Jayapura, WAGADEI – Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Cendikiawan Awam Katolik Papua St. Ignasius Loyola (ICAKAP) menginginkan kepada Sri Paus Fransiskus yang hadir di Indonesia agar bisa mendengarkan semua keluhan yang dirasakan oleh masyarakat atau umat Tuhan di tanah Papua.
“Kedatangan bapa Paus Fransiskus di Indonesia ini proses yang cukup panjang, dan ini merupakan hasil dari doa-doa kita semua akhirnya bapa Paus bisa berkunjung ke Indonesia di Jakarta. Karena itu bapa Paus harus dengarkan keluhan dari umat Tuhan di tanah Papua,” kata ketua umum ICAKAP, Ap Geraldus Bidana dalam konferensi pers di Jayapura, Kamis, (5/9/2024).
Kompleksitas persoalan pembanguanan di Papua saat ini sesungguhnya membutuhkan penanganan yang amat sangat serius dan hati-hati dari semua pemangku kepentingan baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, lembaga keagamaan, komunitas perempuan, komunitas masyarakat adat, pemuda dan komponen bangsa lainnya.
Bidana mengatakan, seluruh masyarakat di tanah Papua menginginkan agar Bapa Paus berkunjung ke tanah Papua namun tak berkunjung. Namun kedatangannya di Papua Nugini ibaratnya menginjakkan kaki di tanah Papua.
“Memang kami mau Bapa Paus harus datang ke tanah Papua ini. Tapi tidak terjadi, namun kedatangannya (Bapa Paus) di PNG itu sama saja telah injakan kaki di tanah Papua,” ujarnya.
Sekalipun tidak datang ke Papua, lanjut dia, tanah Papua memiliki persoalan yang cukup panjang dan belum terselesaikan hingga kini. Oleh karena itu, diharapkan kepada Sri Paus harus dengarkan semua keluh kesah tentang kehidupan orang asli Papua di tanah Papua.
“Kami ini mengalami banyak persoalan, mulai dari hancurnya hutan akibat kelapa sawit, sekarang dengan kebun tebu di Merauke, marginalisasi hingga persoalan pelanggaran HAM berat di tanah Papua. Kami mau semua ini harus didengar oleh Bapa Paus,” ungkapnya.
Mencermati keprotokolan terhadap Sri Paus di Jakarta, lanjut dia, tidak perlu terlalu ketat terhadap dinamika yang terjadi di tanah Papua. Sebab, masyarakat asli Papua tak sama sekali tidak memiliki unsur tertentu.
“Soal keprotokolan yang mengatur proses perjalanan Bapa Paus ini tidak perlu kaku, seperti yang kita lihat di Jakarta. Proses jalan Salib yang dilakukan di Jayapura dihadang seolah-olah ada hal-hal tertentu. Ya tidak perlu kaku, kita ini umat Katolik dan masyarakat asli Papua,” katanya. (*)