Amadi pergi tanpa pamit kepada Amoye – (Part I)

Berbicara soal cinta adalah berbicara tentang kemanusiaan, hati dan perasaan seseorang. Bisa dipastikan sesorang tertarik pada lawan jenisnya karena penampilan, kecantikan, kegantengan, sikap, perilaku, dsbnya tetapi bukan dengan hawa nafsu seperti beberapa kekerasan seksualitas, diskrimanasi, rasis serta feodal. Jadi, ‘Cinta itu tumbuh dari hati bukan sekedar fenomena’.

Berikut cerpennya…..

AMADI adalah bocah kecil yang dewasa, dia lahir kampung asal Dapuwa, kabupaten Dogiyai dan besar di kota Nabire. Amadi atau gadis kecil ini sudah mengenal dunia cinta melalui film berdurasi pendek di facebook, twitter, instagram, tik-tok, snack video dan media sosial lainnya. Amadi mulai gelisah dengan cinta, ia ingin merasakan cinta melalui dunia pacaran seperti teman-teman disekitarnya. Sehingga Amadi mulai mengenal Amoye. Amoye adalah pria remaja yang berkelahiran di kampung Yotapuga kabupaten Dogiyai. Besar di kampung asal di tepian danau Tigi tepatnya Obai, Tigi Utara, kabupaten Deiyai. Tamat SD di Widimei, SMP di Diyai dan SMA lanjut di Nabire.

Usia sedang bertambah pelan-pelan, sudah hampir tiga antara dua tahun di kota Nabire, Amoye dan Amadi sudah saling kenal dan saling melirik ditengah aktivitas di kota Nabire, namun bukan dengan perasaan cinta tetapi hanya sebatas saling melirik seperti biasa. Amadi ingin Amoye harus tegur saat sekilas saling melewati, karena beberapa kali tiba-tiba bertemu. Amadi semakin senyum-senyum namun Amoye tidak berpikir sejauh itu karena Amoye belum ada perasaan kepada Amadi, Amoye biasa saja. Bocah perempuan kecil itu sungguh semakin suka sama Amoye karena sering bertemu melihat gaya Amoye yang memukai hati Amadi. Amadi ingin Amoye harus lebih suka sama dia dan menjalani hubungan lebih dekat dari teman biasa.

Suatu sore pulang dari kerja, Amoye ketemu Amadi di kompleks berjalan kaki sendirian. Amadi itu mandi rapi, celana jeans pendek ketat, mengenakan varfum tebal, dan mengenakan lipstik dibibir. Amoye sengaja menyentuh tangan Amadi, Amadi hanya senyum-senyum, namun dalam pikiran kecilnya Amadi, dia ingin tampil beda dihadapan Amoye, si remaja yang bergaya sederhana dan tidak rapi. Sesampainya di rumah, Amoye dan teman kerjanya duduk sembari menunggu waktu yang pas untuk mandi. Tiba-tiba saja, terdengar suara menyebut Amoye, ternyata itu menuduh Amoye melakukan aksi kekerasan ringan terhadap Amadi, entah apa yang merasuki pikiran Amadi sehingga melaporkan hal yang tak sesuai tadinya kepada orangtua angkatnya. Amoye tidak ingin harga dirinya hancur berkeping-keping hanya karena masalah sepele, sehingga Amoye membenarkan dengan cara menceritakan apa yang Amoye lakukan sebelumnya. (…..)

Esoknya Amoye sedang berjalan dari arah barat ke timur bersama teman-temanya. Tidak pake lama, Amadi lewat menuju pulang ke arah rumah, disitu Amadi memandang Amoye seperti bak sampah, namun hal itu tidak membuat Amoye mengeluarkan amarah. Amoye lebih suka menerima daripada membalas. Amoye hanya pria kotor yang memiliki akal sehat juga memiliki kesopanan, menghargai kepada siapa saja. Amoye melihat Amadi dengan pandangan yang berbeda, dan kali ini Amadi berhasil mencuri perhatihan Amoye lebih dari biasanya. Setelah itu teman-teman bertanya kepada Amoye yang lagi jalan bersama “Ade itu lalu kamu bermasalah toh?, Amoye pura-pura tidak mendengarkan, terus Amoye mencari kesempatan dalam kesempitan untuk menegur Amadi, Amoye berpura-pura buat alasan untuk mau buang air kecil. Tak lama kemudian, waktu telah pas dan bertanya “Mmm..Amadi pergi kemana?” Amadi dengan senyum lapis malu-malu sedikit menjawab “Sa mo beli es batu depan,” Amoye minta belikan teh pucuk, akhirnya permintaan itu dikabulkan oleh Amadi, namun Amoye tidak ada rasa cinta soalnya Amoye masih trauma dengan apa yang terjadi lalu.

Keesokan harinya, Amoye penasaran dan mulai tidak sabar lagi menikmati wajah Amadi, Amoye pergi dalam dunia khayal, tentunya khayalan tentang Amadi untuk bertemu walau sekedar. Sore harinya, Duduk depan rumah sambil isap rokok, kebetulan Amadi berjalan sendiri di depan rumah Amoye. Amoye bergegas pergi, sesampainya gadis kecil atau Amadi, namun Amadi menambah kecepatan langkah, namun mata Amoye berjalan melihat-lihat nampaknya gadis cantik alias Amadi. Dari tangan Amadi membuang sebuah kertas ke arah Amoye. Amoye melangkah dan ambil kertas yang Amadi beri dengan cara menjatuhkan ke tanah itu. Amoye tarik nafas pelan-pelan sambil membuka kertas tersebut, ternyata isinya “I Lov Yu”. Seusai baca itu, Amoye semakin gelisah, Amoye sudah bertekat harus bertemu Amadi, Amoye terus cari waktu yang pas untuk memastikan bahwa apakah benar Amadi mencintaiku?.

Suatu hari, Amoye melihat Amadi sedang duduk sendirian di pinggiran Irigasi. Amoye tidak pikir panjang langsung pergi kepada Amadi dan meminta maaf atas kejadian lalu walau tak bersalah, Amoye tak berani berbicara tegas dan bijak pasalnya Amadi masih bocah. Amadi kaget saat itu, seakan tidak percaya dengan itu. Amoye sudah rasa tenang. Tampaknya Amadi bahagia sekali dan Amoye juga.

Amadi dan Amoye semakin dekat, namun pertemuan belum pernah terjadi. Amoye selalu berpikir keras bahwa “Pacar saya adalah Amadi, saya harus menunggu Amadi sampai usia menikah,” Cinta yang datang mendekati Amoye selalu menolak hanya karena si gadis kecil.

Amadi sudah mengenal perasaan cinta dan bagimana orang berpacaran? Dua tahun kemudian,  Amoye masih seperti dulu, Amoye masih menunggu Amadi karena rasa kasian untuk disakiti hati Amadi. Suatu hari Amoye terbaring lemah di tempat tidur karena terlambat ke bandara Aturure Douw Nabire dengan tujuan ke Jayapura – Biak untuk mengikuti USAID Kolaborasi Tingkatkan Kapasitas Media Se-Tanah Papua selama 3 hari di Biak, Papua.
Selama kegiatan tersebut berjalan di Biak, Amoye sangat tak berdaya di Nabire. Saat itu, seandainya Amoye ada uang pasti lari ke tokoh minuman keras (miras) untuk beli dan nikmati sendiri dalam rumah walau Amoye sadar bahwa miras itu mematikan tubuh manusia.

Kegiatan hari kedua di Biak, Amoye hanya bisa mengikuti melalui grup WA Business dengan bernama “Gathering Media Biak 16 – 18 Maret.” Sore hari sekitar jam 3±, Amoye masih tetap dalam penjara (kurungan), terdengar di telinga Amoye di luar sana orang bercerita tentang Amadi atau si gadis kecil yang Amoye menanti cukup memakan bulan bahkan tahun itu. Amoye bergerak dan berdiri, namun duduk kembali karena tidak kuat untuk melangkah sehingga tidak jadi memastikan cerita. Keesokan hari sekitar jam 6 subuh, ada masuk pesan sms dari teman dengan nama kontak ‘Nogei Pigai yoka’, Amoye buka dan baca begini “Kawan Amoye, Amadi suda masuk rumah, besok-lusa katanya mau kasi harga maskawin,” tulisnya kawan. Jawab Amoye “Ko mau tipu siapa”? Trus balas Kawan Amoye “Benar kawan, Amadi akan menikah dengan anaknya kepala desa alias deper massa kini,” balasnya kawan Amoye. Setelah itu, Amoye tidak balas apa-apa. Ketika siang tiba, Amoye berdiri dan melangkah pelan-pelan keluar, pas tiba di pintu depan rumah. Kabar tadi yang dapat melalui sms dari kawan itu, sekelompok orang ada cerita soal kabar itu. Amoye sangat kecewa, bahkan hati Amoye pedisnya seperti ketika tertusuk jarum pada bagian tubuh, maka Amoye yakin dan percaya bahwa kabar sebelumnya itu benar.

Dengar itu Amoye bersedih campur hancur, seakan air mata adalah jawaban, pada hal hanya penyesalan yang ditangisi oleh Amoye. Amoye sangat sedih dan menyesal, tetapi Amoye tidak mampu toreransi karena Amadi sudah menghinati walaupun Amoye cinta sama Amadi. Amoye adalah pria kecil yang dewasa, Amadi tidak akan pernah merayu hingga kembali bersama Amoye lagi.

Amadi Bodoh..!!

Kata yang puitis tak tergantikan, rangkaian kata-kata tersebut bukanlah suatu keinginan untuk mengatakan sesuatu, melainkan sesuatu yang dikatakan namun tak dapat ditarik kembali.

Pilihan kata itu bukan sesuatu “yang pergi menuju” sesuatu, bukan pula suatu “pembicaraan” tentang ini atau itu. Bilang kau bilang ‘ini’, belum tentu ‘ini’ yang sesungguhnya dan bisa jadi ada yang menafsirkanya menjadi ‘itu’ .

Amoye adalah pria kecil yang dewasa, yang pernah indah dalam hati si bocah kecil atau Amadi. Kesenangan yang tak lekang di panas, tak lapuk di hujan antara Amoye dan Amadi sudah menjadi bahan cerita ini.

Bagaimana wajah perjalanan hidup Amadi di zaman yang akan datang? Amoye bingung memikirkannya, sebab umur Amadi masih bocah bukan umur menikah. Amoye menulis bukan karena ‘Amoye Gagal Perawan Amadi’ namun Amoye menulis karena Amadi menghilang tanpa pamit dan permisi pada Amoye. Amoye bersedih hanya awal, tapi selagi menulis- Amoye lebih semangat. Amoye puji jika “kecintaan” Amadi itu setinggi langit. Bagi Amoye tak lain orang yang demikian daripada algojo perampas kemerdekaan perempuan.

Amadi yang bodoh! Kemanakah hilangnya paras kecantikan itu, bahayanya akan jadi korban dari nafsu seorang yang kejam,yang hendak mengikatnya menjadi permainannya. Sebentar dia serupa orang baik dan  sangat baik, tetapi setelah keperawananmu hancur dan dia tidak tahan lama, beberapa menit saja dapat berubah menjadi seorang yang duduk gelisah.

Apalagi di zaman ini, zaman kemajuan, semuanya serba susah. Akan dipilih suami orang kampung, terlalu bodoh, tidak tahu bagaimana kemauan hidup dizaman sekarang. Amadi telah jadi Isteri. Isteri itu selain dari pandai mengatur rumah, pandai melekatkan pakaian yang menarik hati, harus pandai pula bergaul. Tidak masalah, jika Amadi bertemu dengan seorang laki-laki yang tepat untuk Amadi.

Amoye adalah pria kampung yang menetap di sudut kota Nabire, hidupnya tidak lengkap, tetapi Amoye adalah seorang laki-laki yang mampu jalani kerasnya hidup ini dengan penuh kesabaran dan menikmati apa adanya.

Memang berbeda sekali perasaan jiwa laki-laki dengan perempuan, sebagaimana berlainnya kejadian tubuh kasarnya. Laki dan perempuan sama-sama mencukupkan kehidupan dengan percintaan. Tetapi filsafat kedua belah pihak dalam perkara cinta, amat berbeda, laksana
perbedaan siang dengan malam, tegasnya perbedaan Adam dengan Hawa.

“Amadi bodoh!” tidakkah engkau ingat dunia perlu didiami? Tidakkah engkau kasihan umurmu masih bocah? Amadi telah menampung sejuta hawa nafsu birahi sehingga buruh-buruh membuka hati bahkan membuka celana dan semuanya untuk dia. Itu hak Amadi, Amoye hanya sebatas memegang pena LAD sembari melatih bagimana cara menulis cerita yang tepat dan benar.

Penulis adalah pelaku cerpen, yang tinggal di tepian Saireri asal Meepago.

Amadi menikah dengan anak Kepala Desa – Part (2) bersambung……

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *