususnya di Nduga, memiliki dua akar masalah utama. Pertama, Pepera yang tidak demokratis pada 14 Juli 1969. Lalu Trikora yang digaungkan Presiden Soeharto untuk merebut Irian Barat dari Belanda.
Selain itu, Papua, termasuk Nduga, terus menjadi sasaran eksploitasi sumber daya alam dan manusia.
Jika pemerintah ingin berperang, seharusnya ada zona khusus pertempuran yang tidak melibatkan warga sipil.
Para pengungsi membutuhkan perhatian serius dari pemerintah melalui kebijakan yang berpihak pada rakyat. Kabupaten Nduga dimekarkan karena adanya rakyat, bukan hanya untuk kepentingan administratif.
Kunjungan Dirjen Instrumen HAM yang diutus oleh Menteri HAM belum lama ini diharapkan memunculkan solusi nyata bagi warga Nduga.
Jangan sampai kunjungan tersebut hanya menghasilkan laporan tanpa tindakan nyata untuk mengakhiri penderitaan mereka.
Selain itu, negara harus mengadakan dialog dengan pihak netral. Hadirkan tokoh pejuang Papua dari berbagai perspektif untuk menemukan solusi damai yang adil bagi semua pihak. Hukum humaniter harus menjadi prioritas utama.
Jika hal-hal ini belum dilakukan secara serius, maka konflik yang melibatkan TNI/Polri, TPN-OPM, dan warga sipil akan terus berlanjut. Ini tentu menambah penderitaan masyarakat yang sudah terlalu lama hidup dalam ketidakpastian. (*)
*Penulis adalah Ketua Departemen Pemuda Baptis West Papua dan jurnalis di Provinsi Papua Pegunungan