Tiap pukul 5 pagi, saban hari, perempuan paruh baya itu harus berdiri di pangkalan ojek, di pinggiran jalan raya Abepura-Muaratami-Keerom, Abepantai. Tujuannya hanya menunggu ojek ke Pasar Youtefa. Namanya Vitalia Tabuni.
Mama Vitalia Tabuni harus ke Pasar Youtefa pagi-pagi buta, untuk menjual hasil-hasil kebunnya. Dia rela membayar ongkos ojek Rp 20 ribu tiap hari (pergi-pulang), agar tiba lebih cepat di pasar, daripada berjalan kaki sekitar lima kilo dari rumahnya di kawasan Abepantai, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua.
Sebenarnya Mama Vitalia bisa berjalan kaki pada jarak yang tidak seberapa. Akan tetapi, Mama Tabuni harus berpacu dengan waktu, untuk memburu rupiah di Pasar Youtefa.
“Kalau mama ini berjalan kaki, maka bisa tiba di pasar pada pukul 7 pagi. Itu artinya banyak pembeli pada pagi hari di pasar yang sudah pulang,” ujar Mama Vitalia Tabuni.
Selain membayar ojek, Mama Vitalia bersama 400 mama Papua lainnya, harus menyewa tenda jualan di pasar. Biaya per tenda sebesar Rp 20 ribu. Mereka juga harus membayar semacam retribusi sebesar Rp5.000 tiap pagi.
Tenda yang mereka sewa adalah milik Pak Budi, pedagang asal Bugis, Sulawesi Selatan, yang sudah lama berdagang di pasar Youtefa.
“Jadi, mama simpulkan per hari mama habiskan Rp 40 ribu. Bila diukur dengan pendapatan, maka itu tipis sekali untungnya,” ujarnya.
Mama Vitalia dan pedagang Papua lainnya juga harus menyetor dana sebesar Rp 30 ribu atau Rp 100 ribu kepada petugas pasar tiap bulan, untuk uang kebersihan pasar. Dia kadang hanya mendapatkan untung dari hasil jualan sebesar Rp 10 ribu tiap hari. Kecuali hari Minggu, karena dia harus beribadah. Namun Tabuni tetap bersyukur.
“Puji Tuhan mama bisa dapat uang,” katanya.
Mama Tabuni bersama mama-mama Papua lainnya saban hari berjualan di Pasar Youtefa. Mereka harus bersaing dengan para pedagang lainnya dari suku Jawa, Makassar, Buton, Bugis, Ambon dan Toraja di pasar seluas kira-kira dua kali lapangan bola kaki ini.
Awalnya Mama Vitalia Tabuni datang dari Jayawijaya pada 2007 lalu. Perempuan murah senyum ini merantau ke Jayapura, untuk mengikuti sang suami, yang bekerja sebagai cleaning service di salah satu rumah sakit di Kota Jayapura.
Tak tinggal diam, dia pun mulai berkebun untuk menopang ekonomi keluarga. Setahun kemudian, 2008, Tabuni mulai berjualan. Perempuan asal Wamena, Jayawijaya ini lantas menjual hasil kebunnya, seperti ubi, keladi, bete, sayur-sayuran, kol, daun pepaya, dan daun bawang. Itu semata demi membiayai kebutuhan keluarga dan pendidikan anak-anaknya.
Anak-anak Mama Tabuni kini sudah sarjana dan bekerja. Anak pertama lulusan Universitas Cendrawasih (Uncen) tahun 2019. Kini anak itu bekerja sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara) di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan. Anak kedua menyelesaikan pendidikan di Universitas Muhammadiyah Papua. Saat ini dia bekerja sebagai honorer di Kabupaten Jayawijaya.
Meski anak-anaknya sudah berhasil, Mama Tabuni tetap menjalankan rutinitasnya, dengan berjualan di Pasar Youtefa. Dia sangat mencintai pekerjaannya.
“Pasar ini yang antar anak saya jadi sarjana,” katanya sambil tersenyum. []
*Tulisan ini didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia