Wamena, (WAGADEI) – Ketua Komunitas Sapalek Bersatu, Gibson Kogoya mengatakan, seluruh korban yang tewas dalam kerusuhan itu disebabkan oleh tembakan aparat keamanan, di antaranya adalah tujuh orang asli Papua, dan sisanya adalah pendatang.
“Tujuh orang semua tewas karena kena tembak, dua orang pendatang meninggal akibat konflik horizontal, dampak dari tembakan kepolisian,” kata Gibson, Jumat (24/2/2023).
Selain korban meninggal dunia, Gibson mengatakan, terdapat 17 orang luka-luka yang dibawa ke rumah sakit, belum termasuk korban yang dibawa ke rumah masing-masing.
Selain korban jiwa, ujar Gibson, terdapat delapan kios yang terbakar akibat kejadian kemarin.
Terkait penggunaan senjata oleh aparat keamanan itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mendesak dilakukan investigasi yang serius untuk mengusut tuntas insiden tersebut.
“Kami menyesalkan jatuhnya korban jiwa dalam peristiwa yang terjadi di Wamena kemarin. Kekerasan dalam bentuk apapun tidak bisa dibenarkan. Begitu pula penggunaan kekuatan yang eksesif oleh aparat negara di sana,” kata Usman Hamid dalam rilis yang diterima, Jumat (24/02).
“Kami mendesak investigasi yang serius untuk mengusut tuntas insiden ini. Apalagi muncul laporan bahwa beberapa warga tewas akibat tembakan. Harus ditelusuri melalui proses hukum yang adil dan tidak berpihak. Siapa pun pelaku penembakan itu, begitu pula pelaku perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, termasuk aksi pembakaran,” kata Usman menambahkan.
Usman menjelaskan, peristiwa yang terjadi di Wamena menandakan berulangnya kasus kekerasan yang merenggut nyawa banyak warga sipil di Papua.
“Tindakan kekerasan, apalagi sampai menimbulkan banyak korban jiwa, hanya akan meningkatkan eskalasi lingkaran kekerasan dan konflik bersenjata di sana. Yang rugi semua pihak,” ujarnya.
Kronologi
Gibson Kogoya menjelaskan, kerusuhan yang terjadi di wilayahnya diawal oleh seorang anak yang ingin membeli kebutuhan di mobil pick-up yang dijadikan toko kelontong.
“Pedagang di mobil pick-up itu suruh anak ini naik ke atas mobil. Tapi, anak tidak mau, lalu lari. Sehingga masyarakat sekitar tidak terima dengan kejadian itu.
“Saat mau ditanya ke dua pelaku, mereka langsung diamankan polisi. Lalu masyarakat berkumpul mendatangi polisi, mereka ingin bertanya ke pelaku, kenapa mau anak kecil ini.
“Pihak polisi tidak mengizinkan, lalu polisi tembak gas air mata. Dari situ masyarakat tidak terima lalu adu baku lempar dengan aparat,” kata Gibson.
Sementara itu, berdasarkan informasi dari sumber yang diperoleh Amnesty International Indonesia, peristiwa itu berawal dari isu penculikan anak sekolah dasar dan terduga pelaku diamankan pihak kepolisian setempat.
Namun, kata Usman, pihak keluarga anak itu disebut tidak menerima kalau polisi mengamankan terduga pelaku, sehingga terjadi perbedaan pendapat antara aparat kepolisian dan keluarga anak yang diduga diculik. Akhirnya, ungkap laporan dari sumber Amnesty itu, terjadi pertikaian antara masyarakat dan pihak kepolisian.
“Kemudian terjadi baku lempar batu terhadap aparat kepolisian. Karena susah dikendalikan, maka aparat keamanan mengeluarkan gas air mata berkali-kali,” ujar Usman.
“Dari korban-korban tersebut ada ditemukan luka yang diakibatkan oleh tembakan maupun luka senjata tajam. Mereka yang meninggal dunia telah ditempatkan di ruang jenazah Rumah Sakit Umum Wamena,” tambah Usman. (*)