Transmigrasi justru berpotensi menimbulkan konflik baru di Papua

Gorontalo, WAGADEI – Mahasiswa Papua di Gorontalo, Sulawesi Utara menolak rencana program transmigrasi yang akan dilaksanakan pemerintah untuk menggarap lahan food estate di Papua.

Bacaan Lainnya

Aksi penolakan ini dilakukan oleh mahasiswa Papua yang berasal dari tujuh wilayah adat Papua kurang lebih 50-an orang yang sedang mengenyam pendidikan di Sulawesi Utara pada Jumat, (15/11/2024).

Adriyatno Patilanggio, selaku kordinator lapangan pada aksi demontrasi tersebut mengatakan, turut terlibat 13 organisasi paguyuban mahasiswa Papua di Gorontalo, Komite Nasional Papua Barat, serta Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, serta individu pro demokrasi dengan massa berjumlah 50-an orang.

“Program transmigrasi justru berpotensi menimbulkan konflik baru baik di kehidupan sosial, ekonomi, budaya di tanah Papua,” katanya.

Program transmigrasi tersebut, lanjut dia, akan semakin meminggirkan orang asli Papua (OAP) dari tanah leluhurnya.

“Itu yang menjadi alasan utama mengapa kami dan beberapa daerah lainnya serentak turun ke jalan menyuarakan aspirasi rakyat Papua,” katanya.

Menurut dia, aksi berjalan dengan damai dan tanpa gesekan dengan aparat negara, dan dilaksanakan di dua tempat yakni depan kampus UNG dan menara Limboto.

Ia menegaskan, dalam aksi demonstrasi tersebut pihaknya menyerukan kepada Pemerintah Republik Indonesia stop adu domba masyarakat Papua dan masyarakat jawa dalam program transmigrasi.

“Kami tolak investor asing dan cabut proyek strategis nasional di atas tanah Papua,” ujarnya.

Pihaknya juga berharap kepada elit politik Papua berhenti menggadaikan tanah Papua demi kepentingan pribadi.

“Tarik militer organik dan non organik di atas tanah Papua. Dan kami juga tolak terosisme dan polda Papua segera ungkap pelaku pelemparan bom molotov di kantor Jubi,” ucapnya.

Selain itu pihaknya menolak Pilkada tahun 2024 di tanah Papua Serta melawan segala bentuk diskriminasi dan rasialisme di atas muka bumi.

“Meepago, Lapago, Saireri, Domberai, Bomberai, Anim Ha dan Mamta bukan tanah kosong,” ucapnya.

Seharusnya, lanjut dia, Republik Indonesia segera tuntaskan pelanggaran HAM di atas tanah Papua, bukan bahas soal transmigrasi.

“Pemerintah Papua harus bijak dalam menanggapi kebijakan pemerintah pusat yang merugikan masyarakat adat,” ucapnya. (*)

Pos terkait