Bahaya, Satu Suku Kuasai Pemerintahan Provinsi Papua Tengah

Nabire, WAGADEI – Hadirnya Pemerintah Provinsi Papua Tengah merupakan meredam teriakan Papua Merdeka.

Hadirnya Provinsi Papua Tengah juga di atas korban nyawa dan darah orang asli Papua yang mengalir ketika demonstrasi yang cukup luar biasa menolak UU Otonomi Khusus (Otsus) dan Daerah Otonom Baru (DOB).

Dalam rancangan DOB itu diamanatkan OAP harus menjadi tuan di atas tanahnya sendiri.

Namun apa yang terjadi di pemerintahan Provinsi Papua Tengah pada era kepemimpinan Penjabat Gubernur Dr. Ribka Haluk dan Anwar Harun Damanik sebagai Penjabat Sekda Papua Tengah yang hari ini Kamis, (18/10/2024) secara mendadak dipindah tugaskan sepenuhnya kepada mantan Sekda Paniai ini.

Berikut daftar satu suku kuasai pemerintahan Provinsi Papua Tengah.

Pj Gubernur Papua Tengah rangkap Sekda definitif, Kepala BKPSDM Provinsi Papua Tengah, Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan rangkap Sekretaris, Kepala Dinas Perhubungan, Kepala Biro umum suku, Plt Kepala DPUPR, puluhan kepala Kepala Bidang, KABID dan puluhan Kepala Seksi di sejumlah dinas, badan dan kantor.

“Semua suku Batak kuasai pemerintahan Provinsi Papua Tengah, apakah daerah otonom baru ini hadir untuk mereka,” kata salah satu tokoh pemuda Papua yang enggan disebutkan namanya, Kamis, (18/10/2024).

Masyarakat Papua Tengah kecewa

Kekecewaan masyarakat Papua Tengah terhadap pengisian jabatan di pemerintahan provinsi baru.

Awalnya pemekaran Provinsi Papua Tengah diharapkan menjadi peluang besar bagi masyarakat asli Papua Tengah untuk mengambil peran lebih besar dalam pembangunan wilayah mereka sendiri. Namun, harapan ini kini memudar di tengah kekecewaan yang meluas terkait pengisian jabatan di pemerintahan baru.

Pemerhati sosial politik Papua Tengah, Ally Keiya bilang, saat ini sejumlah posisi penting di lingkungan birokrasi Provinsi Papua Tengah seolah-olah dikuasai oleh satu kelompok etnis, yang tidak berasal dari Papua Tengah. Mulai dari Penjabat Gubernur (Pj Gub), yang juga merangkap Sekretaris Daerah (Sekda), hingga kepala-kepala dinas strategis lainnya seperti BKPSDM (Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia), Dinas Perhubungan, Biro Umum, Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P dan P), serta Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR), semuanya diisi oleh orang yang berasal dari suku Batak.

“Lebih dari itu, kabid (kepala bidang) dan kepala seksi di beberapa instansi belum terhitung. Fakta ini membuat masyarakat Papua Tengah mempertanyakan tujuan sebenarnya dari pemekaran provinsi ini. Pemekaran seharusnya menjadi jalan bagi masyarakat asli Papua Tengah untuk memainkan peran utama dalam pemerintahan, bukan justru membuka peluang bagi pihak luar untuk mendominasi,” katanya.

Tujuan pemekaran

Pemekaran wilayah Papua Tengah dilakukan dengan tujuan utama untuk mempercepat pembangunan dan memprioritaskan kesejahteraan orang asli Papua Tengah. Namun, dengan banyaknya jabatan penting yang diisi oleh pihak luar, terutama dari satu suku, kepercayaan terhadap tujuan pemekaran ini mulai goyah.

Bagi masyarakat Papua Tengah, pemerintahan baru ini seharusnya mencerminkan keberpihakan kepada orang asli Papua, karena mereka yang paling memahami kondisi, budaya, dan kebutuhan di daerah ini. Adanya dominasi dari satu suku luar Papua dalam pemerintahan baru justru membuat masyarakat merasa terpinggirkan di tanah mereka sendiri.

Harus Perubahan dan Keberpihakan

Kondisi ini menuntut adanya evaluasi dan perubahan dari pemerintah pusat. Pemekaran tidak boleh menjadi alat untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok etnis tertentu, tetapi harus menjadi sarana untuk memperkuat keterlibatan dan kepemimpinan orang asli Papua Tengah.

Penempatan orang luar Papua di hampir semua posisi strategis memicu rasa ketidakadilan dan mengganggu tujuan awal dari pemekaran.

Harapan masyarakat Papua Tengah adalah adanya komitmen yang nyata dari pemerintah pusat untuk mengutamakan kepentingan orang asli Papua dalam pembangunan daerah baru ini.

Mereka ingin pemimpin yang memahami dan benar-benar memperjuangkan aspirasi mereka, bukan hanya sekadar simbol, tetapi memiliki kapasitas untuk mewujudkan perubahan yang nyata. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan