Jayapura, (WAGADEI) – Pengurus wilayah Papuan Voices Sorong (PV) dan pengurus daerah barisan pemuda adat nusantara (PD BPAN) Moi Maya mengelar pemutaran film dokumeneter nonton dan diskusi guna memberikan edukasi kepada masyarakat adat yang berada di distrik Salawati Tengah, kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya tentang perjuangan masyaradat di Indonesia terlebih khususnya di Papua berjuang mempertahankan hutan dan tanah adat demi keberlangsungan hidup masyarakat adat.
Kegiatan pemutaran flim dengan judul Penjaga Dusun Sagu, Budaya Berkebun Mempertahankan Tanaman Lokal, Dari Hutan Kitong Hidup, 30 Tahun Su Lewat, Mama Kasmir Punya Mau itu dilanjutkan dengan diskusi dilakukan pada tanggal 28-29 Juni 2023 di kantor kampung Waliem, distrik Salawati Tengah.
Kordinator PV Sorong, Samuel Moifilit mengatakan, hutan milik masyarakat adat di Papua Barat Daya saat ini mendapatkan ancam dari para investor baik lokal maupun asing. Lanjutnya, jika masyarakat tidak diberikan pemahaman dengan baik maka suatu waktu nanti masyarakat Salawati Tengah akan terusir dari tanah adatnya sendiri.
“Ini merupakan bagian dari konsolidasi PV dan BPAN. Masyarakat distrik Salawati Tengah belum terkonsolidasi dan mendapatkan pemahaman yang baik soal hutan. Apalagi pendidikan kritis tentang ancaman-ancaman yang akan datang dua puluh sampai tiga puluh tahun kedepan, misalnya seperti perusahan-perusahan raksasa seperti kelapa sawit, tambang dan lain sebagainya,” katanya, Jumat, (30/6/2023).
Salomina Moifilit, salah satu warga kampung Waliem dalam kesempatan yang sama sangat berterimakasih kepada Papuan Voices dan BPAN yang telah memberikan edukasi lewat pemutaran flim dan diskusi. Ia mengakui sejak 2000-2009 PT. Hanurata melakukan ekploitasi sumber daya alam di wilayah mereka, tetapi mereka tidak dapat melawan karena minimnya pengetahuan.
“Di tahun 2000-an ke atas wilayah kami marga Moifilit pernah dimanfaatkan oleh perusahan kayu log PT Hanurata. Perusahan mengambil kayu dari hutan kami dan pergi meninggalkan penyesalan bagi kami marga Moifilit, karena selama perusahan beroperasi sampai keluar sekitar tahun 2009 begitu kami tidak merasakan dampak kesejahteraan. Terimakasih adik-adik dari Papuan Voices dan pemuda adat yang telah melaksanakan kegiatan ini, kedepan kami akan jaga tanah adat kami,” ujarnya.
Yosep Klasia, perwakilan BPAN Moi Maya mengakui, minimnya pengetahaun tentang hak-hak masyarakat adat menjadi kendala utama yang mengakibatkan masyarakat adat itu menjadi korban di atas wilayah adatnya sendiri.
“Masyarakat di sini (Salawati) pengatahuan sangat terbatas, hal ini yang menyebabkan masyarakat sering menjadi korban,” ucapnya.
Keputusan MK nomor 35 tahun 2012 tentang hutan adat bukan hutan Negara, maka pihaknya meminta kepada pemerintah jangan asal-asalan memberikan izin bagi perusahan ataupun pihak-pihak yang akan mengancam kehidupan masyarakat adat di wilayah adat tersebut. (*)