Jayapura, (WAGADEI) – Besok Jumat, (5/5/2023) Pengadilan Negeri (PN) Klas IA Jayapura, Papua akan menggelar sidang putusan terhadap terdakwa Victor Fredrik Yeimo. Itu setelah Kamis, (4/5/2023) pihaknya melakukan sidang agenda pembelaan.
Yeimo menegaskan semua mata sedang tertuju di pengadilan yang berlokasi di Abepura sebagai tempat untuk mendapatkan keadilan bagi rakyat Papua pasca Indonesia melalui ormas di Surabaya menyebutkan orang Papua sebagai monyet pada tahun 2019 lalu.
“Besok adalah proses perkara terakhir. Untuk besok, saya mau melhat di ujung palu hakim itu ada rasis atau tidak. Besok itu saja. Karena komitmen saya bahwa berjuang melawan rasisme konstitusi itu hak yang harus dihormati berusaha mendiamkan perbuatan jahat itu merupakan pelanggaran, diam itu sama saja setuju dengan kejahatan. Sehingga semua orang harus berjuang untuk menghapuskan rasisme,” kata Yeimo.
Sebagai terdakwa, dirinya menghadapi tuduhan makar dan penghasutan atas tindakan melawan rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019. Dalam perkara ini, ia menjalani proses hukum yang begitu lama sejak ditangkap pada 9 Mei 2021. Ia mengaku diisolasi, sakit dan menjalani perawatan di rumah sakit di bawah tekanan aparat.
“Saya dijaga 1 kali 24 jam di bawah todongan senjata. Dalam represi psikologi, saya jalani semuanya dengan keteguhan iman dan keyakinan saya pada perjuangan melawan ketidakadilan dan diskriminasi rasial terhadap bangsa saya, bangsa Papua,” ujarnya tegas.
Menurut dia, rasisme di Indonesia bukan lagi urusan personal tetapi sudah sistemik dipelihara agar menjadi kendaraan politik ekonomi penguasa segala stigma negatif yang dilekatkan pada orang Papua itulah yang menyebabkan aparat negara dan ormas menyerang asrama mahasiswa di Surabaya.
“Materi orasi yang saya sampaikan sangat erat kaitannya dengan rasisme. Karena bagi saya rasisme di Indonesia bukan lagi urusan personal tetapi sudah sistemik dipelihara agar menjadi kendaraan politik ekonomi penguasa,” kata dia.
Tidak dapat disangka bahwa pandangan rasis menyebabkan perlakuan yang berbeda terhadap Papua dalam segala bentuk dan segi kehidupan orang Papua. Segala stigma negatif yang dilekatkan pada orang Papua itulah yang menyebabkan aparat negara dan ormas menyerang asrama mahasiswa di Surabaya. Diskriminasi rasial yanh berulang-ulang dihadapi oleh orang Papua dianggap wajar dan dibiarkan oleh negara.
“Tetapi ketika Papua protes melawan ketidakadilan dan diskriminasi rasial, negara hadir menghantam kami orang Papua dengan pasal makar dan provokasi. Perkara sidang ini membuktikan hal itu, bahwa rasisme itu benar-benar ada dalam segala tuduhan dan dakwaan ini,” ucapnya.
Oleh larena itu, lebih lanjurnya, dirinya berharap agar Hakim bisa bebasakan dari segala tuduhan dan bemberikna keadilan bagi dirinya.
“Saya berharap agar hakim dapat membebaskan saya dari segala tuduhan yang diarahkan pada saya, dan memberi keadilan untuk saya, tetapi juga bagi orang Papua, Indonesia dan dunia, bahwa di ujung palu hakim tidak ada rasisme melainkan kejujuran, kebenaran dan keadilan,” ujarnya.
Ia mengatakan, dirinya harus mengakui dengan jujur dan berterima kasih untuk Majelis Hakim yang benar-benar mempertaruhkan segalanya untuk menghormati hak kesehatan saya hingga terselesainya proses perawatan dan pengobatan. Begitu pula pihak Penasehat Hukum, Jaksa yang bekerja sama sehingga hak dan kewajiban dalam proses peradilan terpenuhi sekalipun terpampang tembok–tembok ketidakadilan yang menghancurkan kemanusiaan di depan hukum.
Ia mengutip perkataan Angela Davis: “Rasisme adalah bentuk penindasan yang menghambat kemerdekaan dan kesetaraan.”
“Tidak ada tempat untuk rasis dalam peradilan hukum. Ketika keputusan hukum didasarkan pada ras, itu merusak integritas dan legitimasi sistem peradilan itu sendiri,” pungkasnya. (*)