Wakeitei, WAGADEI – Suku Awyu dan suku Moi terus melakukan pelawanan untuk memperjuangkan hutan adat mereka yang lagi di keruk oleh investor. Demi untuk menyelamat hutan adat Papua.
Masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya sama-sama tengah terlibat gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka. Suku Awyu dan Moi keduanya merupakan suku dari Papua.
Kedua suku ini mendatangi gedung Mahkamah Agung di kawasan Jakarta Pusat. Mengenakan busana khas suku masing-masing, mereka menggelar doa dan ritual adat di depan kantor lembaga peradilan tertinggi itu, diiringi solidaritas mahasiswa Papua dan sejumlah organisasi masyarakat sipil.
Linga Murib selaku jubir IMMAPA Bali mengatakan, lewat aksi damai tesebut, masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi berharap Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka. masyarakt adat papua ini menempuh jarak yang jauh, rumit dan mahal dari tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak suku awyu dan moi yang dirampas tersebut, dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah lagi dilawan.
“Hendrikus Woro dan kawan kawannya menggugat pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro–bagian dari suku Awyu,” ujarnya.
Namun, lanjutnya, gugatan Hendrikus kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Kini, kasasi di Mahkamah Agung adalah harapannya yang tersisa untuk mempertahankan hutan adat yang telah menjadi warisan leluhurnya dan menghidupi marga Woro turun-temurun. Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel. PT KCP dan PT MJR, yang sebelumnya kalah di PTUN Jakarta, mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.
“Kami sudah cukup lama tersiksa dengan adanya rencana sawit di wilayah adat kami. Kami ingin membesarkan anak-anak kami melalui hasil alam. Sawit akan merusak hutan kami, kami menolaknya,” ujarnya.Adapun sub suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit. PT SAS sebelumnya memegang konsesi seluas 40 ribu hektare di Kabupaten Sorong. Pada 2022, pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS, disusul dengan pencabutan izin usaha. Tak terima dengan keputusan itu, PT SAS menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta.
Perwakilan masyarakat adat Moi Sigin pun melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, masyarakat adat Moi Sigin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Mei 2024.
“Saya mendesak Mahkamah Agung memberikan keadilan hukum bagi kami masyarakat adat. Hutan adat adalah tempat kami berburu dan meramu sagu; hutan adalah apotek bagi kami kebutuhan kami semua ada di hutan. Keberadaan PT SAS sangat merugikan kami masyarakat adat. Kalau hutan adat kami hilang, mau ke mana lagi kami pergi? kata Fiktor Klafiu, perwakilan masyarakat adat Moi Sigin yang menjadi tergugat intervensi,” ujarnya Murib.
Keberadaan perusahaan sawit PT IAL dan PT SAS akan merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat Awyu dan Moi. Hutan tersebut juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, serta penyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar. Operasi PT IAL dan PT SAS dikhawatirkan memicu deforestasi yang akan melepas 25 juta ton CO2e ke atmosfer, memperparah dampak krisis iklim di Tanah Air.
“Kami meminta Mahkamah Agung cermat memeriksa perkara gugatan suku Awyu dan Moi, melihat kepentingan pelindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, serta mengeluarkan putusan kemenangan untuk suku Awyu dan Moi. Majelis hakim perlu mengedepankan aspek keadilan lingkungan dan iklim, yang dampaknya bukan hanya akan dirasakan suku Awyu dan suku Moi tapi juga masyarakat Indonesia lainnya,” ujarnya.
Suku Awyu dan Moi, Lingga mengatakan, telah melewati proses yang rumit demi mempertahankan hutan adat mereka. Meski putusan pengadilan yang mereka terima sebelumnya tak sesuai harapan, mereka tak berhenti menempuh langkah hukum.
“Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua pun mengajak publik untuk terus menyuarakan dukungan terhadap perjuangan suku Awyu dan Moi,” katanya.
Sebab perjuangan suku Awyu dan Moi adalah upaya terhormat demi hutan adat, demi hidup anak-cucu hari ini dan masa depan, dan secara tidak langsung kita semua.
“Maka dari itu kami menuntut dan meminta kepada Negara RI dan Mahkama Agung RI bahwa cermat memeriksa perkara gugatan suku Awyu dan Moi, melihat kepentingan pelindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, serta mengeluarkan putusan kemenangan untuk suku Awyu dan Moi,” katanya. (*)