Timika, WAGADEI – Sejarawan Katolik di Tanah Papua, Emanuel Petege memberi apresiasi dan berterima kasih kepada Gubernur Papua Tengah Meki Fritz Nawipa, atas kunjungan ke kota tua Kokonao, Distrik Mimika Barat, Kabupaten Mimika.
Menurut sejarawan Emanuel Petege, hampir beberapa dekade kota tua Kokonao nyaris dilupakan. Maka dari itu, kunker Gubernur Nawipa bersama rombongan patut diberi apresiasi.
“Terima kasih kepada Gubernur Provinsi Papua Tengah (Meki Nawipa) beserta rombongan atas kunjungan ke kota tua Kokonao,” kata Petege kepada Wagadei di Timika, Sabtu (12/4/2025).
Petege menilai, kunjungan ini merupakan kunjungan kerja Gubernur dan Bupati Mimika.
“Selain itu, kunker ini merupakan kunjungan wisata sejarah, yang hampir beberapa dekade nyaris melupakan kota tua Kokonao,” kata sejarawan Katolik Tanah Papua Emanuel Petege.
Petege yang juga salah satu guru di perbatasan RI-PNG ini mengatakan, Pos Pemerintah Belanda pertama kali dibuka di Kampung Kekwa tahun 1926 oleh Tuan Residen Fakfak John Cator, di bawah Pemerintah Onder Afdeling Fakfak.
Namun dengan berbagai kepentingan dan alasan, satu tahun kemudian dipindahkan ke Kokonao, Mimika Barat. Selanjutnya peletakan batu pertama dilakukan pada April 1927, sehingga bulan April 2025 ini sudah berusia 98 Tahun.
“Gubernur MN (Meki Nawipa) sudah tahu persis sebagai anak Mee pasti ingat Kokonao yang terkenal. Lalu hari ini dilupakan semua orang hanya ingat Timika, tetapi sejarah di masa lalu menunjukkan kota Kokonao merupakan pusat peradaban orang Mimika Wee, Amungme, orang Mee dan orang Moni, karena ke empat suku yang saya sebut ini dulu anak-anak dari daerah tersebut datang masuk sekolah di Kokonao,” kata Petege.
Ia mengatakan, mulai tahun 1955 anak-anak Mee dan Moni dikirim ke Kokonao masuk di JVVS, VVS dan sebagian lanjut ke ODO Fakfak. Ada pula yang dikirim ke PMS Hollandia (sekarang SMP St. Paulus Abepura). Ada juga yang dikirim ke PMS Merauke.
“Di Kokonao mereka dididik, dibina dan diasuh di asrama-asrama yang dikelola oleh para misionaris,” katanya.
Kokonao jadi pusat perputaran ekonomi
Kokonao, lanjut Petege, kala itu juga merupakan pusat perdagangan dan perputaran ekonomi masyarakat, terutama masyarakat pegunungan di wilayah Meepago, karena sistem barter dilakukan sejak awal tahun 1930-an. Mulai tahun 1965 ikan asin maupun ikan basah disuplai dari Kokonao ke daerah pedalaman, yang dipusatkan ke sejumlah paroki yaitu ke Modio, Timeepa, Moanemani, Diyai, Waghete, Epouto, Komopa, Obano, Enarotali, Bilogai, Bilai, Ilaga dan Akimuga.
“Kunjungan ini bisa memulihkan kembali juga bidang pendidikan yang dulu Kokonao menjadi pusat bagi wilayah lainnya, terutama anak-anak di Pegunungan Tengah bagian barat di Tanah Papua,” katanya.
Dia mengatakan, peranan Gereja Katolik juga cukup besar di wilayah Mimika, karena Kokonao menjadi pusat pekabaran dan pengkaderan misi Katolik, terutama guru-guru penginjil yang disiapkan untuk tugas di mana saja, terutama di daerah Wissel Meren.
Sejak tahun 1954 guru-guru katekis asal Mimika didatangkan, untuk mengabdi di wilayah Pegunungan.
Sebagai sejarawan, dirinya berencana menerbitkan buku berjudul “Karya Para Misionaris Katolik dan Protestan di Tanah Papua Sejak Abad 18 sampai Tahun 2000”.
“Saya sudah mulai siap naskah tulisannya akan mencapai sekitar 700-an halaman. Tinggal cetak saja. Ini demi kepentingan masa depan anak cucu, agar tidak lupa sejarah panjang ini,” kata Petege. (*)