Oleh: Elias Douw – Tulisan ini untuk Fellowship Jubi
Di sebuah aula yang teduh di Nabire, malam itu suasana jauh dari damai. Meja-meja yang seharusnya penuh dengan kertas-kertas rekapitulasi suara berhamburan. Kursi melayang, diiringi teriakan yang menyayat udara. Di sana, di tengah kekacauan yang nyaris rutin sejak awal Desember, demokrasi tengah diuji. Ini bukan hanya tentang siapa yang menang atau kalah. Ini adalah cerita tentang rakyat yang menggantungkan harapan mereka pada sistem yang seharusnya netral, tetapi justru menjadi panggung sengketa yang membakar amarah.
“Saya bukan pengacau! Kami saksi, kami punya hak untuk berbicara di ruang ini!” seru Andreas Kayame, saksi dari pasangan calon bupati Paniai nomor urut 2, dengan suara yang gemetar namun penuh perlawanan. Ia, seperti banyak saksi lainnya, merasa suara mereka—baik secara harfiah maupun simbolis—dibungkam oleh mekanisme yang mereka anggap tidak transparan.
Menurut Andreas, pleno yang berlangsung sejak awal Desember adalah panggung yang tidak adil. “Sudah diatur dalam PKPU dan Undang-Undang, bahwa kami saksi harus diizinkan menyampaikan pendapat. Tetapi apa yang terjadi? Kami malah dituduh sebagai pengacau,” katanya dengan nada yang tajam.
Andreas bukan satu-satunya. Di sudut lain aula, Yunus Gobai, saksi dari paslon gubernur nomor urut 2, berdiri dengan kepala tegak. “Kami menduga ini semua permainan. Seolah-olah KPU memihak salah satu calon. Kalau memang demokrasi ini adil, biarkan suara rakyat yang berbicara, bukan manipulasi angka di atas kertas!”
Namun, di balik ucapan keras para saksi itu, ada pihak lain yang merasa mereka justru menjadi korban. Komisioner KPU Paniai, Petrus Nawipa, menggelengkan kepala saat menanggapi tuduhan tersebut. “Oknum-oknum yang masuk tanpa mandat justru menciptakan kericuhan. Mereka datang bukan untuk mencari keadilan, tetapi untuk menggagalkan pleno,” ujarnya dengan nada lelah. Matanya menyiratkan kepenatan dari serangkaian pleno yang penuh kekacauan.
Konflik ini tidak berhenti di ruang pleno. Di jalan Merdeka Nabire, ratusan orang berkumpul. Mereka adalah pendukung pasangan calon gubernur Papua Tengah nomor urut 3 Meki Nawipa dan Deinas Geley, yang lebih dikenal sebagai pasangan MeGe. Mereka datang dengan satu tuntutan: kembalikan suara yang mereka yakini telah hilang.
“Dari 51 ribu suara di lapangan, sekarang hanya tersisa 13 ribu. Apa ini adil?” seru Alexander Gobai, Ketua Relawan MeGe Papua Tengah, di hadapan massa yang memadati halaman kantor Bawaslu Papua Tengah. Ia memegang kertas hasil rekapitulasi yang katanya didapat langsung dari lapangan. “Data ini kami pegang. Kami tidak akan diam sampai suara rakyat dikembalikan!”.
Demonstrasi itu bukan hanya tentang angka. Ia adalah lambang perlawanan terhadap sistem yang mereka rasa telah mencederai harapan mereka. Namun, bagi Yonas Yanampa, Komisioner Bawaslu Papua Tengah, masalah ini tidak semudah mengembalikan angka di kertas. “Kami butuh bukti yang sah. Kalau ada yang merasa suaranya dicuri, bawa buktinya. Kami siap menindaklanjuti,” katanya dengan nada tegas.
Di sisi lain, Nason Uti, calon bupati Paniai nomor urut 3, memberikan pernyataan yang lebih keras. Ia menyebut seluruh tahapan Pilkada Paniai sebagai kegagalan. “Rekapitulasi ini hanya formalitas. Kami tidak diundang, kami tidak dilibatkan. Kalau ini bukan manipulasi, lalu apa?” tanyanya retoris, berbicara melalui sambungan telepon dengan wartawan.
Ia bahkan menuding ada campur tangan pihak tertentu untuk memenangkan paslon yang didukung oleh partai besar. “Ini bukan sekadar salah hitung. Ini adalah by design. Mereka sudah menyiapkan ini dari awal untuk memastikan salah satu calon menang.”
Namun, tak semua pihak terbakar emosi. Di tengah kekacauan ini, Ketua Bawaslu Paniai, Stevanus Gobai, mencoba bersikap netral. “Kami memahami situasi ini sulit, tetapi kita harus tetap mengedepankan mekanisme yang ada. Jika ada keberatan, silakan gunakan form D keberatan yang sudah disediakan,” ujarnya dengan nada menenangkan.
Namun, tidak semua daerah di Papua Tengah berakhir dengan demonstrasi damai. Di Lanny Jaya, Pilkada berubah menjadi konflik yang mengerikan. “Mereka saling serang dengan panah dan parang. Rumah-rumah dibakar, ternak dibunuh. Kami tidak pernah membayangkan pemilu akan berubah menjadi ini,” ujar Mofris Yigibalom, seorang mahasiswa asal Lanny Jaya yang kini menempuh pendidikan di Bali.
Konflik itu, menurut Mofris, tidak hanya merenggut harta benda, tetapi juga mengoyak hubungan keluarga. “Kami mendengar cerita bahwa saudara melawan saudara, semua karena pemilu ini. Kami hanya ingin kedamaian kembali.”
Roni Kogoya, Ketua HIPMA-Lani Korwil Bali, menyerukan agar tokoh adat dan tokoh agama segera turun tangan. “Kita perlu mediasi. Hentikan pertumpahan darah ini sebelum semakin banyak korban,” katanya dengan nada penuh harap.
Konflik Pilkada Papua Tengah ini adalah cerminan dari tantangan demokrasi di daerah. Ketika harapan rakyat bertabrakan dengan sistem yang cacat, kepercayaan pada demokrasi pun memudar. Di Nabire, di Paniai, di Puncak, dan di Lanny Jaya, demokrasi berubah menjadi arena pertarungan yang tidak lagi mengutamakan kehendak rakyat.
Namun, dari semua pihak yang bersuara—baik yang marah, kecewa, maupun pasrah—terselip satu pesan yang sama. Mereka ingin pemilu yang jujur. Mereka ingin suara rakyat dihormati. Seperti yang diungkapkan Alexander Gobai, ketua Relawan MeGe for Papua Tengah.
Di ruang pleno KPU yang riuh, di jalan-jalan yang penuh amarah, hingga di kampung-kampung yang terbakar, sengketa ini menyisakan luka yang dalam. Pemilu, yang seharusnya menjadi selebrasi suara rakyat, kini berubah menjadi ajang pertikaian. Bagi Andreas Kayame, Alexander Gobai, dan ribuan lainnya, ini bukan hanya soal menang atau kalah. Ini adalah soal harga diri, tentang harapan yang mereka gantungkan pada sebuah sistem yang menjanjikan keadilan.
Namun, di tengah semua kegaduhan itu, ada satu suara yang tenang, menyerukan persatuan. “Demokrasi bukan hanya tentang angka di kertas,” ujar Alexander Gobai.
“Ia adalah tentang masa depan. Jangan biarkan kami kehilangan itu.” Kata-kata itu, meski sederhana, mengandung sebuah kebenaran yang abadi. Demokrasi hidup dari kepercayaan rakyat, dan setiap suara yang hilang adalah duka bagi masa depan.
Berikut adalah data ketika proses Pilkada Papua Tengah, disusun berdasarkan kronologi waktu kejadian:
1. 4 Desember 2024 – Pleno Awal di Kabupaten Paniai
• Kejadian: Kericuhan terjadi ketika sejumlah oknum yang mengaku sebagai saksi paslon memasuki ruang pleno tanpa menunjukkan surat mandat resmi. Kericuhan ini menyebabkan rapat pleno dihentikan sementara.
• Tanggapan KPU: Ketua KPU Paniai, Sem Nawipa, mengungkapkan bahwa pleno diwarnai dengan aksi intimidasi dan upaya sabotase dari pihak tertentu yang tidak memiliki legitimasi.
• Dampak: Proses pleno terhambat dan dijadwalkan ulang.
2. 10 Desember 2024 – Penundaan Pleno di Paniai
• Kejadian: Pleno yang dijadwalkan pada hari ini dibatalkan oleh KPU Paniai menyusul surat rekomendasi dari Bawaslu yang meminta penundaan. Selain itu, kehadiran Kapolda Papua Tengah di Paniai juga menjadi alasan penundaan.
• Kritik: Beberapa pihak mempertanyakan dasar hukum penundaan ini, terutama saksi dari paslon yang merasa hal tersebut sebagai taktik untuk mengulur waktu.
3. 11 Desember 2024 – Pleno Dilanjutkan di Paniai
• Kejadian: KPU Paniai berhasil menyelesaikan rekapitulasi untuk delapan distrik. Namun, pleno kembali dihentikan karena kericuhan yang serupa dengan insiden sebelumnya.
• Tanggapan: KPU Paniai memutuskan untuk memindahkan lokasi pleno ke Nabire demi alasan keamanan atas permintaan KPU Provinsi Papua Tengah.
4. 13 Desember 2024 – Pleno di Nabire Gagal
• Lokasi: Hotel Mahavira, Nabire.
• Kejadian: Pleno kembali diwarnai kericuhan akibat ulah massa pendukung yang tidak puas. Kericuhan ini membuat rapat dihentikan untuk keempat kalinya.
• Kritik Paslon: Paslon bupati dan gubernur menganggap KPU gagal memastikan transparansi dan netralitas dalam penyelenggaraan pleno.
5. 14 Desember 2024 – Pleno di LPP RRI Nabire
• Kejadian: KPU Paniai melanjutkan pleno di LPP RRI Nabire dengan pengamanan ketat. Rekapitulasi suara untuk 11 distrik yang tersisa berhasil diselesaikan. Namun, saksi dari paslon tertentu mengklaim tidak diundang atau dilibatkan.
• Tanggapan Paslon: Empat paslon bupati Paniai (nomor urut 2, 3, 4, dan 5) menyatakan hasil pleno tidak sah karena tidak melibatkan mereka. Mereka menuding ada pelanggaran prosedur dan manipulasi hasil pemilu.
6. 13 Desember 2024 – Demonstrasi di Kantor Bawaslu Papua Tengah
• Lokasi: Nabire.
• Kejadian: Ratusan massa pendukung pasangan calon gubernur Meki Nawipa dan Deinas Geley (MeGe) serta beberapa paslon lain memprotes dugaan penghilangan suara mereka selama pleno di Kabupaten Puncak dan Nabire.
• Tuntutan: Massa meminta Bawaslu Papua Tengah membatalkan hasil pleno dan mengembalikan suara mereka yang diklaim hilang. Mereka juga menuding KPU Kabupaten Puncak bermain curang.
• Tanggapan Bawaslu: Bawaslu Papua Tengah berjanji akan menginvestigasi kasus ini dan menyelesaikannya sesuai prosedur.
7. Konflik di Kabupaten Lanny Jaya
• Kejadian: Sengketa hasil pemilu di Kabupaten Lanny Jaya berujung pada bentrokan antar pendukung paslon. Kekerasan ini melibatkan penggunaan senjata tradisional seperti panah, serta pembakaran rumah-rumah warga.
• Dampak: Korban jiwa dan kerugian materiil yang signifikan. Konflik ini juga menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat, termasuk mahasiswa asal Lanny Jaya yang berada di perantauan.
• Tuntutan: Para tokoh masyarakat dan mahasiswa mendesak pemerintah dan aparat keamanan untuk segera memediasi konflik dan menghentikan kekerasan.
Poin Penting yang Dikritisi oleh Para Paslon dan Pendukung
1. Manipulasi Suara: Dugaan pengurangan suara secara sistematis, seperti kasus pasangan calon gubernur MeGe yang suaranya disebut berkurang dari 51.000 menjadi 13.000.
2. Ketidaktransparanan Proses: Banyak saksi mengeluh tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan sanggahan dalam pleno.
3. Pelanggaran Prosedur: Penundaan dan pemindahan pleno tanpa koordinasi yang jelas dianggap melanggar aturan yang ada.
4. Kekerasan dan Intimidasi: Kericuhan dalam pleno, baik di Paniai maupun Nabire, mengancam keselamatan pihak-pihak yang terlibat.
5. Ketidaknetralan Penyelenggara: KPU dan Bawaslu dianggap lebih berpihak pada pihak tertentu.