Oleh: Lamadi de Lamato
PENANGKAPAN terhadap Gubernur Papua, Lukas Enembe oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sebuah restoran di Kota Jayapura, termasuk dilakukan dengan cara yang tidak biasa.
Pasalnya, tidak ada perlawanan berarti dari masyarakat pendukungnya, saat Lukas Enembe (LE) yang sedang mengidap banyak komplikasi penyakit ini secepat kilat, ia langsung diterbangkan dengan pesawat Trigana Air keluar Papua. Beberapa pihak menyayangkan penangkapan Gubernur LE yang tidak mempertimbangkan faktor kesehatan yang menyerang fisik dan psikis Gubernur Paua dua periode ini.
Saat dibawa dari Mako Brimob hingga ke bandara Sentani, terlihat serangan beberapa warga di depan Mako dan bandara, yang cukup menyulitkan aparat tapi kemudian bisa dihalau dengan cepat. Saya sebagai mantan Juru Bicara Gubernur Papua, beliau hingga tahun 2016, saya memang sudah melihat Gubernur Lukas Enembe sangat dibenci Jakarta.
Lelaki kelahiran Mamit, Tolikara tahun 1967 ini, sangat fenomenal sebagai tokoh politik kharismatik di Papua. Ia mengawali karirnya dari seorang pegawai kecil di Nimborang selaku penggerak warga pedesaan dalam budi daya pertanian. Karirnya mulai menanjak ketika ia menjadi Wakil Bupati Puncak Jaya, di kampung halamannya.
Saat Pemilihan Gubernur (Pilgub) tahun 2008, ia yang masih sangat muda mulai tampil sebagai Cagub bersama tokoh muslim, Arobi Airuarauw, yang harusnya menang tapi didzholimi Jakarta sehingga ia tersingkir. Baginya, kekalahan adalah guru terbaik. Benar sekali, saat Pilgub tahun 2013, ia kembali tampil dengan menggandeng Cawagub Klemen Tinal, yang kekuatannya tidak terbendung.
Bersama almarhum Klemen Tinal, keduanya membuat berbagai terobosan politik guna merubah wajah pembangunan Papua, lebih maju dan terdepan.
Sejak jadi Wakil Bupati hingga Bupati Puncak Jaya, LE sudah membangun SDM yakni anak-anak daerah dengan masif melalui pengiriman mahasiswa asal Papua studi di dalam negeri maupun luar negeri. Saat jadi Gubernur dua periode, LE lebih memasifkan program-program tersebut dalam kebijakannya. Sudah ribuan anak Papua yang ia kuliahkan di mana-mana termasuk negara-negara besar di dunia.
Dua Lamato
Saya mengenal Gubernur Lukas Enembe, saat ia kalah sebagai Cawagub dari politisi gaek dan senior, Barnabas Suebu. Pertemuan yang singkat, lalu membawa saya pulang ke Jayapura. Saya merasa memiliki banyak kesamaan dengan Lukas, sama-sama keluarga miskin, sering diremehkan dan nama Lamato yang sama. Rupanya, nama kampung Lukas adalah Lamato.
Menulis biografi Lukas Enembe, sama seperti saya menyusun kisah hidup saya. Lelaki yang gigih, berani keluar kampung sejak kecil untuk sekolah dan mimpinya yang tinggi untuk rakyatnya. Buku itu saya tulis 1,5 tahun, dan langsung mendapat sambutan hangat warga Papua.
Dalam peluncuran, audiens rata-rata menangis histeris ketika tahu bila Lukas adalah pemimpin yang lahir dari latar belakang yang sangat prihatin. Buku ini ikut membantu popularitas Lukas Enembe melejit hingga terpilih sebagai Gubernur pertama asal Pegunungan, sejak hampir 50 tahun roda pembangunan dipegang warga Papua asli pesisir.
Sebelum saya dipecat tanggal 4 Januari 2016 sebagai Jubir, Lukas Enembe digoyang beberapa kali oleh Jakarta dalam beberapa kasus. Ia disebut sebagai Gubernur yang mengotaki pembakaran Masjid di Tolikara, pembangkangan atas kunjungan Presiden di Papua tanpa ada beliau di tempat, serta dituding sebagai pendukung gerakan separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan lain-lain.
Yang paling tragis sebelum ia mulai sakit-sakit, idenya tentang Otsus Plus yang ia perjuangkan era Susilo Bambang Yudhoyono ditolak dengan cara banyak intrik. Di sinilah Lukas sangat sedih tapi ia masih membuat terobosan walau fisiknya anjlok.
Kriminalisasi Yang Menyayat Hati
Beberapa hari sebelum ditangkap KPK, Lukas Enembe dengan tergopoh-gopoh sakit masih sempat meresmikan maha karyanya, diantaranya kantor Gubernur elit, gedung MRP, gedung KPU Papua dan lainnya, yang ia akan tinggalkan setahun lagi masa jabatannya, 2023. Sebelumnya ia telah membangun kantor gedung negara yang wah dan stadion mewah di Sentani, sebagai simbol Papua sukses jadi tuan rumah PON 20 di era kepemimpinannya.
Sayang, ibarat melempar garam di laut, semua prestasi itu tidak berarti apa-apa di mata pemerintah NKRI, Lukas yang prestisius itu tetap “diborgol” untuk di adili di Jakarta dengan cara yang buruk. Di mata saya, Gubernur Enembe, bukan lagi milik warga gunung, pesisir Papua, tapi ikon pluralisme dan persaudaraan Papua, yang harus dibela oleh seluruh pejuang keadilan dan kemanusiaan agar tidak ada lagi kriminalisasi di mana-mana. (*)
*) Penulis adalah Presiden Warga Imigran Pendatang se Tanah Papua