Bahaya, Illegal Logging Ancam Satwa Dilindungi di Bumi Cenderawasih

Jakarta, (WAGADEI) – Maraknya kasus penebangan hutan secara liar (illegal logging) yang terjadi di Sorong, Papua Barat Daya pada akhir-akhir ini sangat memprihatinkan.

Hal ini akan berdampak pada kerusakan hutan yang sekaligus merupakan habitat para satwa liar dilindungi. Seperti diketahui bahwa sebagian besar hutan di Papua adalah habitat satwa dilindungi.

Di antaranya toowa cemerlang (Ptiloris magnificus), cenderawasih kuning kecil (Paradiseae minor), cenderawasih mati kawat (Seleucidis melanoleucus), cenderawasih raja (Cicinnurus regius), cenderawasih merah (Paradisaea rubra), dan satwa lainnya.

Pada kasus illegal logging, bisa diyakini tidak lepas dari kepentingan kebutuhan industri yang bisa menyebabkan peralihan fungsi hutan.

Persoalan ini telah menyita perhatian masyarakat luas, tak terkecuali Senior Forest Campaigner Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra.

Dilansir dari Teropong News, Syahrul khawatir apabila illegal logging terus terjadi, maka akan mengancam biodiversitas di Provinsi Papua Barat Daya.

“Kalau pembalakan liar dilakukan secara terus menerus itu tentu Papua akan kehilangan hutan secara signifikan,” kata Syahrul, Rabu, (1/3/2023).

Informasi terkait pembalakan ilegal ini mencuat di media, salah satunya dengan ditemukannya tempat penampungan kayu (TPK) tanpa plang.

Di tempat itu, diduga terjadi proses pengolahan kayu merbau untuk dijadikan balok. TPK tersebut tidak mengantongi surat izin industri, akan tetapi bisa mengirim kayu hingga ke Surabaya, Jawa Timur.

Lanjut dikatakan Syahrul, ketika deforestasi di Papua Barat Daya semakin tinggi, dikhawatirkan keanekaragaman hayati bisa semakin berkurang bahkan hilang.

Sebab di lokasi pembalakan liar, termasuk di tempat yang ada izin-izin perkebunan sekalipun tidak pernah dilakukan identifikasi ekosistem apa saja yang hidup di sana.

“Apa saja biodiversitas yang ada di situ, jenis tumbuhan atau satwa liar yang ada di sana dan sebagainya. Kalau penebangan dilakukan, itu akan mengancam keberadaan tumbuhan dan satwa liar yang ada di sana,” ujar Syahrul.

Menurutnya, apabila illegal logging tidak dihentikan segera, maka bisa berimbas negatif juga pada kehidupan masyarakat adat di Papua Barat Daya, khususnya wilayah Sorong.

“Kita tahu di Papua sangat erat dengan keberadaan hutan itu sendiri,” tukasnya.

Illegal Logging Sampai Intimidasi Jurnalis

Kasus illegal logging di Sorong, Papua Barat Daya melahirkan intimidasi yang terjadi di kantor berita Teropong News.

Hal ini tentu menyita perhatian insan pers, termasuk Organisasi Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ).

Dalam siaran persnya pada 15 Maret 2023, SIEJ secara tegas mengecam tindakan intimidasi tersebut. Dari rilis SIEJ, sekelompok orang tak dikenal menyeruduk karyawan Teropong News yang sedang berada di lobi resepsionis.

Massa diketahui datang dengan menumpangi dua truk ke lokasi yang terletak di Jalan S. Kamundan Kilometer 12 Kota Sorong, Papua Barat Daya pada Senin (13/3/2023).

Mereka mengancam akan membakar kantor redaksi hingga ancaman pembunuhan terhadap para karyawan apabila pemberitaan-pemberitaan terkait dugaan illegal logging tidak segera dihapus.

Intimidasi ini terekam dalam video berdurasi 2 menit 50 detik yang diperoleh dan telah dikonfirmasi oleh Simpul SIEJ Papua Barat Daya.

Dari rekaman tersebut, terlihat dua orang silih bergantian membentak karyawan di meja resepsionis disertai lontaran kata-kata ancaman.

Aksi penyerudukan massa ini dipicu oleh lima judul pemberitaan Teropong News dalam kurun 2 sampai 11 Maret 2023.

Teropong News menyoroti maraknya illegal logging di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya terutama kayu berkualitas tinggi jenis merbau asal Papua.Salah satu pemberitaan yang terbit mengutip keterangan dari Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra.

Koordinator SIEJ Simpul Papua Barat Daya Dedi Djunedi mengatakan setelah ancaman dan intimidasi massa atas pemberitaan tersebut, tim hukum Teropong News resmi membuat laporan ke Polres Sorong Kota pada 15 Maret 2023.

Dalam laporan bernomor LP/B/227/III/2023//SPKT/Polresta Sorong Kota/Polda Papua Barat Daya, selain memuat pasal pengancaman, tim hukum Teropong News juga memasukkan dugaan pidana dalam pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Langkah ini sudah tepat. Kami mendukung kasus ini harus dibawa ke ranah hukum meminta kepolisian mengusut para pelaku. Supaya kerja-kerja pers terlindungi terutama di Papua Barat Daya,” kata Djunedi.

Ia menambahkan, SIEJ Simpul Papua Barat Daya terus memantau kasus ini dan berkonsolidasi bersama Jaringan Advokasi Pembela Pers Papua. Apalagi maraknya illegal logging di Provinsi Barat Daya merupakan praktik yang sangat sensitif dan berbahaya diliput oleh jurnalis lokal.

Mengagumi, Jangan Sampai Menyakiti

“Karena itu kasus ini harus menjadi perhatian tidak hanya kepolisian. Namun, juga KLHK. Pemberitaan media adalah bentuk kontrol dari praktik eksploitasi sumber daya alam Papua Barat Daya, dan wilayah Papua secara umum,” katanya.

Senada dengan itu, Ketua Umum SIEJ Joni Aswira mengecam tindakan massa yang mendatangi kantor redaksi Teropong News serta melontarkan berbagai ancaman.

Joni menjelaskan, protes atas isi pemberitaan semestinya ditempuh dengan mekanisme yang telah diatur dalam Undang-Undang Pers, yakni melalui hak jawab atau hak koreksi. Bahkan, para pihak juga dapat melayangkan somasi dan membawa sengketa pemberitaan ke Dewan Pers.

Menurutnya, jika terdapat ketidakpuasan selalu direspon dengan kekerasan dan intimidasi, maka akan mengancam kerja-kerja jurnalistik dapat memenuhi informasi publik.

“Aparat penegak hukum harus memastikan jaminan perlindungan bagi kerja-kerja jurnalistik terutama di wilayah Papua yang kita tahu sangat berbahaya bagi pers menyoroti praktik kejahatan terhadap lingkungan dan sumber daya alam,” kata Joni.

Lanjut terangnya, selama ini kasus illegal logging di wilayah Papua mendapat sorotan terus menerus dari media. Maraknya peredaran kayu ilegal terutama jenis merbau papua mengindikasikan aturan SVLK tidak berjalan maksimal.

“Ini juga akan menjadi tantangan dan hambatan bagi implementasi Peraturan Menteri LHK No. 8/2021 tentang perubahan konsep SVLK yang tidak hanya berfokus kepada legalitas. Namun, juga berbicara mengenai kelestarian sehingga kepanjangan SVLK yang semula Sistem Verifikasi Legalitas Kayu menjadi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian,” ujar Joni.

Hukum Praktik Illegal

Logging LemahDalam praktik illegal logging, SVLK dinilai belum cukup kuat menghentikan praktik tersebut. Selain dari itu, penegakan hukumnya masih terbilang lemah. Penerapan SVLK ini seyogianya bisa memastikan kayu ilegal tidak beredar lagi sebab SVLK sudah bersifat mandatori.

Berdasarkan data Greenpeace Indonesia, dalam dua dekade tanah Papua kehilangan 641,4 ribu hutan alam. Deforestasi meningkat sejak 2012 dengan puncak terluasnya terjadi pada 2015.

Kehilangan hutan alam dalam konsesi HPH di Papua dan Papua Barat selama 2001 hingga 2020 seluas 135,177 hektare. Sedangkan, kehilangan hutan alam dalam area pelepasan kawasan hutan di kurun waktu yang sama sebesar 161,175 hektare.

Data Greenpeace Indonesia juga menunjukkan 21,95 persen atau 7,5 juta hektare hutan alam Papua terancam mengalami deforestasi.

Melihat hal itu, Joni berpandangan isu hutan Papua mesti mendapat perhatian media. Liputan yang kritis akan mendorong pengawasan dan kebijakan yang lebih berpihak pada kelestarian hutan.

“Media pun harus memberitakannya secara profesional sesuai kode etik. Memperkuat basis verifikasi fakta, dan terpenting lagi melakukan konfirmasi terutama kepada pihak yang tertuding di dalam laporan. Ketaatan pada kode etik adalah benteng utama dari gugatan hukum,” ucapnya.

Ancaman Berubah Jadi Kenyataan

Saat ini, kita masih melihat situasi di atas sebagai ancaman bagi seluruh biodiversitas yang ada di hutan Papua. Namun, jika tak ada penanganan yang intensif dan komprehensif dari pemerintah, baik lokal maupun pusat, maka ancaman ini bisa saja berubah menjadi kenyataan.Ini adalah hal yang sangat dikhawatirkan mengingat bahwa bumi tak pernah berhenti berputar, sementara hutan alam dan makhluk hidup yang menjaga keseimbangannya selalu berada dalam lingkar ancaman kepunahan.

Meski kegiatan ilegal yang diduga membabat pohon-pohon merbau terjadi di bagian timur Indonesia, tapi keresahan akan berkurangnya hutan Indonesia turut membuat saya merasa khawatir.

Karena kita Indonesia, berada pada bumi yang sama, sehingga dampak daripada kerusakan tak hanya dirasakan di sebagian wilayah saja -walaupun dampak terbesar akan dialami oleh manusia, satwa, dan tumbuhan terdekat- tapi lebih jauh hal itu akan berpengaruh pada keseimbangan ekosistem.

Jika eksositem tak seimbang, apakah masih bisa kita katakan dampak dari perbuatan merusak tak akan meluas ke mana-mana?

Untuk itu, marilah kita sama-sama menjaga hutan alam kita, baik Indonesia bagian timur, barat, maupun tengah. Apabila hutan sudah tak ada, bayangkan bagaimana kehancuran perlahan akan melanda kita! Semoga, tidak terjadi. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *