Nabire, WAGADEI – Akhir-akhir ini isu penolakan program transmigrasi ke wilayah Papua sangat menarik untuk diperbincangkan publik.
Tak ketinggalan sejumlah kalangan di provinsi Papua Tengah juga angkat bicara menolak program transmigrasi tersebut.
Dewan Adat Meepago yang diwakili Sekretaris Lembaga Dewan Adat Kamuu, Mapia Dan Piyaiye (Kamapi) Kabupaten Dogiyai, Papua Tengah Alexander Pakage juga menyampaikan bahwa menolak program transmikrasi ke Papua.
Iapun ikut menyuarakan penolakan program transmigrasi ke Papua yang direncanakan pemerintah Republik Indonesia di era pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
“Kami menilai program transmikrasi yang di rencanakan presiden baru hanya mau menghancurkan segala segi kehidupan OAP. Karena setelah banyak masyarakat datang ke Papua, kami akan terpinggir dan segala hak kami akan diambil alih oleh negara melalui orang non Papua,” ujar Alexander Pakage, Jumat, (8/11/2024).
Memang, menurut Pakage, transmigrasi merupakan program pemerintah untuk memindahkan penduduk dari daerah padat penduduk ke daerah yang jarang penduduknya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan, pendapatan dan menyebarkan penduduk ke wilayah baru.
“Namun program transmigrasi itu kami menolak keras karena kami orang asli Papua menganggap program itu sangat mengancam kelangsungan hidup bagi kami orang asli Papua. Program ini hanya mau merampas segala hak kesulungan kami di segala bidang. Baik itu bidang pemerintahan, politik dan ekonomi,” katanya.
Ia mencontohkan, berbagai kota di Papua untuk di bidang politik cukup banyak kursi DPRD yang diduduki oleh non Papua, apalagi di pemerintahan justru dipenuhi oleh kaum migran.
“Semua segi sudah ditutup. Hal-hal seperti ini kami orang asli Papua merasa dijajah dan dipinggirkan. Bila transmigrasi itu terjadi di mana-mana, berarti kami menganggap negara dengan sengaja membuat program itu untuk memusnahkan kami orang Papua ras Melanesia di Papua Barat,” katanya.
Transmigrasi adalah konsep Penjajahan belanda yang sedang dipakai NKRI terhadap Papua. Transmigrasi adalah konsep penjajahan Belanda di Indonesia pada masa penjajahan yang sedang dijalankan oleh Presiden Indonesia, Prabowo Subianto.
“Ya, transmigrasi adalah program pemindahan penduduk yang dijalankan oleh pemerintah Belanda pada masa penjajahan, dan dikenal dengan sebutan kolonisasi,” ujarnya.
Berikut adalah beberapa hal yang perlu diketahui tentang transmigrasi pada masa penjajahan Belanda: Program transmigrasi dimulai pada awal abad ke-19. Program ini dilakukan untuk meratakan penduduk dari pulau Jawa dan Madura ke pulau Sumatera. Program ini bermula dari pemikiran Van Deventer.
Program ini berhenti pada tahun 1942, setelah kekuasaan berpindah ke tangan Jepang.
Pada masa penjajahan Jepang, program transmigrasi tetap berjalan, namun dengan nama dan program yang berbeda, yaitu Kokuminggakari.
Pemerintah Indonesia melanjutkan program transmigrasi setelah merdeka pada tahun 1950 dengan menggunakan istilah transmigrasi secara resmi
Pada 1901, muncul kebijakan politik etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft dan C. Th van Deventer. Politik etis atau Politik balas budi adalah pemikiran bahwa pemerintah Belanda memiliki utang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan rakyat Indonesia pada saat itu.
Terdapat tiga program dalam politik etis yaitu irigasi edukasi migrasi salah satu dari tiga program tersebut yang berhubungan dengan kolonisasi adalah migrasi. Pemerintah Belanda saat itu mengkhawatirkan jumlah penduduk di pulau Jawa yang semakin padat jika dibandingkan dengan luas daerahnya, terutama di wilayah Jawa Tengah.
Pada 1889, seorang kontrolir dari kalangan Binnenlandsch Bestuur (pemimpin dari salah satu organisasi Belanda) bernama HEB Schmalhausen, menyarankan untuk menekan jumlah penduduk di Pulau Jawa.
Schmalhausen juga menyarankan agar area perkebunan di luar Pulau Jawa terpenuhi tenaga kerjanya. Oleh karena itu, akan lebih baik jika dilakukan perpindahan penduduk (kolonisasi). Akhirnya, pemerintah Belanda mulai menyusun berbagai rencana untuk merealisasikan program kolonisasi ke luar Pulau Jawa dengan tujuan menetap.
Aktivis lingkungan Papua Tengah, Musa Boma mengatakan, pihaknya menolak transmigrasi karena diketahui transmigrasi telah dilaksanakan di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda yang biasa disebut dengan istilah kolonisasi.
“Provinsi Lampung pernah menjadi salah satu daerah tujuan utama transmigrasi. Dengan ini, kami menilai Indonesia mulai menjalankan praktek-praktek kolonisasi itu untuk menghancurkan Orang Papua untuk menuju pada pemusnahannya,” ujar Boma.
Ia berujar, program transmikrasi boleh dikatakan konsep kolonial Belanda murni yang diadopsi oleh Indonesia terhadap Papua untuk kolonisasi dan penjajahan untuk meminggirkan orang Papua di segala bidang untuk merampas segala hak kesulungan agar akhirnya di kuasai dan di musnahakan etnis Melanesia di Papua Barat,” katanya.
Dengan digalakkan program tersebut, OAP menilai pemerintah Indonesia sedang berada pada posisi kebingungan untuk mempertahankan Papua yang penuh dengan kekayaan yang melimpah ruah.
“Jadi mereka (Prabowo dan menterinya) dengan sengaja buat kebijakan itu, arahnya kami sudah paham, makanya kami tolak,” ujarnya. (*)