Nabire, (WAGADEI) – Kepala suku Wate di Kabupaten Nabire, Alex Raiki menyatakan dengan resmi mencabut kembali surat pelepasan tanah adat bernomor 287/BMA-SW/BAP/IX/14 seluas 1000 x 3000 hektare tertanggal 17 September 2014 yang berlokasi di kampung Topo, Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire, Papua Tengah kepada Isak Telenggen.
“Hari ini Selasa, tanggal 13 Juni tahun 2023 saya batalkan dan mencabut surat pelepasan tanah itu,” ujar Alex Raiki saat menggelar rapat koordinasi dan mediasi serat musyawarah Bersama dalam rangka penanganan konflik sosial yang digelar di aula Polres Nabire, Senin, (13/6/2023).
Ketika itu pula ia toki meja sebanyak tiga kali sebagai tanda tanah tersebut kembali ke hak kepemilikan sebelumnya itu dilakukan di hadapan di hadapan Pj Gubernur Papua Tengah yang diwakili Assisten I Ausilius You, Bupati Nabire Mesak Magai, Bupati Paniai Meki Nawipa, Bupati Deiyai Ateng Edowai, Pj Bupati Dogiyai Petrus Agapa, Bupati Puncak Willem Wandik, perwakilan dari Pemda Mimika dan Pemda Puncak Jaya, Kapolres Nabire, Kepala Kejaksaan Negeri Nabire, Kepala Pengadilan Negeri Nabire, Dandim Nabire, kepala suku Mee, kepala suku Lani serta masyarakat dan simpatisan.
Walaupun demikian, sesaat ia toki meja, sontak saja warga dari suku Mee meluapkan kemarahannya dengan melepar botol air mineral sehingga situasi sempat ricuh namun aparat keamanan yang sedang berada di tempat mampu mengendalikan warga.
“Saya sudah cabut itu sudah sah,” ucapnya singkat.
Bupati Nabire Mesak Magai menegaskan, orang adat tahu adat dan tidak bisa mengorbankan orang lain sehingga pelepasan tanah secara sepihak dinilai sebagai pemicu konflik sosial mengakibatkan hilangnya nyawa.
“Hati-hati ya, tidak boleh korbankan orang lain. Orang yang urus adat harus tahu adat,” ujar Magai nada kesal.
Kepala suku Mee rayon Simapitowa Nabire, Vabianus Tebay mengatakan, awal terjadinya konflik social tersebut pada tanggal 3 Juni 2023 pada ukul 09.00 WP, Badan Musyawarah Adat (BMA) suku Wate yang terdiri dari Kepala Suku Wate Alex Raiki, wakil kepala suku Wate Yorrys Waray, penasehat Suku Wate Danieal Mandiwa tiba di Uwapa untuk melakukan pengukuran titik koordinat seluas 1000 x 3000 atau 300 hektar sesuai kesepakatan di Polres Nabire.
“Isak Telenggen dan warga Lani telah berada di lokasi dan berita acara dibacakan oleh Yoris Waray. Luas lokasi yang dibacakan dalam berita acara dan plan yang dipasang oleh Yoris Waray berbeda dengan kesepakatan di Polres, yakni dari 300 hektar telah bertambah menjadi 6.200 hektar. Lokasi seluas 6.200 hektar itu ternyata sudah termasuk perumahan dan perkebunan masyarakat di Uwapa. Hal ini mengundang kemarahan warga Topo,” kata Tebay.
Tanggal 4 Juni 2023, lanjut dia, masyarakat di distrik Uwapa yang merasa dirugikan sepakat dan mencabut plan yang dipasang oleh Yoris Waray. Pencabutan ini tidak diterima oleh Isak Telenggen dan masyarakat Lani memalang jalan Trans Nabire-Ilaga. Pada pemalangan ini, Isak Telenggen dan masyarakat Lanny menyita lima buah motor milik warga yang melintas di jalan Trans.
“Dan pada Senin, Markus Magai dan istrinya yang naik dari Nabire kota itu ditangkat, disiksa dan dibunuh sementara istrinya diperkosa lalu dipulangkan jam 4 sore. Nah ini awal masalahnya, siapa salah lihat baik-baik di situ,” katanya. (*)