Nabire, WAGADEI – Program transmigrasi yang awalnya diharapkan membawa kemajuan bagi masyarakat Papua, kini tampak tidak lagi relevan dan berguna bagi pengembangan pengetahuan serta teknologi di bidang pertanian dan peternakan.
Masyarakat asli Papua sebenarnya sudah memiliki keterampilan dalam pertanian sejak lama. Hal ini disampaikan Ally Keiya, salah satu tokoh pemuda Papua Tengah. Menurut dia, sebagai bukti, Lembah Wamena 25 tahun lalu sudah mampu memproduksi hasil pertanian kelas ekspor seperti kol, buncis, kentang, wortel, kacang, hingga bunga.
“Di sekitar Jayapura, Sentani dan Keerom, hasil pertanian masyarakat Papua juga telah maju. Namun, transmigrasi yang saat ini dijalankan tampaknya lebih bersifat politik, berfokus pada penyebaran etnis dan agama dari luar Papua. Bukti ketidakberhasilan program ini dapat dilihat di daerah seperti Koya Barat, Koya Timur dan Keerom,” ujar Ally Keiya kepada wagadei.id, Sabtu, (26/10/2024).
Keiya bilang, transmigrasi lokal tidak pernah sukses, justru transmigrasi dari luar Papua yang sukses dengan menjual lahan yang kemudian dijadikan ruko, pasar, dan rumah mewah oleh orang-orang dari kota.
“Masyarakat asli Papua malah semakin terpinggirkan,” ucapnya.
Orang asli Papua (OAP) yang mendukung pemekaran provinsi menjadi enam provinsi mulai melihat hasil dari masuknya program transmigrasi di Papua.
“Namun, jika kita coba evaluasi seluruh lokasi transmigrasi, apa manfaat yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat asli Papua? Hampir tidak ada. Justru masyarakat asli semakin tersingkir,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, eksploitasi tambang di Papua juga semakin merugikan masyarakat asli Papua. Tambang-tambang besar seperti Freeport dan Blok Wabu dikuasai oleh pihak luar, dan hasil kekayaan alam tersebut dinikmati bukan oleh masyarakat asli.
“Jika ditanyakan apa keuntungan orang asli Papua di atas tanahnya sendiri, jawabannya sangat sedikit, atau bahkan tidak ada,” kata dia.
Jika transmigrasi tetap dipaksakan masuk Papua, maka ia yakin, harus ada jaminan yang jelas mengenai hak dasar masyarakat asli Papua.
“Tanpa adanya kejelasan ini, transmigrasi hanya akan menjadi alat politik yang semakin meminggirkan orang Papua di tanah mereka sendiri,” katanya. (*)