Sejarah masyarakat adat Papua penuh dengan darah

Nabire, WAGADEI – Masyarakat adat adalah pewaris dan pemilik budaya, sumberdaya alam, dan berbagai pengetahuan lokal yang melekat padanya. Di dunia terdapat 476 juta jiwa masyarakat adat, 40 juta masyarakat adat ada di Indonesia dan jutaan masyarakat adat di West Papua.

Keberadaan dan hak masyarakat adat telah diakui dalam Konvensi ILO No.169 Pasal 3 Tahun 1989, kemudian Hak Masyarakat Adat diator di dalam deklarasi tentang hak-hak masyarakat adat 2007.

Deklarasi tersebut menggambarkan hak masyarakat adat dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik dalam artian dapat menentukan nasibnya sendiri tanpa intervensi pihak eksternal. Tanggal 9 Agustus setiap tahunnya diperingati sebagai hari masyarakat adat sedunia sebagai upaya untuk mengingatkan hak-hak masyarakat adat dan berupaya membangun solidaritas antara masyarakat adat yang sangat rentan disingkirkan oleh arus kapitalisme global.

Masyarakat adat Papua sebagai bagian dari warga dunia berhak untuk mempertahankan eksistesinya dan mendapatkan keadilan sejati, setara dan menentukan masibmya sendiri (the right to self determination).

Organisasi pergerakan rakyat sipil Gempar Papua, Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP), Green Papua, Kolektif Lapak Baca dan Diskusi Kota Jayapura, Forum Komunikasi Mahasiswa Pelajar Wodlo dan Sekolah Alternatif Papua (SAP) yang tergabung dalam Front Peduli Kedaulatan Masyarakat Adat Papua (FPKMAP) menggelar aksi mimbar bebas di Abepura, Kota Jayapura, Papua, Jumat, (9/8/2024).

Opran Gombo, koordinator aksi lapangan hari Masyarakat Adat Internasional dalam pernyataannya menyatakan, sejarah masyarakat adat Papua merupakan sejarah yang penuh dengan darah. Praktek sistem kolonialisme Indonesia tak pernah berhenti melahirkan kesengsaraan bagi Rakyat Papua.

“Penyiksaan, penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, penangkapan sewenang-wenang, perampasan tanah, hingga rasisme terus menyelimuti lembar-lembar kehidupan dan menyudutkan Rakyat Papua,” kata Opran Gombo.

Dia mengatakan, kurang lebih tercatat dari 800 ribu jiwa orang Papua setelah dianeksasi 01 Mei 1963 hingga konspirasi manipulasi Pepera Juli-Agustus 1969 oleh Indonesia, jumlah orang Papua yang dibunuh dalam operasi-operasi militer Indonesia mencapai 500 Ribu jiwa. Dari pembunuhan para tokoh-tokoh Papua, hingga rakyat sipil sampai hari ini masih terjadi.

Tindakan Indonesia gagalkan kemerdekaan bangsa Papua Barat

Opran Gombo menegaskan, pada dekade tahun 1960-an sampai dengan 1990-an fase dimana rakyat papua dihadapkan dengan situasi operasi militer yang begitu masif yang telah melahirkan berbagai pelanggaran HAM mulai dari hak politik bangsa papua barat, pembunuhan, penembakan, pemerkosaan, penangkapan dan lain sebagainya dengan dalil pembebasan Irian Barat, membasmi kelompok separatis dan lain sebagainya. Sementara secara objektif bangsa Papua Barat telah dimerdekakan pada 1 desember 1961,” jelasnya.

Tindakan menggagalkan kemerdekaan bangsa Papua Barat oleh Indonesia merupakan tindakan menjajah. Kapitalisme-Imperialisme memfasilitasi Indonesia Untuk mengagalkan kemerdekaan Papua dengan memberi bantuan Senjata, peluru dan pesawat tempur untuk melakukan Operasi militer di Papua.

Impitalisme-Imperialise menyiapkan Perjanjian New York ( New York Agrrement) dalam pembahasan perjanjian New York tidak pernah melibatkan rakyat Papua padahal nasib tanah dan rakyat Papua Barat yang dibicarakan dan akhirnya perjanjian New York di tetapkan pada 15 Agustus 1962.

“Sejak tahun 1962, senjata dan kekerasan (Tni/Polri) kolonial Indonesia, memaksa diam rakyat Papua demi kepentingan Imperialisme Amerika Serikat dalam aksi perampokan sumberdaya alam rakyat Papua. Rakyat Papua tidak pernah dilibatkan dalam penentuan nasib masa depannya sendiri,” kata Gombo.

Operasi-operasi militer dijalankan, gelombang operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti operasi banten kedaton, operasi garuda, operasi serigala, operasi kancil, operasi naga, operasi rajawali, operasi lumbung, operasi jatayu. Operasi lewat laut adalah operasi show of rorce, operasi cakra, dan operasi lumba-lumba. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan operasi Jayawijaya dan operasi khusus (Opsus).

“Kongkalikong antara Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB mengesahkan kebohongan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dan mendiamkan rakyat Papua yang dibantai selama setengah abad. Resolusi PBB 2504 yang dikeluarkan pada tanggal 19 November 1969 yang mengesahkan pelaksanaan Pepera, Juli-Agustus 1969 merupakan bentuk penghianatan PBB terhadap demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) rakyat Papua sebagai satu kesatuan masyarakat dunia yang harus diperlakukan dengan secara adil dan bermartabat,” katanya.

Pelaksanaan Pepera yang tidak demokratis dan penuh manipulasi, teror dan intimidasi bahkan penangkapan, pemenjaraan dan pembunuhan terhadap rakyat Papua yang pro-kemerdekaan adalah keharusan untuk tetap mempertahankan Papua. Selain itu Pepera mengingkari isi Perjanjian New York yang mengharuskan tindakan penentuan nasib sendiri di Papua harus dilakukan melalui mekanisme internasional yaitu ‘one man one vote’.

Faktanya Pepera yang tidak demokratis dan tidak sesuai mekanisme internasional itu, dengan 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan hanya 175 orang yang memberikan pendapat untuk bergabung dengan Indonesia.

Fakta lain yang menunjukan keterlibatan PBB dalam pengingkaran terhadap hak-hak demokratis rakyat Papua bahwa Resolusi 2504 membenarkan Kontrak Karya I Freeport dan pemerintah Indonesia yang dilakukan 2 tahun sebelum Pepera dilakukan yaitu pada,” ujarnya. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *