Jayapura, WAGADEI- Pembebasan aktivis hak asasi manusia (HAM) terkemuka Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur atas tuduhan pencemaran nama baik merupakan perkembangan positif dan kemenangan untuk keadilan atas represi, kata CIVICUS, sebuah aliansi masyarakat sipil global saat ini. Mereka seharusnya tidak pernah diadili sejak awal.
“Pembebasan Fatia dan Haris, setelah dua tahun mengalami pelecehan hukum, merupakan kemenangan bagi kebebasan berekspresi dan bagi para aktivis di Indonesia yang telah menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan. Tuduhan yang diajukan terhadap kedua aktivis tersebut jelas merupakan bentuk pembalasan atas kerja keras mereka dalam bidang hak asasi manusia,” kata Josef Benedict, peneliti Asia Pasifik untuk CIVICUS.
CIVICUS kepajangannya adalah World Alliance for Citizen Participation adalah aliansi global organisasi masyarakat sipil (CSO) dan aktivis yang berdedikasi untuk memperkuat aksi dan kerja warga dan masyarakat sipil di seluruh dunia. Didirikan pada tahun 1993, CIVICUS memiliki lebih dari 15.000 anggota di lebih dari 175 negara di seluruh dunia.
Tuduhan pencemaran nama baik tersebut merupakan respons terhadap talkshow YouTube yang membahas laporan investigasi masyarakat sipil yang menuduh adanya kaitan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI serta beberapa otoritas lainnya dengan aktivitas penambangan emas di kawasan Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Pada Agustus 2021, Menteri Luhut Binsar Pandjaitan mengajukan laporan polisi terhadap Fatia dan Haris.
Fatia adalah mantan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) dan Haris adalah Direktur Eksekutif Yayasan Lokataru. Kedua organisasi tersebut adalah organisasi hak asasi manusia.
Pada bulan Maret 2022, setelah beberapa kali menjalani pemeriksaan, Polda Metro Jaya secara resmi menetapkan Fatia dan Haris sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 27(3) juncto Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Pasal 310(1) dan 311 KUHP.
Sejak itu, mereka harus menghadapi setidaknya 31 sidang. Pada November 2023, jaksa penuntut umum meminta pengadilan menghukum Fatia tiga tahun enam bulan penjara, dan Haris empat tahun penjara beserta denda.
Pada tanggal 8 Januari 2024, Pengadilan Negeri Jakarta Timur memutuskan bahwa tindakan mereka tidak termasuk pencemaran nama baik dan membebaskan mereka dari segala tuntutan.
Pelecehan hukum yang mereka hadapi selama dua tahun terakhir tidak sejalan dengan Konstitusi Indonesia dan komitmen hak asasi manusia internasional, khususnya berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). UU ITE secara sistematis digunakan untuk melecehkan dan mengintimidasi pembela hak asasi manusia, jurnalis dan kritikus serta membatasi kebebasan berpendapat mereka.
Penuntutan terhadap mereka menunjuk pada upaya lain untuk membungkam kritik terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Selama bertahun-tahun, aktivis hak asasi manusia dan pro-kemerdekaan Papua serta pengunjuk rasa sering dikriminalisasi karena tuduhan makar. Beberapa diantaranya telah disiksa, diperlakukan dengan buruk, atau dibunuh secara impunitas.
“Pemerintah Indonesia harus berhenti menggunakan undang-undang yang membatasi seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menargetkan aktivis, jurnalis, dan kritikus. Pemerintah harus meninjau dan mencabut semua ketentuan yang tidak sejalan dengan hukum dan standar hak asasi manusia internasional. Pemerintah juga harus mengakhiri serangan terhadap pembela hak asasi manusia dan mengizinkan pembela hak asasi manusia dan organisasi masyarakat sipil untuk menjalankan tugasnya secara bebas dan aman,” kata Benedict. (*)