Jayapura, WAGADEI – United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) menyerukan bahwa saat ini bangsa West Papua sedang menghadapi tantangan besar, semua musuh tidak tidur. Para musuh entah internal maupun eksternal sedang bekerja keras untuk menduduki, mengusai tanah air West Papua serta membinasakan kekayaan alam dan manusia Papua.
Hal itu dikatakan Menase Tabuni, Presiden Executive ULMWP melalui pidatonya pada momentum memperingati 1 Desember 1961, hari di mana generasi pertama pejuang Papua Merdeka, anggota Komite Nasional Papua memperkenalkan simbol-simbol kenegaraan yakni nama bangsa, Papua Barat, lagu kebangsaan Hai tanahku Papua, bendera kebangsaan Bintang Fajar, Mata Uang Golden, semboyan: One People One Soul dan lambang Burung Mambruk.
“Bahwa bertolak pada data dan fakta yang dialami mengindikasi kuat bahwa selama 62 tahun pendudukan Indonesia di West Papua, berbagai kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia telah berdampak terjadi proses ‘Genosida, Ekosida dan Etnosida,’ secara perlahan di Papua Barat. Orang Papua saat ini sedang khawatir dengan masa depan kami selama pendudukan Indonesia atas West Papua. Kami tidak memiliki masa depan dengan Indonesia. Bersama Indonesia sudah pasti kami akan binasa dan musnah dari tanah leluhur kami Papua,” kata Tabuni, Jumat, (1/12/2023).
Pernyataan itu, kata dia dibuktikan dengan data yang terjadi selama bulan Juli hingga November 2023, telah terjadi kekerasan yang dilakukan aparat bersenjata Indonesia terhadap warga sipil Papua Barat di Kabupaten Dogiyai, Fakfak, Yahukimo, Nduga dan Pegunungan Bintang, hingga menyebabkan 13 orang tewas, 7 orang mengalami luka-luka, 16 orang ditangkap, 1 orang disiksa.
Menase Tabuni sebagai Presiden Executive dan Octovianus Mote, Wakil Presiden Executive serta Markus Haluk, Sekertaris Executive ULMWP dengan seluruh anggota Executive yang berasal dari NFRPB dan WPNCL memanjatkan syukur dan terimakasih kepada Tuhan Allah Bapa di surga yang memberikan kesempatan hari yang baik ini untuk kita mengenang dan merayakan perayaan 62 tahun embrio West Papua kepada semua pihak yang sedang menaikkan Bintang Fajar, mengenang ratusan ribu manusia Papua terus berguguran hingga detik ini di Tanah Papua.
Ketika itu, 62 tahun lalu sesuai dengan proses dekolonisasi Belanda menyiapkan Bangsa Papua menuju negara Merdeka dengan mengijinkan pembentukkan partai politik, pemilihaan umum dan terpilihnya anggota Niew Guinea Raad selain mempersiapkan sumber daya manusia dalam program Papuanisasi melalui berbagai program Pendidikan di Papua maupun dengan mengirim mahasiswa Papua ke luar negeri.
Menase Tabuni mengatakan, Papua memang ditarget menjadi bangsa pertama yang akan Merdeka diantara seluruh wilayah pasifik Selatan yang dikuasai Bangsa Inggris, Jerman, Perancis, Selandia Baru yang juga ikut hadir dalam upacara tersebut. Itulah sebabnya pada tanggal 1 Desember 1961, saat Bintang Fajar dikibarkan pertama secara resmi dihadiri utusan dari berbagai daerah pasifik Selatan termasuk dari Samoa yang Merdeka dari Selandia Baru setahun kemudian 1 Januari 1962.
Menyadari posisi Belanda yang setengah hati dalam memberikan kemerdekaan, anggota Dewan Niew Guinea Raad mengambil inisiative membentuk Komite Nasional Papua untuk mempercepat proses tersebut. Benih itu dibunuh dua tahun kemudian demi kepentingan dunia, atas tekanan Amerika Serikat, Belanda menyerahkan kepada Indonesia tanpa melibatkan Wakil Bangsa Papua dalam perjanjian yang disaksikan PBB di New York pada tanggal 15 Agustus 1962.
Menyaksikan semua ini, Bangsa Papua tidak tinggal diam melainkan bangkit melawan kolonialisme Indonesia yang didukung dunia barat ini. Sesudah menyaksikan drama penipuan dunia dimana Tim PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang disebut UNTEA (United Nations Temporary Executive Autority) dibawah pengawalan ketat menyaksikan peserta PERERA (Penentuan Pendapat Rakyat), dibawah intimidasi milter Indonesia dan peserta PEPERA membacakan naskah yang dipersiapkan Indonesia, orang Papua bangkit melakukan perlawanan. Dua tahun setelah PEPERA, pada 1 Juli 1971 Zet Rumkore dan Jacob Pray mengumumkan proklamasi Kemerdekaan West Papua di Markas Victoria Waris Kerom-West Papua. Sebagai lanjutan perlawanan bersenjata pada 28 Juli 1965 di Manokwari West Papua Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka terus melakukan perlawanan terhadap pendudukan Indonesia di West Papua.
“Pasukan Tentara Papua Barat dengan gagah perkasa tidak pernah berhenti berperang dengan militer Indonesia yang masuk menjajah Tanah Papua. Para diplomat Papua pun dari generasi ke generasi, timbul tenggelam memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri sejak awal tahun 1960an hingga kini,” katanya tegas.
Dari datanya, ia mengaku perlawanan itu meningkat secara drastis diperkotaan, baik di Tanah Papua maupun berbagai kota di Indonesia sejalan dengan era keterbukaan yang dimulai tahun 1998. Perjuangan damai itu diorganisir melalui berbagai organisasi perjuangan dari Dewan Presidium Papua hasil Kongres Papua ke 2 di Jayapura West Papua, pada tahun 2000 hingga terbentuknya United Liberation Movement for West Papua di Port Vila pada tahun 2014.
“Tidak kalah pentingnya perjuangan generasi muda Papua yang tergabung dalam aneka organ gerakan seperti, WPNA, Front PEPERA, PARJAL, KNPB, AMP, AMPTPI, FNMPP, GEMPAR, GARDA-Papua serta banyak organisasi perjuangan lainnya. Dan juga terus meningkatnya orang orang Indonesia, entah yang bergabung dalam FRI-WP (Front Rakyat Indonesia untuk West Papua) maupun Jaringan Tanah Damai Papua yang di awali almarhum Pater Dr. Neles Tebay dan Dr. Muridan Widjojo sejak tahun 2010,” ungkapnya.
Pada tingkat Internasional kebangkitan secara significant sejak ULMWP terbentuk. Dalam kepengerusan pertama, pengurus ULMWP menghidupkan dukungan dari Civil Society, pemuda, Musisi dan gereja di seluruh Pasifik. Dengan bantuan Negara-negara Melanesia terutama Vanuatu dan Solomon Island sebagai ketua membantu ULMWP dalam mengembangkan dukungan Internasional, diawali dari seluruh pasifik Selatan kecuali Australia yang tergabung dalam PICWP (Pacific Island Cualition on West Papua).
“Dari Pacific, ULMWP menggalang dukungan ke negara negara Karibia dan Africa serta Latin Amerika. Pada kepemimpinan periode kedua melanjutkan keberhasilan pada periode pertama. Namun pada periode kedua sebagian dukungan mulai tidak berjalan maksimal,” ujarnya.
Akibatnya jumlah negara yang mengangkat masalah Papua dalam pidato di Sidang umum PBB terus menurun tetapi juga perpecahaan terjadi dalam organ orang perjuangan Papua Merdeka. Dalam sidang umum 2023, tidak ada satupun negara yang mengangkat masalah Papua dan juga ULMWP gagal dalam diplomasi meyakinkan negara negara MSG untuk meningkatkan status keanggotaan dari posisi pengamat menjadi anggota penuh.
Tabuni mengatakan, Indonesia telah menempatkan 47.261 personel militer di Papua, di mana sekitar 24 ribu personel telah dimobilisasi hingga saat ini konflik bersenjata masih terus berlangsung di beberapa wilayah seperti Mimika, Pegunungan Bintang, Nduga, Puncak Papua, Intan Jaya, Puncak Jaya, Yahukimo, Tambrauw dan Maybrat, hingga 67 ribu warga sipil telah mengungsi meninggalkan kampung halaman mereka.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2020 menunjukkan bahwa OAP (Orang Asli Papua) berjumlah 1.6 juta jiwa, dari total populasi penduduk Provinsi Papua berjumlah 4,30 juta jiwa dan Papua Barat yang berjumlah 1.13 juta jiwa, atau total sebesar 5,43 juta jiwa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prosentase OAP adalah sebesar 29 persen dari total populasi Papua dan Papua Barat, atau 0,58 persen dari total populasi Indonesia yang berjumlah 275,36 juta jiwa.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Nasional Indonesia, sampai dengan tahun 2015, terdapat 7.478 perusahaan industri dari berbagai sektor yang ada di Provinsi Papua. Sebanyak 23.830.632 hektar telah dijadikan sebagai area konsesi untuk 445 perusahaan yang mencakup mineral, minyak gas, hutan dan perkebunan yang beroperasi di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Data Palm Oil Watch pada 2017 menyebutkan bahwa perusahaan Kelapa Sawit di provinsi Papua dan Papua Barat menerima pendapatan lebih dari 200 juta US Dolar pertahun. Sedangkan data dari Specialist Geology pada tahun 2017 menyebutkan bahwa, PT Freeport Indonesia memiliki rata-rata pendapatan sebesar 116 juta US Dolar perhari.
Dalam menghadapi ancaman serius ini dan tetap memandang masa depan bagi bangsa Papua, ULMWP mengajak sekaligus menyerukan:
- Semua pihak di West Papua, kelompok Pemimpin organisasi perlawanan sipil kota, pertahanan dan orang Papua didiaspora untuk mengambil bagian penuh dengan memberikan dukungan tenaga, materi dan moril pada kepemimpinan kami. Demikian juga kami menyerukan dukungan dan kerja sama berbagai kalangan di Melanesia, Pacifik, Afrika, Caribia, Uni Eropa, Asia dan Amerika Serikat dalam perjuangan bangsa Papua melalui ULMWP sebagai wadah representasi bangsa Papua.
- Menyerukan kepada rakyat Papua, para pemimpin adat supaya tidak menjual belikan tanah dan kekayaan alam Papua kepada Pemerintah Indonesia. Kita jaga dengan baik kekayaan alam semesta ini sebagai warisan Tuhan kepada anak cucu kita.
- Menyambut baik komunike para pemimpin MSG di Port Vila Vanuatu dan para pemimpin Pacifik yang menunjuk PM Fiji, Hon. Sitiveni Rabuka dan PM PNG Hon. James Marape untuk membicarakan masalah Papua Barat dengan pemerintah Indonesia. Kami harapkan supaya pemerintah Indonesia maupun para pemimpin Melanesia dan Pacifik dalam membicarakan masalah West Papua perlunya melibatkan ULMWP sebagai subjek mewakili bangsa Papua. Pada Pidato Presiden Eksekutif ULMWP momentum bersejarah ini saya mengajak kita untuk membantu dengan semua daya upaya menyelamatkan para pengungsi West Papua yang berada diberbagai wilayah di West Papua dan di luar negeri.
- Mengajak untuk mendukung upaya perdamaian dunia khususnya keselamatan warga sipil atas konflik antara Rusia Vs Ukraina, dan Israel Vs Hamas.
- Menyerukan dan mendesak para pemimpin dunia termasuk Presiden Indonesia supaya bukan hanya membawa pesan dan menjadi pahlawan perdamaian atas konflik Israel Vs Hamas dengan mendorong berbagai resolusi Dewan Keamanan PBB untuk genjatan senjata kedua pihak dan mendukung kemerdekaan rakyat Palestina saja tetapi juga mendorong genjatan senjata TNI/Polri Vs TPNPB dan mendukung Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi kemerdekaan dan kedaulatan politik Bangsa Papua.
- Memberikan penghargaan dan apresiasi kepada Bapak B.J. Habibie Presiden Indonesia ke-3 yang membuka ruang demokrasi bagi rakyat Timor Leste untuk proses pelaksanaan Jajak Pendapat (Refrendum) dan juga kepada Presiden K.H. Abdurrahman Wahid, yang telah membiayai Kongres Rakyat Papua II tahun 2000, serta kepada para tokoh nasional bangsa Indonesia, budayawan, rohaniawan, akademisi, LSM, activist, pemuda dan Mahasiswa yang selalu bersuara membelah kemanusiaan dan mendukung proses penyelesaian konflik berkepanjangan di West Papua secara damai dan bermatabat.
- Mengapresiasi dan memberikan penghargaan kepada para Pemimpin Memenesia, Pacifik, Afrika, Caribia yang setia menyuarakan dan memberikan dukungan penuh atas perjuangan Hak Asasi Manusia dan perjuangan Hak Politik untuk Menentukan Nasib Sendiri untuk kemerdekaan Bangsa Papua. Apresiasi dan dukungan yang sama kami berikan kepada para pemimpin gereja, para pemimpin Suku, Perempuan, CSO, Akademisi, Musisi dan Solidaritas.
“Kami meyakini bahwa tahun-tahun yang akan datang menjadi tahun penuh rahmat dalam kepemimpinan kami, kiranya Tuhan membuka jalan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah West Papua supaya bangsa Papua dapat menentukan masa depannya sendiri. Akhirnya, Kepada Rakyat Bangsa Papua dan anda semua kami menyampaikan selamat memperingati 62 tahun, embrio lahirnya negara Papua,” katanya tegas. (*)