Oleh: Felix Degei*
Beberapa waktu belakangan media sosial ramai dengan foto Generasi Z (Gen Z) Papua, yang merayakan kelulusan dengan cara yang unik. Mereka melakukan selebrasi dengan menggambar bendera motif Bintang Kejora pada pakaian atau seragamnya.
Aksi tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang asli Papua (OAP), tetapi juga non-OAP.
Mereka bahkan mencoret atau menggambar pada seragamnya, sesuai tingkat pendidikan–dari SMP, SMA hingga mahasiswa.
Tentu banyak yang bertanya. Mengapa mereka melakukan hal demikian? Siapa yang suruh dan apa motifnya? Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, menurut perspektif psikologi perkembangan manusia.
Apa itu bendera Bintang Kejora?
Menurut K.H. Abdul Rahman Wahid atau Gus Dur, bendera Bintang Kejora adalah bendera bentuk lambang identitas kultural orang Papua yang patut dihargai oleh suku bangsa lain di dunia. Jika lambang ciri khas identitas budaya, maka sepatutnya kita menghargainya, sebagaimana pemerintah Australia menghargai bendera Aborigin dan Torres Strait Islanders untuk berkibar bersama di udara, meski dengan posisi yang berbeda.
Gus Dur mengatakan, bendera Bintang Kejora boleh berkibar dengan syarat tingginya tidak sejajar dengan Merah Putih.
“Bintang Kejora bendera kultural. Kalau kita anggap sebagai bendera politik, salah kita sendiri,” katanya.
Mengapa generasi berdarah “Bendera Bintang Kejora”?
Generasi Z Papua saat ini adalah angkatan anak muda yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Dengan demikian, tentu kehidupan orang tua mereka sangat dekat dengan ragam peristiwa penting, dalam sejarah hidup orang Papua.
Misalnya, peristiwa Biak Berdarah 2 Juli 1998 yang bermula dari aksi damai, hingga berujung pada 150 orang ditahan, 37 orang luka-luka, 8 orang meninggal dunia dan 3 orang dinyatakan hilang. Demikian laporan ELSAM Papua, Gereja Kristen Injili (GKI) Irian Jaya, Gereja Katolik Keuskupan Jayapura dan Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) tahun 1998.
Sebagai respons atas kasus tersebut, tepat 26 Februari 1999, Presiden B.J. Habibie mengundang Tim 100 untuk berunding di Istana Merdeka.
Salah satu hasil pertemuannya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang kini berusia 24 Tahun.
Selanjutnya, tepat 31 Desember 1999 Presiden Gus Dur menghabiskan malam kunci tahun di Jayapura, sekaligus secara resmi mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua.
Pada momen itu juga presiden keempat RI itu pernah mengakui bahwa bendera Bintang Kejora adalah simbol identitas kultural orang asli Papua.
Peristiwa penting lain terjadi pasca perubahan nama Irian menjadi Papua adalah Wasior Berdarah. Amnesty Internasional menyebutnya sebagai pelanggaran HAM berat, karena adanya kejahatan terhadap kemanusiaan secara meluas dan sistematis (Bdk. Pasal 5 Statuta Roma, Mahkamah Pidana Internasional) dan UU Nomor 26 tahun 2000.
Kasus lain yang tidak akan pernah dilupakan oleh bangsa Papua adalah penculikkan dan pembunuhan terhadap Ketua Presidium Dewan Papua (PDP), Ondofolo Dortheys Hiyo Eluay pada 10 November 2001.
Kasus tersebut merupakan potret besar tentang kematian HAM di Papua, sebagaimana ditegaskan oleh Pendeta Dr. Benny Giay dalam Bukunya “Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua” (2006).
Sementara dua kasus terakhir yang terjadi secara masif adalah kerusuhan di depan gapura Uncen (Universitas Cenderawasih) Abepura, yang dikenal dengan Uncen Berdarah, 16 Maret 2006.
Dan Paniai Berdarah tanggal 8 Desember 2014, yang menewaskan 5 siswa dan 17 orang luka-luka oleh oknum TNI.
Serta kini beberapa daerah seperti Intan Jaya dan Nduga yang warganya sudah mengungsi ke hutan dan daerah terdekatnya.
Beberapa kasus di atas ini adalah memori kolektif yang membuat Gen Z memiliki imajinasi nasionalisme baru (a new kind of nationalism), sebagaimana dikatakan oleh Rocky Gerung (2024).
Sebagai generasi yang identik dengan cakap teknologi atau media sosial, pemikiran kritis, kebebasan berekspresi dan semangat keberagaman, tentu sangat dekat dengan ragam peristiwa di Tanah Papua belakangan ini.
Tidak hanya itu tentu mereka juga pernah dengar rangkaian pengalaman tragis dari orang tua. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan generasi dengan darah bendera Bintang Kejora.
Faktor pembentuk kepribadian manusia
Dalam perspektif ilmu Psikologi Perkembangan Manusia (Human Developmental Psychology), kepribadian manusia dibentuk dari faktor hereditas (genetika) dan lingkungan (environment).
Faktor hereditas sendiri meliputi warisan biologis seperti bentuk tubuh, jenis cairan tubuh dan sifat-sifat bawaan (traits). Sedangkan faktor lingkungan mencakup lingkungan tempat tinggal, sekolah dengan ragam pengalaman yang unik.
Sehingga ciri khas dominan dari faktor hereditas menentukan kecerdasan, watak temperamen dan potensi fisik.
Sementara faktor lingkungan sangat erat dengan pembentukan sifat dan sikap bagaimana menanggapi segala sesuatu, yang terjadi di sekitar individu bersangkutan tumbuh dan berkembang.
Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa sifat bawaan yang ditunjukkan oleh Gen Z di Papua belakangan ini adalah cerminan manifestasi dari gabungan faktor hereditas (genetika) darah yang membentuk mereka.
Dalam ilmu biologi istilah tersebut dikenal dengan genetik dan epigenetik dan sosio emosional lingkungan dimana mereka bertumbuh dan berkembang.
Kesimpulan
Niat Gen Z Papua sekarang untuk coret atau menggambar seragamnya dengan motif bendera Bintang Kejora adalah murni hasil refleksi mendalam, atas ragam dinamika kehidupan di Tanah Papua.
Mereka tentu dibuahi dan dibentuk dari sperma dan indung telur yang matang, dengan ragam masalah ketimpangan di Papua.
Mereka juga lahir, tumbuh dan berkembang dengan kecerdasan, watak temperamen dan potensi fisik bawaan, serta sifat dan sikap bagaimana menanggapi permasalahan berdasarkan pengalaman hidup yang unik.
Dengan modal cakap teknologi atau media sosial, pemikiran kritis, kebebasan berekspresi dan semangat keberagaman sebagai ciri khas Gen Z, maka tidaklah heran jika mereka unik.
Sehingga Gen Z Papua dewasa ini senantiasa menanggapi segala permasalahan hidupnya, dengan euforia coret atau gambar motif bendera Bintang Kejora, sebagai manifestasi penghargaan hakiki pada lambang identitas kultural Bangsa Papua, yakni bendera Bintang Kejora. (*)
*Penulis adalah pegiat pendidikan khusus orang asli (Indigenous education) tinggal di Nabire, Provinsi Papua Tengah