Jayapura, (WAGADEI) – SKPKC Fransiskan Papua akhirnya menerbitkan sebuah buku Seri Memoria Passinis Nomor 40 dengan judul ‘Jalan Panjang Keadilan dan Perdamaian di Papua’ dan sub judul ‘Analisis dan Kronik Hak Asasi Manusia 2021’.
Direktur SKPKC Fransiskan Papua Yuliana Langowuyo, Sabtu, (17/12/2022) menegaskan, Papua dan persoalannya di sepanjang tahun 2021 masih miris dan tidak menentu. Segala peristiwa yang berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM) masih harus diperjuangkan. ‘Utang’, janji dan persoalan pada tahun-tahun sebelumnya masih tetap terjadi di tahun 2021.
“Walupun demikian, bagi ‘para pihak’ atau mereka yang mengikuti persoalan di Papua, terus berusaha mencari solusinya. Begitupula dengan para korban dan warga Papua. ‘Ruang’ Keadilan dan Perdamaian di Tanah Papua masih belum terisi padat. Masih banyak pihak, khususnya masyarakat adat Papua, belum bisa menempati ‘ruang’ tersebut. Mereka masih terus berjuang,” ujar Direktur SKPKC Fransiskan Papua Yuliana Langowuyo.
Menurut dia, kebijakan dari mereka yang berkuasa selalu mengabaikan suara-suara keadilan dari kaum termaginal di Papua. Suara lantang akan sebuah keadilan dan kedamaian terbentur tembok nan kokoh yang kuat.
“Walaupun demikian, bagi kaum termaginal dan yang tersisihkan, tidak mau menyerah. Jalan yang panjang untuk sebuah keadilan dan perdamaian di tanah airnya, Tanah Papua, mau tidak mau, suka tidak suka, harus dilalui dan ditempuh. Banyak pihak tidak menutup mata dan hati akan asa perjuangan kaum kecil, termaginal di Tanah Papua,” ungkapnya.
Buku setebal 146 Halaman yang ditulis Bernard Koten, Alexandro Rangga, OFM, Latifah Anum Siregar, Mochammad Wahyu Ghani dan Petrus Pit Supardi itu terdiri dari Bab Pertama, menarasikan situasi pendidikan formal di Papua. Mandeknya pendidikan di Papua merupakan persoalan klasik yang hingga saat ini terus dialami dan dirasakan. Persoalan kekurangan tenaga pengajar, ketidakdisplinan tenaga pengajar dan situasi sosial politik di Papua sangat mempengaruhi proses pendidikan formal di beberapa daerah di Papua.
Persoalan klasik yang sama adalah kesehatan. Namun pada kesempatan ini, penulis memfokuskan diri pada persoalan HIV AIDS. Banyak generasi muda dan usia produktif di Papua terpapar dengan HIV AIDS. Pola laku hidup yang tidak sehat menjadi salah satu factor utama menjalarnya HIV AIDS di Papua. Perihal ini akan dinarasikan pada Bab Kedua.
Ia mengatakan, kisah tentang Otonomi Khusus Papua dan Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua dinarasikan pada Bab Ketiga. Derasnya gelombang penolakan dari masyarakat Papua terhadap keberlanjutan Otsus Papua dan pemekaran DOB tidak menyurutkan ambisi para pengambil kebijakan untuk tetap mendorong dan menetapkannya.
“Masih dalam masa Otsus Papua, eskalasi kekerasan dan konflik bersenjata cenderung meningkat di Papua. Aksi baku tembak antara TPN PB dan TNI Polri cenderung meningkat di Papua. Korban yang berjatuhan bukan saja dari kedua belah pihak tetapi juga dari warga sipil. Korban nyawa manusia, khususnya warga sipil sudah menjadi tidak berarti. Konflik ini juga berdampak pada warga di daerah konflik harus dan terpaksa keluar dari kampung halamannya demi mencari keamanan dan kedamaian. Narasi ini akan dibahas dalam Bab Keempat tentang Konflik Bersenjata dan Dampaknya,” tuturnya.
Pada Bab V, pihaknya menampilkan persoalan perampasan lahan, hutan atau tanah masyarakat adat Papua. Derasnya investasi ke Tanah Papua yang secara ‘rakus’ menghilangkan banyak sumber makanan dan kehidupan bagi masyarakat adat Papua. Walaupun demikian, masyarakat adat Papua tidak menyerah. Mereka tetap melawan ketidakadilan terhadap apa yang selama ini melekat dan menghidupinya.
“Tak jarang masyarakat adat Papua harus berurusan dengan para tangan besi ketika masyarakat mempertahankan sumber kehidupannya, yakni hutan atau tanah tersebut,” katanya.
Suara masyarakat adat Papua yang menuntut keadilan, kelestarian lingkungannya, selalu saja diperhadapkan dengan tangan besi. Negara menilai bahwa suara-suara ini adalah suara ‘makar’ yang harus dengan cepat dibungkam dan dihilangkan.
Tak jarang, banyak masyarakat adat Papua dari berbagai lapisan yang menyuarakan keadilan, keadilan, penentuan nasib sendiri dan penyelesaian pelanggaran HAM, ditangkap dan mendapatkan kekerasan fisik. Persoalan pembungkaman ruang demokrasi ini dinarasikan pada Bab VI.
Pada Bab VII, akan menarasikan bagaimana ‘utang’ atau janji dari Negara Indonesia untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua. Sudah banyak pihak baik korban, solidaritas korban pelanggaran HAM, maupun lembaga Negara yang mendesaknya, tetapi Negara Indonesia sampai saat ini belum bisa menyelesaiakannya. Negara membangun narasi lainnya dengan segala proses pembangunan yang sudah dan akan dilakukan di Tanah Papua.
Direktur AlDP Anum Siregar mengatakan, untuk kali ini SKPKC Fransiskan Papua tidak sendirian dalam mengisi analisisnya. SKPKC Fransiskan Papua dibantu oleh dirinya, Peneliti dan Penulis Buku di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional, Mochammad Wahyu Ghani dan Pegiat HAM Papua, Petrus Supardi.
“Buku tersebut merupakan bagian upaya SKPKC Fransiskan Papua untuk terus menjaga agar mata dan hati perjuangan hak asasi manusia tetap terbuka,” ujar Anum. (*)
![](https://wagadei.id/wp-content/uploads/2022/12/IMG-20221213-WA0224-01-300x170.jpeg)