Oleh: Finlan Aditya
KALAU ada akhlak terpuji yang bisa disandingkan dengan baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung, dia adalah giat menanam pohon. Aksi ini merupakan label utama bagi umat Indonesia yang cinta akan lingkungan.
Bukalah buku paket mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup, bisa dipastikan kalau setidaknya ada satu latihan soal yang jawabannya “reboisasi”. Atau coba telusuri program-program satuan pemerintah–mulai dari kepala RT sampai Presiden–pasti terdapat kegiatan menanam pohon di dalamya.
Gerakan menanam satu juta pohon, judulnya. Tema ini sangat populer sampai ada satu hari yang didedikasikan baginya. Bukan, bukan 28 November, tapi 10 Januari. Tanggal 10 Januari, kita memperingati Gerakan Satu Juta Pohon Internasional, sedangkan setiap tanggal 28 November kita memperingati Hari Menanam Pohon Nasional (HMPI).
Camkan perbedaannya, jangan sampai terbalik! Yang satu internasional, yang satunya nasional. Yang satu menanam sejuta pohon, yang satunya bebas menanam berapa saja.
Nah, selain itu ada juga Bulan Menanam Pohon Nasional (BMPI), yaitu bulan Desember. Tenang, di bulan ini kita tidak perlu menanam pohon setiap hari selama sebulan penuh. Ini Desember, bukan Ramadan.
Di bulan ini, badan pemerintah, organisasi masyarakat, maupun perusahaan swasta yang mau menunjukkan kecintaannya terhadap lingkungan dianjurkan menanam pohon. Kalau tidak mau menunjukkan juga tidak apa-apa. Tidak ada yang memaksa.
Intinya, menanam pohon adalah kampanye lingkungan paling ganas abad 21, diikuti dengan memungut sampah di pantai, dan mematikan lampu rumah selama satu jam. Agar lebih meriah, semuanya punya jatah satu hari internasional maupun nasional.
Manusia memang suka perayaan, apalagi manusia Indonesia. Perayaan mengundang perasaan senang dan tenang. Dia menciptakan ilusi kalau kita sudah melakukan aksi yang berdampak.
Setiap tahun, instansi pemerintah dan swasta memberdayakan warga untuk menanam pohon di sekitar permukiman mereka. Selain itu, setiap laman resmi balai dan dinas menyuarakan pentingnya menanam pohon untuk kelangsungan anak cucu mereka.
Tipuan ini dengan mudah mengelabui apalagi dengan tambahan bonus nasi bungkus di setiap acara menanam pohon (sampah kardusnya tidak perlu dipermasalahkan karena ini acara menanam pohon bukan acara membersihkan sampah).
Namun, bukan masyarakat saja yang tertipu. Orang-orang yang menggelar, yang mengetuai, bahkan yang menetapkan hari menanam pohon saja ikut terhasut oleh muslihat perayaan ini.
Tanam Tipu-Tipu
Di tahun 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menimbang bahwa penetapan HMPI adalah “momentum strategis bangsa Indonesia dalam upaya mengantisipasi perubahan iklim global, degradasi dan deforestasi hutan dan lahan, serta kerusakan lingkungan lainnya yang mengakibatkan penurunan produktivitas alam dan kelestarian lingkungan”.[1] Sungguh kompleks nan adiluhung.
Dengan penetapan ini, tentunya kita berekspektasi kalau luas deforestasi hutan Indonesia menurun pasca tahun 2007. Namun, selama kepresidenan SBY, terdapat lima tahun dengan deforestasi lebih tinggi dari tahun 2007 (526 kha), yaitu 2009 (684 kha), 2010 (541 kha), 2011 (614 kha), 2012 (856 kha), dan 2014 (737 kha). [2] Semuanya terjadi setelah HMPI ditetapkan.
Oh, tapi tidak adil kalau penanaman pohon hanya dibenturkan dengan masalah deforestasi. Tidak salah. Perhitungan deforestasi hanya melibatkan perubahan lahan hutan menjadi lahan tidak hutan, sedangkan tidak semua tanaman yang ditanam adalah tanaman hutan.
Maka, mari kita lihat fungsi pohon yang lebih universal. Untuk itu, kita perlu sedikit menengok lagi satu pelajaran ketika duduk di bangku sekolah dasar.
Karbon dioksida memicu pemanasan global. Pohon menyerap karbon dioksida. Makin banyak pohon, makin terhindar bumi dari pemanasan global. Pada dasarnya, berbicara tentang menanam pohon pada skala nasional berarti berbicara tentang pemanasan global.
Dalam salah satu skenario yang dilaporkan kepada U.N. Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Indonesia berambisi mencapai puncak emisi karbon dioksidanya pada tahun 2030 dan menjadi negara karbon netral pada tahun 2070.[2][3]Di berbagai laman pemerintah, HMPI tentu dikibarkan sebagai salah satu bendera tanda bahwa negeri ini sudah siap menumpas perubahan iklim. Namun, apakah Indonesia sudah pada trayek yang benar untuk mencapai target ini? Tentu belum.
Dengan segala usahanya, Indonesia saat ini masih berada pada trayek garis biru, menunjukkan produksi karbon dioksidanya justru berlipat ganda alih-alih menjadi nol pada tahun 2070 sesuai dengan cita-cita awal.
Tidak mengejutkan kalau besok lusa pemerintah kita mengeluarkan permintaan izin paling umum se-Indonesia: boleh diundur atau tidak? Hehe.
Deadline memang bisa diundur, tapi kiamat tidak.
Skeptis, Jangan SinisApakah berarti aksi menanam pohon jadi sia-sia? Tentu tidak.
Pada skala yang lebih lokal, banyak contoh aksi penanaman pohon yang berbuah manfaat nyata. Contohnya adalah penanaman pohon bakau di sepanjang pantai Nusantara untuk melindungi permukiman pesisir yang rentan terserang abrasi pantai. Banyak dari kegiatan konservasi mangrove ini diinisiasi oleh tokoh lokal dan memberdayakan masyarakat setempat.
Tulisan ini bukan ingin mengolok-olok dan memandang sinis warga yang menanam pohon sebagai orang yang sok-sokan dan pretensius. Dia hanya ingin mengingatkan bahwa perayaan-perayaan lingkungan rentan membuat kita terlena dan lupa dengan masalah pada gambaran besar.
Hari Menanam Pohon Indonesia harus bersanding dengan Tahun-Tahun Merawat Pohon Indonesia. Ingat: menanam pohon tidak seperti mendulang emas yang keuntungannya bisa diraup hari itu juga.
Pohon butuh puluhan, bahkan ratusan tahun untuk tumbuh besar. Maka, manfaatnya untuk lingkungan pun tidak instan. Namanya investasi, tentu jangka panjang.
Sayangnya, cuma butuh sekian menit untuk menebang pohon yang investasinya butuh ratusan tahun. Hari ini, setiap satu jabang pohon yang kita tanam, masih ada puluhan bahkan mungkin ratusan pohon raksasa yang ditebang tanpa keperluan mendesak, entah untuk dijual secara ilegal atau disulap jadi lahan perkebunan.
Terlebih lagi, kita hanya punya satu bulan yang didedikasikan untuk menanam pohon, sedangkan penebangan terjadi sepanjang tahun.
Berbicara tentang peran pohon untuk menangani perubahan iklim, degradasi dan deforestasi, serta kerusakan lingkungan, jangan puas dengan menanam pohon saja.
Kalau ambisi kita cuma reboisasi tanpa merawat yang pohon-pohon yang sudah ada, lima atau sepuluh tahun mendatang, hutan kita hanya akan berisi pohon-pohon setinggi pundak manusia. (*)