Jayapura, WAGADEI – Ahli hukum pidana Dr Ahmad Sofian SH MA menyatakan peledakan benda diduga bom di dekat rumah jurnalis Jubi, Victor Mambor pada 23 Januari 2023 adalah tindak pidana.
Hal itu disampaikan Ahmad Sofian selaku saksi ahli pihak pemohon Pra Peradilan atas penghentian penyidikan dugaan teror bom terhadap Victor Mambor yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jayapura, Kota Jayapura, Papua pada Rabu (3/7/2024).
Perkara Pra Peradilan atas penghentian penyidikan dugaan teror bom terhadap Victor Mambor itu terdaftar dengan nomor perkara 5/Pid.Pra/2024/PN Jap. Sidang itu terkait sah tidaknya penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) nomor SPPP/8/III/2024/Reskrim tertanggal 1 Maret 2024 oleh Kepolisian Sektor Jayapura Utara. Sidang Pra Peradilan itu itu dipimpin hakim tunggal Pengadilan Negeri Jayapura, Zaka Talpatty.
Pada Rabu, Lembaga Bantuan Hukum Pers dan Perhimpunan Bantuan Hukum Pers Tanah Papua selaku kuasa hukum pemohon Victor Mambor menghadirkan Dr Ahmad Sofian SH MA selaku saksi ahli hukum pidana dalam perkara Pra Peradilan tersebut. Dosen Fakultas Hukum Universitas Bina Nusantara Jakarta itu memberikan kesaksiannya secara daring.
Dalam persidangan itu, Ahmad menjelaskan bahwa polisi telah melakukan penyidikan atas peledakan bahan diduga bom di dekat rumah Victor Mambor itu. Dalam penyidikan itu, polisi telah melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP), memeriksa saksi, dan minta keterangan saksi ahli. Polisi juga telah meminta pengujian laboratorium forensik atas sejumlah barang bukti yang ditemukan di TKP.
Ahmad menyatakan berbagai hasil sementara penyelidikan itu telah memenuhi unsur adanya barang bukti. Hasil sementara penyidikan juga menunjukkan bahwa peledakan bahan diduga bom di dekat rumah Victor Mambor itu adalah tindak pidana.
“Kalau sudah naik ke penyidikan, sudah ada Surat Perintah Penyidikan, [maka peristiwa peledakan] itu adalah peristiwa pidana. Ada olah TKP, sudah ada lima saksi dimintai keterangan. [Sudah ada] keterangan ahli, ada bukti uji forensik. [Hasil sementara itu] sudah disebut sudah memenuhi kualifikasi sebagai alat bukti. Apa lagi saksi tersebut memenuhi kualifikasi mendengar, mengalami, melihat. Kalau memeriksa lima orang hingga 100 [orang] saksi itu tetap dihitung satu alat bukti, perkara itu harus memiliki keterangan ahli. Misalnya, [ada] satu keterangan saksi, dan [ada] satu keterangan ahli, maka [itu sudah ada dua] jenis alat bukti. [Pengertian dua] alat bukti itu bukan kepada jumlah, tapi setiap jenis alat bukti,” kata Ahmad dalam persidangan
Ahmad mengatakan tindak pidana adalah suatu peristiwa atau keadaan yang ditimbulkan adanya perbuatan melanggar hukum pidana. Ahmad mengatakan di Indonesia ada hukum pidana umum yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan ada hukum pidana khusus yang diatur di berbagai undang-undang.
Ia mencontohkan tindak pidana terorisme yang diatur Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU (UU Terorisme). Contoh tindak pidana khusus lainnya adalah tindak pidana perdagangan orang yang diatur UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Tidak harus ada korban
Dalam kesaksiannya, Ahmad juga menjelaskan ada tindak pidana yang sempurna dan ada tindak pidana tidak sempurna. Hal itu disampaikan Ahmad saat menjelaskan mengapa ia berpendapat peledakan benda diduga bom di dekat rumah Victor Mambor adalah tindak pidana, meskipun tidak ada korban dalam peristiwa itu.
“Niat jahat itu belum terwujud karena terjadi suatu keadaan bukan dari pelaku tetapi dari faktor eksternal. Meskipun [bahan diduga bom yang] meledak tapi tidak ada korban, itu [tetap dikualifikasi sebagai] tindak pidana. Meledak itu disebut keadaan. Jadi suatu keadaan, peristiwa yang berpotensi menimbulkan akibat, itu juga disebut tindak pidana. Ledakan itu tidak selamanya menimbulkan akibat, tetapi ledakan itu suatu tindak pidana,” ujarnya.
Ahmad mengatakan penyidik hanya berwenang menghentikan penyidikan apabila penyidikan tidak menemukan barang bukti yang sah, atau sebuah peristiwa/tindakan yang dilaporkan kepada penyidik/polisi bukanlah tindak pidana. Hanya dua alasan itu yang dapat menjadi dasar untuk menyatakan penyidikan dihentikan demi hukum.
Ahmad mengatakan masalah alat bukti telah diatur dalam Pasal 184 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Kalau [sudah ada] alat bukti lebih dari dua jenis, maka tidak ada dasar [bagi] penyidik [untuk] menghentikan penyidikan. Penyidikan dihentikan apabila tidak terdapat dua alat bukti yang sah. Mengenai kekurangan bisa ditambah dalam sidang pokok perkara di pengadilan,” katanya.
Ahmad mengatakan penyidik tidak berwenang menilai kualitas dari alat bukti. Ahmad mengatakan kewenangan untuk menilai kualitas alat bukti itu ada pada majelis hakim yang memeriksa pokok perkara.
“Makanya ada Pra Peradilan, supaya alasan penghentian penyidikan itu bisa dipertanggungjawabkan di depan hukum, karena dikhawatirkan penghentian penyidikan itu subjektif. Pelapor bilang penyidik punya alat bukti, penyidik bilang tidak punya cukup bukti, maka alat bukti tadi diverifikasi. Penyidik tidak bisa menilai kualitas alat bukti itu. Kualitas alat bukti itu diperiksa dalam sidang pokok perkara oleh majelis hakim. Yang penting penyidik menemukan dua alat bukti yang melihat, mendengar peristiwa pidananya,” ujarnya.
Alasan kurang bukti
Pada sidang yang sama, Kepolisian Daerah (Polda) Papua selaku pihak termohon dalam perkara Pra Peradilan itu menghadirkan saksi fakta, Amil Saleh. Amil merupakan penyidik di Kepolisian Sektor Jayapura Utara yang terlibat dalam penyidikan kasus dugaan teror bom terhadap Victor Mambor.
Dalam kesaksiannya, Amil mengatakan kepolisian sudah empat kali melakukan gelar perkara dugaan teror bom itu. Amil menyatakan polisi juga mengirimkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidik atau SP2HP. “SP2H dikirim dua kali kepada pelapor,” kata Amil dalam persidangan.
Menurut Amil, pihaknya telah meminta keterangan dari lima saksi, minta keterangan ahli, dan melakukan uji forensik terhadap bahan peledak. Amil mengatakan semua saksi yang diperiksa menjelaskan bahwa mereka hanya mendengar ledakan, melihat percikan api, melihat asap, dan menyatakan ledakan itu terjadi di jalan raya umum.
“[Sementara] dalam BAP ahli menjelaskan sebagian bahan bukanlah [bahan] peledak. Saya kurang tahu ada unsur bahan peledak,” ujarnya.
Amil mengatakan kepolisian menghentikan penyidikan karena tidak memiliki cukup bukti. Ia mengatakan SP3 diterbitkan hanya satu kali pada 1 Maret 2024 yang merupakan hari pemeriksaan pemohon Victor Mambor.
“SP3 hanya satu kali. [Dasarnya karena kami menilai] tidak cukup bukti, saksi tidak melihat langsung, hanya saksi yang mendengar. [Selain itu] alat bukti [berupa] rekaman CCTV [juga] minim,” katanya.
Sidang Pra Peradilan atas penghentian penyidikan dugaan teror bom terhadap Victor Mambor yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jayapura, Kota Jayapura, Papua akan dilanjutkan pada hari ini, Kamis (4/7/2024) dengan agenda mendengar kesimpulan dari pihak pemohon dan termohon. (*)