Jayapura, WAGADEI – Lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua menyatakan keprihatinannya atas dampak yang ditimbulkan oleh Proyek Strategis Nasional (PSN) di wilayah Merauke dan Sorong yang telah memicu konflik berkepanjangan dan semakin memperburuk ketegangan antara masyarakat adat Papua dengan negara dan pihak perusahaan.
Proyek-proyek besar yang digagas oleh pemerintah Indonesia dengan dalih untuk pembangunan ekonomi, justru telah mengabaikan hak-hak dasar masyarakat adat, khususnya terkait pengelolaan tanah adat yang telah lama mereka jaga dan kelola secara berkelanjutan.
Direktur WALHI Papua Maikel Primus Peuki mengatakan, pembangunan besar-besaran yang melibatkan sektor-sektor seperti perkebunan, pertambangan dan infrastruktur telah merambah wilayah-wilayah yang menjadi rumah bagi suku-suku lokal di Papua, seperti suku Marind, Asmat, dan suku-suku lainnya.
“Proyek-proyek PSN yang berlangsung di Merauke dan Sorong menunjukkan sikap negara yang tidak menghargai hak-hak tanah adat milik masyarakat Papua,” kata Direktur WALHI Papua Maikel Primus Peuki, Sabtu, (9/11/2024).
WALHI Papua adalah lembaga yang bergerak dalam advokasi lingkungan dan hak-hak masyarakat adat di Papua. Sebagai bagian dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), kami berkomitmen untuk memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat adat melalui kampanye, edukasi, dan aksi-aksi hukum.
Menurut Peuki, tanah adat yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat adat, baik dari segi ekonomi, sosial, budaya dan spiritual, kini terancam digusur untuk memenuhi kepentingan pembangunan yang sering kali tidak mengakomodasi hak-hak masyarakat adat.
“Penggusuran dan perusakan lingkungan yang terjadi akibat proyek-proyek ini telah mengakibatkan konflik berkepanjangan, merusak keharmonisan sosial, dan menambah penderitaan bagi masyarakat adat yang sudah lama mengalami marginalisasi,” katanya.
Proyek-proyek tersebut sering kali dilakukan tanpa adanya konsultasi yang memadai dengan masyarakat adat, dan bahkan tanpa persetujuan mereka (Free, Prior, And Informed Consent – FPIC).
Praktik seperti ini jelas bertentangan dengan konvensi internasional yang mengakui hak masyarakat adat untuk mengelola dan mempertahankan tanah adat mereka.
Selain itu, lanjut dia, dampak dari proyek-proyek ini tidak hanya mengancam keberadaan ekosistem alam yang kaya, tetapi juga merusak struktur sosial dan budaya masyarakat adat.
“Suku-suku lokal di Papua telah lama menjaga tanah mereka dengan prinsip-prinsip kearifan lokal yang berkelanjutan. Tanah ini bukan hanya tempat hidup, tetapi juga bagian dari identitas dan kehidupan spiritual mereka. Mengabaikan hak mereka berarti merampas masa depan mereka dan melanggar hak asasi manusia,” kata Peuki.
Sejak awal, lanjut dia, banyak pihak yang menilai bahwa kebijakan PSN di Papua lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dan pembangunan infrastruktur tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat.
Proyek-proyek besar yang digulirkan pemerintah sering kali hanya menguntungkan perusahaan besar dan segelintir kelompok, sementara masyarakat adat semakin terpinggirkan dan kehilangan akses terhadap tanah dan sumber daya alam yang menjadi hak mereka.
“Pembangunan di Papua haruslah dilakukan dengan pendekatan yang mengutamakan hak-hak masyarakat adat, pelestarian lingkungan, serta kesejahteraan jangka panjang bagi generasi mendatang. Negara dan perusahaan harus menghormati hak tanah adat, dan tidak boleh lagi mengorbankan kepentingan rakyat demi kepentingan segelintir pihak,” ujar Peuki.
WALHI Papua menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan proyek-proyek PSN yang merugikan masyarakat adat dan merusak lingkungan, serta segera melakukan dialog yang lebih terbuka dan inklusif dengan masyarakat adat untuk mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.
“Kami juga mendesak pemerintah untuk segera memperkuat regulasi yang mengakui hak-hak tanah adat dan memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan sosial dan lingkungan,” katanya. (*)