Nabire, WAGADEI – Penangkapan dan penyiksaan terhadap tiga warga sipil di Puncak atas nama Warinus Murib (18), Definus Kogoya (19), Alius Murib (19) asal Mangume, distrik Amukia, kabupaten Puncak pada 3 Februari 2024 kemudian videonya viral pada hari Jumat, 22 Maret 2024 merupakan hal yang tak manusiawi. Pasalnya disiksa di luar dari kewajaran.
Atas perlakukan yang diduga dilakukan oleh prajurit TNI, hingga saat ini banyak pihak masih angkat bicara dari masing-masing perspektif dengann seruan agar berikan keadilan kepada warga sipil di tanah Papua bahkan adili, pecat dan penjarakan pelaku penyiksaan terhadap warga sipil di Puncak, Papua Tengah.
Mahasiswa dan pelajar asal Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Jember mengecam pernyataan Pangdam XVII/Cenderawasih diduga petinggi militer di Papua ini telah melakukan pembohongan publik di media terkait video penyiksaan terhadap tiga warga sipil di Puncak Papua merupakan video editan.
Baca: https://wagadei.id/2024/03/29/prajurit-hina-undi-pakaian-yesus-papua/
Juru bicara AMP Komite Jember May Yatipai mengatakan, jika melihat lebih jauh ke dalam peristiwa ini terjadi yakni ditangkap dan di tahan sewenang-wenang oleh aparat TNI terhadap tiga orang pemuda saat mencari alang-alang guna menutupi atap rumah honai.
“Sebelum tanggal 3 Februari 2024, di Ilaga Puncak tersebar isu perampasan senjata oleh TPNPB, setelah itu TNI melakukan patroli di sekitar Amergaru dan sekitarnya. Dalam operasi siaga satu, pada 3 Februari 2024, aparat TNI menemukan tiga orang yang sedang cari alang-alang untuk buat atap honai. Tanpa tanya aparat langsung menangkap ketiga warga sipil tersebut,” kata jubir AMP Komite Kota Jember, May Yatipai melalui keterangan pers yang diterima wagadei.id Jumat, (29/3/2024) malam.
TNI lakukan penyiksaan tak manusiawi
Setelah ditangkap prajurit TNI, kata dia, sekalipun tanpa alat bukti yang meyakinkan ketiganya anggota TPNPB, aparat membawa langsung ke pos TNI yang berada di Kago, ibu kota kabupaten Puncak. TNI menudu ketiga orang sebagai anggota TPNPB tanpa bukti. Akhirnya aparat melakukan menelanjangi, menampar, memukul selanjutnya dimasukan ke dalam drum warna biru berisi air. Prajurit secara bergantian melakukan pemukulan pakai tangan, popor senjata bahkan iris pakai pisau keris hingga air putih berubah menjadi merah lantaran darah yang bercucuran.
Satu diantaranya bernama Warinus Murib (18) diikat tangannya lalu diisi ke dalam drum berisi air. Warius disiksa secara tidak manusiawi dan meninggal dunia.
Baca: https://wagadei.id/2024/03/28/tim-investigasi-diminta-usut-tuntas-penyiksaan-kepada-warga-sipil/
“Kami baru memastikan bahwa video yang beredar adalah benar-benar Warinus Murib asal kampung Mangume, kabupaten Puncak,” ujar Yatipai.
Sementara dua pemuda atas nama Definus Kogoya dan Alius Murib dipulangkan dan langsung dibawah ke rumah sakit Kago setelah diinterogasi dan disiksa. Namun, lanjut dia, di rumah sakit tidak terasa aman akhirnya keluarga korban membawa pulang ke rumah untuk melakukan pengobatan tradisional dari rumah.
“Bukan hanya itu, di kabupaten Yahukimo juga TNI dan Polri menangkap dua pelajar Papua, hingga sampai sekarang mereka masih belum dibebaskan dari Polda Papua. Sebelumnya mereka dituduh simpatisan KKB (TPNPB), hingga sampai sekarang mereka belum dibebaskan,” ungkapnya.
Rentetan pelanggaran HAM diduga pelakunya aparat penegak hukum
Jika dilihat jahu pelanggaran HAM berat di Papua sejak tahun 1960-an hingga 2024, pembunuhan karakter bahkan pembunuhan misterius hingga nyawa rakyat dan pejabat Papua terus berjatuhan. Bisa menyimak berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua tak satupun diselesaikan oleh negara Indonesia.
Pada tahun 1962 sampai tahun 1969, pemerintah Indonesia melakukan operasi militer di Papua untuk merebut Papua dari tangan Belanda, hingga pada tahun 1963 Papua dijadikan daerah operasi militer (DOM). Pemerintah Indonesia menempatkan TNI dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua dan melakukan operasi besar-besaran. Imbasnya ribuan rakyat Papua tewas dibunuh.
Operasi operasi militer di Papua tak kunjung usai, dari operasi sadar dari tahun 1965 hingga tahun 1967, operasi Bratayuda dari tahun 1967 gingga tahun 1969, operasi wibawa dari tahun 19767 hingga 1969, operasi pamungkas tahun 1969 hingga 1971, operasi militer di Jayawijaya tahun 1977, operasi Sapu Bersih I dan II tahun 1981, operasi Galang I dan II tahun 1982, operasi Tumpas dari tahun 1983 hingga tahun 1984, operasi Sapu Bersih Kembali terjadi lagi tahun 1985, dan operasi militer di Mapenduma sepanjang tahun 1996. Kemudian masih terus berlanjut hingga ada tiga kasus yang dinyatakan oleh negara sebagai kasus pelanggaran ham berat di Papua.
Beberapa kasus pasca reformasi seperti kasus Wasior berdarah pada tanggal 13 Juni 2001, anggota Brimob Polda Papua melakukan penyerbuan kepada warga di desa Wonoboi, Wasior dan Manokwari. Dalam kasus itu tercatat empat orang tewas, satu orang mengalami kekerasan seksual, lima orang hilang, dan 39 orang disiksa.
“Kasus berikutnya adalah kasus wamena berdarah tahun 2003. Komnas HAM melaporkan kasus ini menyebabkan sembilan orang tewas, serta 38 orang luka berat,” katanya.
Selanjutnya kasus Paniai Berdarah pada 8 Desember 2014, pengadilan memutukan pelakukan anggota TNI yang menembak mati empat siswa SMA. Kasus tragedi Biak Berdarah yang menimpa rakyat Papua di biak pada 6 Juli 1998. Wamena Berdarah April 2003, kasus tersebut masyarakat Papua sedang mengadakan ibadah namun TNI Polri melakukan penembakan. Kasus Abepura Berdarah pada Maret 2006 berdarah, Deiyai Berdarah 28 Agustus 2014, Dogiyai berdarah 13 April 2011, serta kasus kasus pelanggaran HAM yang belum diusut tuntas oleh negara Indonesia.
Otsus dan pengiriman militer ke Papua menjadi malapetaka bagi OAP
Otonomi Khusus (Otsus) malah menjadi malapetaka bagi rakyat Papua. Kehadiran Otsus membawa kesengsaraan dan penderitaan terhadap masyrakat Papua. Otsus membuaat lahan konflik baru pelanggaran HAM yang terus terjadi di mana-mana, dari konflik perampasan tanah adat, undang-undang yang pro terhadap investasi.
Bahkan konflik bersenjata antara TNI Polri dan TPNPB OPM masih terus terjadi. Terlihat jelas Otsus bukan memberi solusi tetapi memberi ancaman serius bagi masyarakat Papua ke depan
“Terhitung dari tahun 2018, konflik bersenjata memakan ribuan korban, masyarakat sipil menggungsi atas tanah tanah adat dan leluhur mereka. Pengiriman militer ilegal di Papua yang terus memperkeruh keadaan di Papua hingga sampai saat ini pengiriman militer membuat rakyat Papua takut dan trauma di atas tanahnya sendiri,” tegas May.
AMP Komite Kota Jember menuntut kepada Pangdam XVII/Cenderawasih segera mengakui adanya anggota TNI yang melakukan penyiksaan terhadap warga sipil orang asli di Puncak Papua, bukan membalikan fakta dengan asumsi video editan apalgi menuduh ketiganya adalah anggota KKB (TPNPB OPM).
Pihaknya juga meminta Komnas HAM segera melakukan investigasi penganiayaan terhadap warga sipil di Ouncak Papua.
“Negara segera hentikan pengiriman Militer organik maupun non organik dari tanah Papua Barat serta tarik militer organik dan non-organik dari tanah Papua Barat,” katanya.
Selain itu pihaknya juga meminta kepada Polda Papua segera usut tuntas kasus pembunuhan Jein Korupon di kabupaten Pegunungan Bintang oleh aparat penegak hukum. “Negara Indonesia juga segera bertanggung jawab atas penembakan terhadap tiga anak remaja (warga sipil) dan salah satunya menjadi korban di Intan Jaya,” katanya.
Pihaknya menuntut kepada Presiden Indonesia segera perintahkan Panglima TNI proses hukum oknum TNI sebagai pelaku penyiksaan anak di kabupaten Yahukimo dan warga sipil di kabupaten Puncak,” katanya.
“Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Maybrat, Yahukimo dan seluruh wilayah West Papua lainnya. Segera berikan hak menentukan nasip sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua,” katanya. (*)