Ini Kronologi Kasus Topo Nabire dan 10 Poin Pernyataan Tegas Suku Mee Atas Konflik Sosial

Kepala suku Mee rayon Simapitow, Vabianus Tebay (baju biru) serahkan pernyataan sikap kepada kepala suku Wate, Alex Raiki saat rapat koordinasi dan mediasi serat musyawarah Bersama dalam rangka penanganan konflik sosial yang digelar di aula Polres Nabire, Senin, (13/6/2023) – Yamoye’AB/wagadei.id


Nabire, (WAGADEI) – Awal mula terjadinya konflik sosial di antara dua kelompok masyakat di Topo, Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire pada Senin, (5/6/2023) yang menewaskan dua orang yakni Abner Wabes selaku kelapa kampung dan salah satu warga sipil bernama Markus Magai itu berawal ketika kepala suku Besar Wate, Almarhum Didimus Waray memberikan surat pelepasan lokasi tanah seluas 1000 x 3000 atau 300 hektar yang terletak di distrik Uwapa Kabupaten Nabire kepada Isak Telenggen dengan Nomor Surat 287/BMA-SW/BAP/IX/14 tertanggal 17 September 2014 silam.

Bacaan Lainnya

Hal itu diungkapkan tokoh pemuda Topo, Stevanus Iyai saat menyampaikan pernyataan sikap yang ditandatangani oleh enam kepala sub suku dan Vabianus Tebay selaku kepala suku rayon Simapitowa di Nabire pada Selasa, (13/6/2023) di Mapolres Nabire yang dihadiri Pj Gubernur Papua Tengah yang diwakili Assisten I Ausilius You, Bupati Nabire Mesak Magai, Bupati Paniai Meki Nawipa, Bupati Deiyai Ateng Edowai, Pj Bupati Dogiyai Petrus Agapa, Bupati Puncak Willem Wandik, perwakilan dari Pemda Mimika dan Pemda Puncak Jaya, Kapolres Nabire, Kepala Kejaksaan Negeri Nabire, Kepala Pengadilan Negeri Nabire, Dandim Nabire, kepala suku Mee, kepala suku Lani serta masyarakat dan simpatisan.

“Lokasi tersebut diberikan tanpa sepengetahuan masyarakat Mee di distrik Uwapa dan terjadi sengketa sehingga telah dibicarakan beberapa kali. Namun, tidak pernah terselesaikan. Akhirnya, masalah tersebut dibawa ke Polres Nabire dan diputuskan agar melakukan pengukuran titik koordinat secara langsung di lokasi,” kata Paskalis Iyai.

Lanjuta Iyai, tanggal 3 Juni 2023, pukul 09.00 WP, Badan Musyawarah Adat (BMA) suku Wate yang terdiri dari kepala suku Wate Alex Raiki, wakil kepala Suku Wate Yoris Waray, penasehat suku Wate Danieal Mandiwa tiba di Topo untuk melakukan pengukuran titik koordinat tanah seluas 1000 x 3000 atau 300 hektar sesuai kesepakatan di Polres Nabire. Saat itu, Isak Telenggen dan warga Lani telah berada di lokasi dan berita acara dibacakan oleh Yoris Waray. Luas lokasi yang dibacakan dalam berita acara dan plan yang dipasang oleh Yoris Waray berbeda dengan kesepakatan di Polres, yakni dari 300 hektar telah bertambah menjadi 6.200 hektar. Lokasi seluas 6.200 hektar itu ternyata sudah termasuk perumahan dan perkebunan masyarakat di Uwapa.

“Hal ini mengundang kemarahan warga Topo. Tanggal 4 Juni 2023, masyarakat distrik Uwapa yang merasa dirugikan sepakat dan mencabut plan yang dipasang oleh Yoris Waray. Pencabutan ini tidak diterima oleh Isak Telenggen dan masyarakat Lani memalang jalan trans Nabire – Paniai. Pada pemalangan ini, Isak Telenggen dan masyarakat Lani menyita lima buah motor milik warga yang melintas di jalan trans itu,” katanya menjelaskan.

Mendengar informasi tersebut, pukul 16.00 WP, masyarakat Uwapa menuju ke lokasi pemalangan dan terjadi perlawanan dari kelompok Isak Teleggen dan sejumlah warga Uwapa mengalami benturan serta luka-luka. Karena sudah mulai gelap, warga Uwapa kembali ke rumah dan mengingatkan agar tidak boleh memalang jalan umum.

“Tanggal 5 Juni 2023, Markus Magai dan istrinya dari Nabire ke Topo. Ketika mereka tiba di tanjakan Topodimi, kira-kira jam 08.30 WP, masyarakat Lani menghadang Markus Magai dan istrinya. Markus Magai diseret ke hutan dan disiksa, kemudian dipanah hingga meninggal dunia di tempat. Sementara, istrinya ikut diseret ke hutan sejak pulul 09.00 WP dan diperkosa bergilir hingga dipulangkan pukul 16.00 WP,” ungkapnya.

Pada hari yang sama, kata dia, di siang hari, informasi tentang kejadian ini diketahui oleh warga Uwapa dan pergi ke lokasi dan terjadi saling serang. Kondisi saling serang ini diketahui oleh kepala Kampung Topo, Abner Wabes. Selanjutnya, Abner Wabes menuju ke tempat kejadian dengan maksud mengamankan kedua belah pihat. Namun, Abner Wabes justru diserang membabi buta oleh kelompok masyarakat Lani hingga sang kepala kampung tersebut meninggal dunia di tempat kejadian.

“Jadi kepala kampung Topo (Abner Wabes) ini dibunuh oleh masyarakatnya,” ucapnya.

Berkenaan dengan konflik lahan di Distrik Uwapa Kabupaten Nabire yang telah menelan korban nyawa dan masih berlangsung hingga saat ini, maka pada hari ini, Selasa, (13/6/2023) Kepala Suku Mee, Rayon Simapitowa Vabianus Tebay bersama para kepala suku rayon menyatakan sikap untuk diketahui dan ditindaklanjuti sebagai berikut:

  1. Kami masyarakat Kabupaten Nabire, khusus kelompok masyarakat yang bertikai menyampaikan terima kasih kepada Bupati Nabire, Bapak Mesak Magai bersama forkopimda dan para Bupati se Papua Tengah yang telah merespon dan mengadakan pertemuan ini;
  2. Kami menegaskan bahwa konflik yang terjadi di Topo Distrik Uwapa Kabupaten Nabire adalah konflik kepemilikan tanah antar warga masyarakat, bukan perang suku sebagaimana diberitakan oleh berbagai media masa. Warga yang turun dari Dogiyai, Deiyai dan Paniai adalah reaksi spontan karena korban yang meninggal dunia di tempat kejadian adalah om atau paman dari mereka;
  3. Hak ulayat wilayah Kabupaten Nabire dimiliki oleh 8 suku asli, yaitu 6 suku Pesisir dan 2 suku pegunungan Kabupaten Nabire. Hubungan dua suku pegunungan dengan suku-suku pesisir, terutama Suku Yerisiam yang adalah pemilik sah hak ulayat kota Nabire sejak dulu sangat baik hingga saat ini. Semua masalah tabal batas telah selesai dibicarakan dan disepakati dua tahap, tahap pertama tahun 1970 dan tahap kedua pada tahun 1984. Kesepakatan kedua pada tahun 1984 difasilitasi oleh Bupati Paniai Sartheis Wanma pada saat itu dan dihadiri oleh para tokoh Simapitowa antara lain Otto Otougaidawi Wakei, Paulus Wakei, Yerry Petege, Abba Madai, Yunus Madai, Yulianus Degei, Niko Wakei, Yosia Wakei, Marthen Madai, Polisi Mapiha Mote, Yusuf Makai, Niko Petege, Stevina Wakei dan tokoh-tokoh lainnya. Titik Tapal batas antara suku-suku pesisir dan suku Mee di Kabupaten Nabire yang telah disepakati dan final adalah mulai dari arah Barat Wami, yaitu Muara Were, kemudian di Yaro adalah Muara Homora, kemudian di Wanggar Kolam Taputar, selanjutnya di Karadiri adalah Maura Kali Pepaya, naik ke kali Pepaya; kemudian di Uwapa (di titik Jalan Trans) adalah Gunung Ekobaikebo, kemudian lanjut ke gunung Warai, kemudian lanjut ke arah Timur Muara Kali Hugiwa dan Tabo, lanjut ke Haiwa tembus ke Hulare, hingga batas dengan Auses di Keuw hingga ke Maniwo;
  4. Berkenaan dengan pernyataan nomor 3 di atas maka, Pelepasan Lokasi seluas 6.200 hektar oleh Bapak Almarhum Didimus Waray dan ditindaklanjuti oleh Kepala Suku Wate dalam hal ini Yorrys Waray di wilayah hak ulayat Suku Mee, Simapitowa kepada suku Lani adalah ilegal dan adu domba suku Mee dan Lani. Karena itu, hari ini juga, dengan tegas kami minta kepada Kepala Suku Wate untuk dicabut. Penyataan pencabutan disampaikan secara lisan pada saat ini dan disusul dengan pernyataan tertulis yang disampaikan kepada Kepala Suku Simapitowa, Pemerintah Daerah Nabire, DPRD Nabire, Kapolres Nabire, Kepala Suku Lani dan Kepala Suku lain yang ada di Kabupaten Nabire agar dketahui bersama;
  5. Kami minta segera agar semua suku Lani yang menempati secara ilegal di wilayah hak ulayat suku Mee Simapitowa yakni di KM 100, KM 86, KM 74, KM 62, Cemara Uwapa, SP 1 Topo, Manabusa Topo, Kepala Air Kali Topo, Kepala Air Kali Pepaya, Ehouta Karadiri, dan semua wilayah Simapitowa segera dikosongkan. Kami minta segera, Bupati Nabire bersama jajarannya, DPRD, dan Kapolres Nabire segera fasilitasi pengosongan masyarakat suku Lani dari wilayah adat suku Mee Simapitowa yang ada di lokasi-lokasi yang disebutkan di atas dalam waktu satu minggu sejak pernyataan ini disampaikan. Selanjutnya, semua masyarakat dari suku Lani dari wilayah adat Mee Simapitowa tersebut dikembalikan kepada kepala suku Lani;
  6. Kami mendesak kepada Bupati Nabire dan DPRD Nabire agar segera menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Tentang Tabal Batas Kepemilikan Tanah Adat dan Jaminan Keamanan Terhadap status kepemilikan Tanah agar ada kepastian hukum. Perda harus memuat jaminan keamanan atas tanah yang telah dimiliki atau menjadi tanah garapan oleh suku-suku lain yang telah hidup dan membangun Kabupaten Nabire dan tapal batas internal antara suku-suku dan marga di pesisir Nabire maupun marga dan dua suku di pegunungan serta tapal batas antara 6 suku pesisir dengan 2 suku pegunungan. Kemudian, kami mendesak agar Tapal batas 6 suku pesisir dengan dua suku pegunungan dibangun pilar dan atau jalan sebagai pembatas di titik batas yang kami sebutkan pada nomor 3 di atas agar tidak terjadi kembali masalah di kemudian hari;
  7. Kami meminta kepada Bupati Nabire dan Penjabat Gubernur Provinsi Papua Tengah agar segera memfasilitasi pesta perdamaian antara semua pihak yang bertikai dan memfasilitasi pemulangan keluarga korban yang datang dari Dogiyai, Deiyai dan Paniai untuk kembali ke kampung halamannya;
  8. Kami menegaskan bahwa mulai hari ini, tidak boleh lagi ada pemalangan, mengurasan, perampokan, dan penganiayaan serta pemerkosaan di sepanjang jalan Trans Irian oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun. Karena jalan trans adalah jalan umum, jalan utama arus barang dan manusia dari Nabire ke pegunungan Meepago dan sebaliknya. Dan, kami juga melarang siapa pun melakukan aktivitas apa pun di wilayah suku Mee tanpa izin dari pemilik hak ulayat;
  9. Kami juga minta kepada Penjabat Gubernur Provinsi Papua Tengah agar mengembalikan Kabupaten Puncak Jaya dan Puncak ke Provinsi Papua Pegunungan sesuai dengan kultur wilayah adat mereka.
  10. Kami tidak menginginkan terjadi korban nyawa lagi di kemudian hari, oleh karena itu dengan tegas meminta kepada semua pihat untuk tidak menyebarkan berita bohong atau berita yang memprovokasi di media massa maupun medis sosial. Dan, sekali lagi kepada Bupati Nabire DPRD Nabire, Kapolres Nabire segera menindalanjuti pernyataan kami dengan melibatkan semua unsur dan wartawan agar semua pihak dapat mengikuti perkembangan penyelesaian sengketa ini sehingga masyarakat tidak takut beraktivitas dan proses pembangunan Kabupaten Nabire dan Provinsi Papua Tengah berjalan dengan lancar demi kesejahteraan semua pihak.

Demikian pernyataan ini, kami sampaikan dengan sungguh-sungguh dan segera dapat ditindaklanjuti. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8 Komentar

  1. Pretty section of content. I just stumbled upon your website and in accession capital to assert that I get actually enjoyed account your blog posts. Anyway I’ll be subscribing to your augment and even I achievement you access consistently fast.

  2. Today, while I was at work, my sister stole my iphone and tested to see if it can survive a thirty foot drop, just so she can be a youtube sensation. My iPad is now broken and she has 83 views. I know this is totally off topic but I had to share it with someone!