Koalisi masyarakat sipil desak hentikan operasi siaga tempur di Papua

Jayapura, (WAGADEI) Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak TNI hentikan operasi siaga tempur yang sedang diterapkan di daerah rawan di Papua. Koalisi Masyarakat Sipil juga mendesak pemerintah segera penuhi janji Presiden melaksanakan dialog.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobai, perwakilan koalisi menyebut pilihan operasi siaga tempur merupakan pilihan kebijakan yang akan terus memproduksi spiral kekerasan.

Bacaan Lainnya

“Jika itu pilihan kebijakan yang akan ditempuh, maka koalisi mendesak agar rencana itu dibatalkan,” ujar Gobai, melalui siaran pers kepada wagadei.id, Rabu (19/4/2023).

Operasi siaga tempur diterapkan buntut dari penyerangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) atau oleh negara disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang diklaim menewaskan 9 anggota TNI dan merampas 9 pucuk senjata api, pada Sabtu (15/4/2023), di distrik Yal, kabupaten Nduga, provinsi Papua Pegunungan.

“Peristiwa gugurnya prajurit dalam sebuah operasi yang disebut oleh TNI sebagai operasi penyelamatan pilot maskapai Susi Air yang disandera oleh Tentara Pembebasan Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM) tentu menyisakan duka mendalam, tidak hanya bagi keluarga prajurit yang gugur dan keluarga besar TNI. Karena itu, Koalisi menghaturkan rasa duka cita sekaligus berharap tidak ada lagi nyawa anak bangsa yang gugur akibat operasi militer di Papua,” tuturnya.

Gobai mengatakan, peristiwa baku tembak tersebut harus menjadi pembelajaran berharga bagi Presiden dan DPR untuk mengevaluasi pendekatan keamanan militeristik yang selama ini dijalankan di Papua.

“Karena kejadian ini bukanlah satu-satunya peristiwa. Sebelumnya Kapolri juga merilis data sebanyak 22 Prajurit TNI-Polri telah gugur dari tahun 2022 hingga sekarang,” ucapnya.

Dikatakan, pendekatan keamanan militeristik yang terus dijalankan secara langsung dan tidak langsung akan berdampak pada terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat di Papua.

Gobai mencontohkan beberapa kasus yang sempat mencuat ke publik, misalnya, pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani pada tahun 2020, hingga pembunuhan yang disertai mutilasi terhadap empat orang warga sipil Papua pada tahun 2022. Kemudian kasus penyiksaan terhadap tiga orang anak yang dituduh melakukan pencurian pada tahun 2022 dan lain-lain.

Gobai menyatakan, praktik impunitas selalu menjadi persoalan melahirkan kekerasan terus-menerus yang melibatkan aparat keamanan. Sehingga penegakan hukum untuk memutus mata rantai impunitas menjadi penting untuk mencegah berulangnya kekerasan aparat keamanan terhadap masyarakat sipil di Papua.

Pihaknya memandang evaluasi pendekatan keamanan militeristik harus dimulai segera. Evaluasi tersebut dapat dilakukan dengan upaya penataan ulang terhadap gelar kekuatan pasukan TNI di Papua.

“Selama ini, ada indikasi terjadi peningkatan jumlah kehadiran pasukan TNI yang semakin tidak proporsional seiring dengan terus dijalankannya pemekaran struktur organik dan pengiriman pasukan TNI non-organik dari luar Papua,” terangnya.

Gobai juga menegaskan, melihat dari sisi legalitas dan akuntabilitas, pelibatan TNI dalam penanganan konflik di Papua memiliki banyak persoalan yang tidak sejalan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

“Pasal 7 Ayat (3) UU TNI menegaskan pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) oleh TNI, termasuk dalam hal ini penanganan separatisme dan perbantuan terhadap kepolisian, harus didasarkan pada keputusan politik negara atau keputusan yang dikonsultasikan kepada DPR RI,” ujarnya

Bahkan, lanjut dikatakan, berdasarkan estimasi salah satu anggota Koalisi, yaitu Imparsial, jumlah prajurit TNI di Papua baik dari unsur organik aupun non-organik diperkirakan mencapai ±16.900 prajurit, yang terdiri dari ±13.900 prajurit TNI organik tiga matra (darat, laut dan udara) dan ±3000 prajurit TNI non-organik.

“Pada konteks pasukan non-organik, dilihat latar belakang satuannya, sebagian besar (jika tidak bisa dikatakan seluruhnya) yang dikirim ke Papua adalah satuan dengan kualifikasi tempur,” ujarnya.

Sehingga kembali pihaknya meminta, evaluasi operasi keamanan militeristik harus segera dilakukan dibarengi dengan upaya konkrit penghentian spiral kekerasan di Papua, melalui salah satunya jalan dialog damai bermartabat.

“Sudah saatnya Presiden dan DPR merealisasikan agenda dialog dalam penyelesaian masalah Papua dan bukan menggunakan pendekatan keamanan yang militeristik. Penggunaan pendekatan yang eksesif dan koersif hanya akan memperpanjang daftar pelanggaran HAM,” pintanya.

Menurut pihaknya, pemerintah bisa sebab sejatinya pemerintah memiliki modal dan pengalaman historis untuk menyelesaikan konflik Papua dengan pendekatan damai dan bermartabat melalui jalan dialog seperti pada konflik Aceh, Poso dan Ambon.

“Pengalaman penyelesaian konflik Aceh, Poso dan Ambon semestinya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk penyelesaian konflik Papua,” harapnya.

Berangkat dari penyampaian diatas, koalisi pun mendesak:

1. Presiden dan DPR RI menghentikan operasi tempur dan pendekatan militeristik lainnya untuk menangani situasi keamanan di Papua.

2. Presiden dan DPR melakukan evaluasi terhadap seluruh kebijakan keamanan, hukum, dan pembangunan di Papua.

3. Pemerintah dan TPNPB-OPM melakukan gencatan senjata dan penghentian permusuhan segera untuk mencegah jatuhnya korban lebih jauh.

4. Pemerintah dan TPNPB-OPM membuka ruang dialog yang setara dan bermartabat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *