Jayapura, WAGADEI – Ketika berbicara mengenai PT Freeport Indonesia pasti k semua pihak tidak lazim tentang nama tersebut. Sebuah tambang emas terbesar kedua yang ada di dunia, terbesar dan pertama di Negara Republik Indonesia yang dalam laporannya selama tahun 2022 memiliki pendapatan sebesar US$ 22,78 miliar atau setara Rp 341,70 triliun (asumsi kurs Rp 15.000/US$) sepanjang tahun 2022.
Dengan ribuan hingga jutaan buruh yang bekerja, perusahaan ini terletak di atas puncak gunung Nemangkawi, kabupaten Mimika.
Bagaimana perusahaan ini bisa masuk dan beroperasi di Papua? Apa hubungannya dengan sejarah dan status politik orang Papua? Apa dampak dari keberadaan PT Freeport terhadap manusia dan alam
papua. Apakah rakyat Papua hidup sejahtera sampai hari ini?
Penanggungjawab aksi Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota atau AMP KK Jember, Matias Yatipai mengatakan, Amerika Serikat berambisi besar untuk mengeksploitasi pegunungan Chartenz, namun hal itu dibatasi oleh Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno yang memiliki ambisi kekuasaan dalam menganeksasi Papua dan anti imperialisme barat.
“Untuk meloloskan rencana eksploitasinya Amerika pun melakukan kerjasama dengan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai (Mayor Jenderal) untuk menggulingkan kekuasaan soekarno dan menjadikan soeharto sebagai presiden. Sebagai imbalannya kepada Amerika dibuatlah UU penanaman modal asing nomor 1 tahun 1967 dan kemudian kontrak karya PT Freeport ditandatangani oleh Indonesia dan Amerika Serikat dilakukan pada 7 April 1967 tanpa melibatkan satupun orang asli Papua. Freeport kemudian mulai beroperasi mengeksploitasi alam papua pada tahun 1971 dan memperpanjang kontrak karya kedua pada tahun 1991 dan mengubah namanya menjadi PT Freeport Indonesia,” kata Yatipai melalui keterangannya.
Kehadiran PT Freeport di tanah Papua, kata dia, telah melanggar dan menghancurkan hak-hak politik rakyat Papua yang telah merdeka tahun 1961 dan penandatanganan dan kontrak karya Freeport dilakukan dua tahun sebelum penentuan pendapat rakyat (Pepera).
“Artinya, dua tahun sebelum rakyat Papua menentukan nasibnya (mau ikut indonesia atau merdeka sendiri) Freeport telah lebih dulu beroperasi di Papua,” ujarnya.
Selanjutnya, ia mengatakan, dampak kehadiran PT Freeport bagi rakyat dan alam Papua membuka jalan bagi berbagai macam perusahaan asing lainnya untuk masuk dan mengesploitasi alam Papua. Baik, perusahaan yang beroperasi di bidang pertambangan seperti batu bara, biji besi, emas, nikel dan uranium maupun perusahaan kelapa sawit yang merebut tanah-tanah masyarakat, ilegal loging, serta eksploitasi mausia Papua seperti buruh dengan upah murah, masyarakat adat tanpa tanah, nelayan tanpa ikan dan lain-lain.
“Limbah yang dibuang secara sembarang juga mencemari sungai, laut dan tanah-tanah masyarakat tanpa memikirkan nasib kehidupan rakyat Papua yang sangat tergantung terhadap alam,” kata dia.
Di segi lain, menurut dia, hal ini juga mengakibatkan masifnya praktek kolonialisme Indonesia di Papua untuk mempertahankan wilayah Papua melalui berbagai macam regulasi atau kebijakan seperti Otsus jilid I dan II, DOB, UP4B juga program-program seperti lumbung pangan, beras miskin, KB, dan lainnya yang tidak ada dampak postif bagi rakyat Papua.
Kemudian untuk menjaga agar segala program dan kebijakan kolonial indonesia tetap berjalan, lanjut dia, juga agar investasi seluruh perusahaan nasional maupun multi nasional tetap melancarkan eksploitasinya dikirimlah pasukan TNI dan Polri sebagai pengamannya.
“Dampak dari kehadiran militer di tanah papua kemudian mengakibatkan berbagai macam pelanggaran-pelanggaran HAM berat dan menghancurkan semua gerakan perlawanan serta membungkam ruang-ruang demokrasi rakyat Papua,” ujarnya.
Pengiriman pasukan militer dalam jumlah besar juga mengakibatkan pengungsian besar-besaran hampir di seluruh tanah papua, penangkapan aktivis Papua, kriminalisasi dengan pasal karet, bisnis militer, bahkan militer menguasai seluruh bidang kehidupan, TNI – Polri menjadi guru, jadi dokter, jadi tukang bangunan, dll sehingga rakyat Papua yang telah memiliki luka ingatan sejarah tetap hidup dibawah ketakutan hingga hari ini.
Untuk melegalkan segala tindakannya jargon NKRI harga mati digunakan TNI-Polri untuk melancarkan semua aksi kriminalnya dan menginjak-injak hak asasi manusia Papua serta menasionalisasi orang Papua secara paksa.
“Melalui proyek nasionalisme palsu dan pembangunan berdalil untuk kemajuan, namun nyatanya untuk memperlancar investasi, dan mobilisasi militer demi kepentingan kolonialisme dan kapitalisme di atas tanah Papua. Dari semua akumulasi persoalan yang terjadi terhadap rakyat Papua,” ujarnya.
Satu-satunya alternatif yang manusiawi dan demokratis adalah dengan memberikan kebebasan bagi rakyat papua untuk menetukan nasib masa depannya sendiri sebagai bangsa yang merdeka. Terlepas dari cengkraman tangan kapitalisme, kolonialisme indonesia serta militerisme.
“Maka kami nyatakan Otsus dan DOB adalah agenda kolonialisme, kapitalis dan imperialisme di West Papua. Jadi segera tutup PT Freeport dari di atas tanah West Papua dan segera tarik TNI-Polri organik dannon-organik dari tanah West Papua,” katanya.
Pihaknya juga meminta agar hentikan rekayasa konflik di atas seluruh Tanah West Papua.
“Aparat pemerintah dan kepolisian Bali untuk menjalankan kewajibannya dalam memberikan perlindungan dalam demonstrasi mahasiswa papua sebagai perwujudan hak mengemukakan pendapat yang dijamin konstitusi,” kata dia. (*)