Nabire, (WAGADEI) – Panglima Tertinggi West Papua Army (WPA), Brigjen Damianus Magai Yogi membantah pernyataan Indonesia terkait pembebasan sang kapten pilot pesawat Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, Philip Mark Mehrtens yang tujuannya gagalkan kemerdekaan bangsa West Papua.
Yogi menegaskan, atas peristiwa ini Negara Republik Indonesia harus membuka diri untuk melakukan perundingan, bukan lagi dengan pendekatan senjata dan menyebarkan informasi bohong atau hoax.
“Hal itu tidak benar, kalau bisa Indonesia buka diri untuk buat ruang perundingan antara Papua dengan Indonesia harus melibatkan pihak netral yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Melanesia Sperheard Group (MSG) menjadi mediator untuk penyelesaian konflik West Papua,” ujar Damianus Magai Yogi kepada wagadei.id, Selasa, (16/5/2023).
WPA kata Yogi, merupakan gabungan dari tiga sayap militer OPM yakni TPNPB-OPM, TNPB dan TRWP.
Anak kandung Thadius Magai Yogi ini menyatakan, terkait dengan mematuhi hukum humaniter Internasional kedua pihak kombatan WPA dan TNI-Polri berkewajiban untuk menghormati keselamatan penerbangan sipil dan menahan diri tidak menggunakan senjata terhadap pesawat udara sipil sesuai dengan konvensi Jenewa Tahun 1949.
“Peristiwa sandera terhadap pilot susi air oleh komando panglima daerah Ndugama Darakma TPNPB-OPM, tuan Egianus merupakan gerakan penyelesaian konflik yang berkepanjangan di atas tanah West Papua,” katanya tegas.
Jika tindakan tersebut merupakan suatu tindakan melawan hukum Internasional yang mengancam, ia mengakui, keselamatan penerbangan harus diatur oleh hukum humaniter internasional.
Menurutnya, Sandera pilot dengan beralasan bahwa negara Selandia Baru adalah salah satu negara pendukung kemerdekaan West Papua dari 18 negara Pasifik Island Forum (PIF).
“Tapi pilot Philip bantu kerja wilayah di hukum Indonesia, maka pasukan TPN-PB sandera dia,” katanya.
Yogi minta Indonesia buka diri tentang demokrasi perundingan yang diawasi oleh pihak ketiga demi menghargai nilai-nilai kemanusiaan baik rakyat Papua maupun rakyat Indonesia.
“Itu demi kepentingan kedepan negara Papua Barat dan Indonesia menjadi negara bilateral dengan Indonesia,” katanya. (*)