Jayapura, WAGADEI – Insiden serangan bom di Teheran, Iran yang menewaskan Ismail Haniyeh, salah seorang pemimpin terkemuka Hamas telah memicu beragam reaksi.
Terbaru adalah kecaman yang dilontarkan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo Indonesia yang menyatakan bahwa; “(serangan tersebut) itu sebuah (bentuk) kekerasan pembunuhan yang tidak bisa ditoleransi.”
United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) merespon pernyataan Jokowi tersebut sebab hal itu hanya sebagai bentuk pencitraan kepada publik internasional yang berbanding terbalik dengan sikap pemerintah Indonesia dalam menangani konflik di West Papua karena masih menerapkan pendekatan represif militeristik.
“ULMWP mencatat pemerintah Indonesia melalui aparat Kepolisian dan Militer telah membunuh beberapa tokoh Papua secara tragis, seperti Arnold Clemens Ap dan Eduard Mofu (seniman dan budayawan Grup Musik Mambesak), Dortheis Hiyo Eluay (Ketua Presidium Dewan Papua), Kelly Kwalik (salah seorang pemimpin Organisasi Papua Merdeka), Mako Tabuni (Ketua Komite Nasional Papua Barat) dan Lukas Enembe (Gubernur Papua), di mana para pelaku tidak pernah diadili melalui mekanisme pengadilan yang berpihak kepada korban,” katabPresiden Eksekutif ULMWP, Menase Tabuni kepada wagadei.id, Sabtu, (3/8/2024).
Pemerintah Indonesia dihadapan masyarakat internasional, kata Tabuni, Jokowi selalu menunjukkan sikap keberpihakan terhadap situasi hak asasi manusia (HAM) yang menekan kelompok minoritas di berbagai belahan dunia seperti Palestina, Mindanao, Uighur, Rohingya, Pattani, dan sebagainya.
Namun, ULMWP menilai justru berbanding terbalik ketika menghadapi kelompok minoritas di West Papua, Indonesia justru menempatkan 47.261 personil militer, di mana sekitar 24 ribu personil telah dimobilisasi ke titik konflik yang masih bergolak.
“Selama periode konflik antara 2017–2023, Dewan Gereja Papua melaporkan bahwa 63.490 warga telah mengungsi untuk mencari lokasi aman di kabupaten lain maupun ke Papua New Guinea,” kata Menase Tabuni.
Ia menegaskan, selama hampir sepuluh tahun kepemimpinan Jokowi tidak memberikan perubahan signifikan dalam menangani berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di West Papua.
“Berdasarkan laporan dari berbagai lembaga independen, situasi HAM di West Papua cenderung mengarah pada proses Genosida, Ekosida dan Etnosida,” katanya.
Indonesia telah memiliki Undang-undang HAM Nomor 39 Tahun 1999 dan didukung oleh Undang-undang Pengadian HAM Nomor 26 Tahun 2000, namun hingga saat ini pemerintah Indonesia menolak untuk meratifikasi Statute of International Criminal Court atau yang lebih dikenal dengan sebutan Statuta Roma.
Tabuni mengatakan, kondisi tersebut menyebabkan setiap pelaku pelanggaran HAM di Indonesia memiliki impunitas atau kekebalan hukum sehingga sulit diadili dengan menggunakan yurisdiksi hukum di Indonesia. (*)