Perempuan Bantu Perempuan; Akhiri Period Poverty di Tanah Papua

Bukan Sekadar Menyajikan Cerita Tabu Menstruasi, Namun Menuntut Upaya untuk Bergerak Bersama

Jayapura, WAGADEI – Dilakukan secara oral saja, bercerita tentang menstruasi masih dianggap tabu. Lalu bagaimana menyajikan pengalaman, upaya, dan tantangan dalam mencapai hak menstruasi sehat melalui foto dan teks singkat?

“Waktu itu saya kelas 6 SD. Orang tua ada pergi ke dusun. Saya di rumah dengan semua saudara laki-laki. Pas ‘dapat’ (menstruasi) pertama, saya (merasa) malu dan panik. Saya tidak cerita ke siapa-siapa, akhirnya usaha sendiri karena saya pikir saya ada luka,” kata Lami Faan melalui pertemuan daring di Zoom.

Menurut Lami merupakan satu dari 16 pengalaman perempuan penuh ketakutan saat mendapatkan menstruasi pertama. Mereka membagikannya dalam sesi pembukaan dalam rangkaian Foto Bercerita bertema Perempuan Bantu Perempuan Akhiri Period Poverty di Tanah Papua.

Di kelas pertama ini, 21 partisipan saling membangun ruang aman untuk berdiskusi tentang pengalaman menstruasi yang paling diingat, hak menstruasi sehat, dan tantangan dalam menjalani menstruasi.

Histeria yang Lami munculkan dapat dipahami. Respon yang ia ditampilkan mengadopsi wajah nyata masyarakat, mulai dari saling diam, memendam pertanyaan, malu, maupun panik. Meskipun menstruasi merupakan proses yang alamiah, bagian dari siklus hidup seseorang, dan harus dijalani sepanjang hidup perempuan – setidaknya 400 kali.

Amory Yaslin, perempuan dari Sorong yang saat ini berdomisili di Abepura, menerangkan kesenyapan pembicaraan menstruasi antar perempuan lewat karya fotonya.

“Dalam kos kita tidak pernah membahas soal pembalut. (Untuk sampah pembalut sekali pakai yang dibuang sembarangan) kita tidak bisa menegur mereka,” jawabnya merefleksikan keengganannya bertanya dan mengajak diskusi cara membuang soal pembalut sekali pakai dengan tetangga-tetangga kosnya, sesama perempuan.

Kesulitan membicarakan menstruasi bahkan dapat terjadi dalam lingkaran terdekat, yaitu keluarga. Sovince Bano, hingga di tahun keempatnya sejak mendapatkan menstruasi pertama, masih bermain petak umpet dengan anggota keluarganya.

Terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya, ia malu jika keempat saudara laki-lakinya mengetahui dirinya sedang menstruasi sehingga ia akan menunggu semua anggota keluarganya pergi dari rumah terlebih dahulu, hanya untuk menjemur dan membakar bekas pembalut sekali pakainya.

Semakin tabu membicarakan menstruasi justru menguatkan ketidaktahuan terhadap menstruasi sendiri. Akibatnya anak perempuan yang mengalami menstruasi pertamanya kerap merasa ketakutan, perempuan mengabaikan kebutuhan untuk mendukung kesehatan menstruasi, hingga mengalami infeksi pada organ reproduksinya lantaran pemakaian pembalut sekali pakai. Pelbagai persoalan-persoalan ini merupakan period poverty, yakni situasi individu, keluarga, maupun komunitas yang mengalami kesulitan atau tidak memiliki akses untuk mencapai Hak Menstruasi Sehat.

Program Foto Bercerita adalah kerja kolaborasi antara Elsham Papua, Yayasan Biyung, dan Parapara Buku. Penyelenggaraannya turut didukung oleh Nyimas Laula – fotografer perempuan yang berperan sebagai fasilitator kelas, Perkumpulan KEWITA, Departemen Perempuan GIDI, Asia Justice and Rights (AJAR), Hapin-Papua Support Foundation, Yayasan PUSAKA Bentala Rakyat, dan Belantara Papua. Selama 3 bulan, mulai dari tanggal 7 Oktober – 2 Desember 2023, tiga tahap yang berlangsung adalah kelas persiapan dengan materi Hak Menstruasi Sehat dan Teknik Foto Bercerita, proses produksi foto dan pendampingan, serta penyelenggaraan pameran selama 8 hari.

Dalam proses memproduksi foto, partisipan dapat menggunakan kamera dari handphone. Tiap minggu, mereka kembali berkumpul secara daring untuk curah pendapat maupun berkonsultasi membentuk cerita dan menentukan angle pengambilan gambar. Mulanya, mereka menuliskan ide yang akan diangkat, membuat kerangka liputan, dan memetakan kebutuhan teknis di lapangan. Tim panitia membantu finalisasi ide foto bercerita, berlanjut dengan proses produksi cerita dan foto, hingga kurasi foto dan penyuntingan narasi.

Berbagai tantangan muncul selama proses. Mulai dari kesulitan mencari representasi perempuan dari situasi spesifik yang penting untuk diangkat. Lalu, kelas online nyatanya tidak memberi ruang cukup untuk mengeksplorasi pemahaman, ide, gagasan dari partisipan, sementara waktu kian singkat. Beberapa partisipan mengalami kendala teknis, seperti sulitnya sinyal internet dan ketiadaan gadget yang mendukung keikutsertaan dalam kelas online maupun produksi karya.

Di tahap menyunting cerita, tim panitia turut mempertimbangkan konteks utuh secara budaya agar tabu menstruasi tidak hanya dipahami sebagai tindakan menyingkirkan perempuan yang tengah menjalani menstruasi. Misalnya karya foto yang disajikan oleh Irene Thesia.

Ia mengambil mitos menstruasi pada Suku Yaben, suku sang mama. Kisahnya, terdapat kepercayaan yang dianut oleh Suku Yaben agar perempuan yang sedang menjalani menstruasi tidak diperbolehkan berdekatan dengan bapak maupun saudara laki-laki.

“Dianggap pamali. Nanti kalau pas mencari atau berburu ke hutan, (jika perempuan yang bermenstruasi berkontak dengan bapak atau saudara laki-laki) bisa kosong (tidak mendapatkan hasil,” ungkapnya.

Irene lantas mencari tahu muasal penciptaan mitos ini. Ia bertemu dengan orang-orang tua di Kampung Kayabo, Distrik Saifi, Kabupaten Sorong Selatan. Hasil penelusurannya menemukan bahwa Suku Yaben mempercayai darah menstruasi yang keluar dari tubuh perempuan adalah darah kotor dan identik dengan peperangan. Mereka merupakan salah satu suku yang suka berperang pada masa lalu, sehingga keluarnya darah dari tubuh adalah pertanda buruk. Dulu, perempuan yang bermenstruasi mengasingkan diri ke tempat khusus di hutan dan mengenakan kain rumput sebagai penutup.

Penciptaan mitos ini, menurutnya, membuat anak perempuan dan perempuan di Suku Yaben kehilangan peluang untuk mendapatkan kasih sayang dari bapak dan saudara laki-lakinya, yang menjadi dukungan secara emosional – terutama saat menjalani menstruasi.

Kesulitan akses untuk mencapai Hak Menstruasi Sehat bukan hanya menyoal ketiadaan biaya guna membeli produk tadah darah menstruasi atau minimnya ketersediaan produk tadah darah menstruasi. Hak menstruasi sehat tercapai apabila seseorang dapat mengakses asupan makanan bergizi; perawatan diri, misalnya olahraga maupun istirahat cukup; produk tadah darah menstruasi yang sehat; fasilitas sanitasi; dan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif.

Guna mencapai hak menstruasi sehat juga dibutuhkan lingkungan sosial yang sehat, mulai dari peran keluarga untuk memberikan ruang aman bagi anak perempuan maupun perempuan, kebijakan pemberlakuan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif, pembangunan yang mengakomodir kebutuhan mendasar perempuan, keberagaman gender lainnya, dan perempuan dengan disabilitas.

Defny Hamadi, salah satu partisipan tuli menuturkan pengalamannya mendapatkan informasi soal menstruasi justru dari bapaknya dan seorang guru laki-laki di SMK Analisis Kesehatan, tempat ia mengenyam pendidikan. Jamaknya, Defny menempati bangku paling pojok dalam ruang kelas, namun bapak guru memanggilnya untuk duduk di barisan kedua agar ia lebih jelas membaca gerak bibirnya saat menerangkan materi kesehatan reproduksi, mencakup menstruasi.

Situasi period poverty di Tanah Papua secara spesifik diwarnai budaya patriarki yang berkembang dalam masyarakat, kebijakan pembangunan nan eksploitatif, dan konflik bersenjata. Budaya patriarki yang memprioritaskan laki-laki, menempatkan perempuan di posisi lebih rendah lantas membentuk pola kerja-kerja rumah tangga yang didominasi perempuan.

Pada karya foto bercerita yang diangkat oleh Nita Horen dari Pegunungan Arfak, ia mengisahkan kehidupan sehari-harinya, mulai dari memberi makan ternak babi, mencari kayu bakar, mengelola kebun, hingga mengasuh anak. Nyaris cerita dirinya tengah beristirahat tidak muncul, bahkan saat menjalani menstruasi.

Berhadapan dengan pemerintahan, anak perempuan dan perempuan makin rentan mempertahankan kesehatan reproduksinya. Pasalnya, kehadiran usaha ekstraktif mengubah peran perempuan yang subsisten menjadi buruh upah harian atau bulanan, sehingga waktu mendapatkan sumber pangan dan obat-obatan pendukung menstruasi sehat dari alam berkurang. Perempuan lantas mengandalkan hidupnya dari upah yang diterima untuk membeli komoditas dari kota.

Di situasi sarat konflik, baku tembak antara aparat militer dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) mendepak anak perempuan dan perempuan dari kampung halaman, hidup tanpa keamanan maupun kepastian di wilayah pengungsian, kesulitan tempat tinggal, makanan, air bersih dan berbagai kebutuhan mendasar lainnya. Situasi ini semakin menyulitkan perempuan dan anak perempuan yang menjalani menstruasi.

Penyelenggaraan Kelas Foto Bercerita “Perempuan Bantu Perempuan Akhiri Period Poverty di Tanah Papua” dapat menjadi bagian untuk mendobrak tabu pembicaraan menstruasi, yang dapat diawali oleh pemilik menstruasinya sendiri.

Period poverty merupakan pengalaman bersama, bukan hanya dirasakan oleh mereka yang menjalani menstruasi sehingga butuh gerakan lebih besar untuk mengakhirinya.

Partisipan dari Kelas Foto Bercerita “Perempuan Bantu Perempuan Akhiri Period Poverty di Tanah Papua” merekam kisah-kisah personal mereka melalui foto dan narasi pendek, tapi jika didengarkan dengan seksama kita dapat menangkap nuansa rumit yang harus ditempuh oleh individu bermenstruasi demi mencapai kesehatannya.

Rode Wanimbo, selaku ketua Departemen Perempuan dari GIDI yang ikut menghadiri penutupan pameran memberikan kesaksiannya,
“Media foto bercerita ini sangat efektif sekali untuk kampanye isu-isu yang kita sulit untuk bicara secara publik.” (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *