Nabire, WAGADEI – Politikus muda lintas partai politik (parpol) bermunculan di berbagai daerah, terutama daerah otonom baru (DOB) seperti provinsi Papua Tengah untuk memperebutkan kursi legislatif pada pemilu 2024.
Kehadiran para calon legislatif (caleg) beriringan dengan fakta atas dasar cita-cita sejak masih sekolah di bangku sekolah dasar (SD) bahkan keinginan luhur para orang tua agar kelak anak mereka berguna untuk diri sendiri, sesama, agama, lingkungan dan bangsa.
Hal itu yang dialami Silas Yasipa mahasiswa aktif di kampus Universitas Tama Jagakarsa, atau disingkat UTJ yang terletak di Tanjung Barat, Jakarta Selatan, DKI Jakarta ini baru saja terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Paniai dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) daerah pemilihan II khususnya distrik Baya Biru dengan memperolah suara 3.800 dari delapan calon DPRD Kabuapaten Paniai periode 2024-2029
Ketika diwawancarai wagadei.id, pria kelahiran Aibore Nabire, 31 Juli 1997 ini mengakui bahwa keberhasilannya dalam konstelasi politik akhirnya ditentukan dua hal yakni cita-cita dan doa orang tua.
Lelaki muda berusia 27 tahun asalnya suku Mee – peranakan suku Wolani ini menceritakan, secara tidak sadar sejak ia masih berada di bangku SD YPPK Pugatadi, distrik Kamuu Utara, kabupaten Dogiyai sempat ditanya apa cita-cita oleh gurunya, secara spontas ia menjawab; “DPR atau Camat”. Namun ia belum tahu apa itu DPR ataupun camat, yang ada di dalam pikirannya hanya orang besar.
“Saya punya cita-cita waktu kelas V SD YPPK Pugatadi. Ibu guru Olla Boma tanya apa cita-cita saya, saya langsung jawab mau jadi DPR atau Camat. Ibu guru sampai heran-heran karena saya ini anak yang datang sekolah dari jauh di balik gunung yang tinggi. Tapi sekarang sudah terbukti, sudah terpilih menjadi anggota DPRD Paniai,” ujar Silas Yasipa di Nabire, Senin, (1/4/2024).
Alumni SMP Bakti Mandala Nabire yang tamat tahun ajaran 2013/2014 ini meraih 3.800 suara dari total daftar pemilih tetap (DPT) 4.705, namun jumlah DPT tersebut masih kurang jika DPT dari empat kampung tak dipindahkan melalui sistem ke distrik lain.
“Saya dapat 3.800 suara ini hasil kesepakatan dari masyarakat yang ada di enam kampung. Di distrik Baya Biru memiliki 11 kampung diantaranya Kagodide, Maatadi, Pikokebo, Pupekebo, Miyokepi, Jigitopa Timur, Dokoneida, Eyapouda, Baya Biru, Nomouwo, Wegema dan Weiyaugi. Suara DPT Baya Biru sebanyak 4.705 tapi sebenarnya 8.500. Tapi empat kampung punya DPT pindah ke distrik lain,” ujar dia.
Distrik Baya Biru masuk dalam daerah pemilihan (dapil) dua bersama distrik lainnya yakni Muye, Paniai Barat, Nakama, Teluk Deya, Yagai, Kebo dan Siriwo. Yasipa menjelaskan, sebanhyak sembilan putra daerah distrik Baya Biru maju caleg dari parpol yang ragam tentunya merubutkan 4.705 suara namun situasi berkata lain; Silas Yasipa yang unggul. 11 orang, kalua John PKB, Yosafat Pigome PPP, Akulain Adii dari Gelora, Noas Degei PDIP, Yosia Tagi PKN, Aleks Makipa Gelora, Hosea Anoka PPP, Piter Yogapa Garuda dan Hosea Pigome Golkar,
Bangun kesadaran di tengah masyarakat dan termotivasi karena masalah di Degeuwo
Ternyata Silas bukan orang sembarangan di kalangan masyarakat dan tokoh intelektual yang mendiami di sepanjang kali Degeuwo, tempat pertambangan emas Baya Biru, Paniai. Pasalnya sejak masih mahasiswa di Universitas Tama Jagakarsa Jakarta Selatan pada jurusan Hukum Pidana telah berbuat baik bagi negeri yang kerapkali terjadi konflik bersenjata ini.
Lulusan SMK Anak Laut Nabire pada tahun ajaran 2016/2017 ini bilang dirinya telah membangun kesadaran terhadap masyarakat, tokoh intelektual, siswa dan mahaisswa bahwa di daerah Baya Biru telah ada ancaman yang cukup serius sehingga kedepan bakalan berdampak negative di dalam kehidupan bermasyarakat.
“Saya memberitahukan bahwa semua Masyarakat di sana (Baya Biru) sedang berada ancamana yang luar biasa dan berbahaya bagi kita kedepan. Itu setelah saya bacar situasi dari segi infrastruktur, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan social budaya. Pemda Paniai buta terhadap kita sejak desa Nomouwo dimekarkan sampai distrik Baya Biru. Dulu orang bilang kami ada di bawah pantat pesawat dan memang kami terbelakang,” katanya.
Persoalan serius yang ditemukan, lanjut dia, ketika dirinya masih kuliah di Jakarta. Persoalan yang ditemui yakni kerusakan lingkungan atas pertambangan emas yang berujung pada korban nyawa manusia.
“Saat saya kuliah itu melihat banyak persolana di wilayah kita di sana, saya bandingkan bagaimana kedepan. Kemudian saya tidak bisa biarkan mereka (masyarakat) urus sebuah persoalan karena susah untuk selesaikan karena potensi masalah di daerah kami sangat berat,” katanya menceritakan.
“Ada masalah cukup serius adalah masalah lingkungan, pertambangan emas dan infrastruktir. Waktu itu saya mau semua masalah ini saya yang hadapi, saya termotivasi maju calon hanya dengan masalah-masalah ini (selain cita-cita dari kecil),” katanya.
Yasipa mengatakan, sejak mahasiswa pernah mengatasi sejumlah masalah di daerah Degeuwo tapi apalah daya tak mampu atas sebab ia hanya seorang mahasiswa. Kewenangannya terbatas, dari waktu ke waktu masalah menjadi komplek.
“Karena saya tidak punya kewengan atau hanya pemuda biasa sehingga tidak bisa terasai. Yang kami bisa itu hanya bisa menyuarakan melalui media massa sebagai tokoh pemuda seperti isu hak asasi manusia, lingkungan hidup, kesehatan, pendidikan, pertambangan rakyat, ekomomi dan sosial budaya melalui Jubi, Suara Papua dan Kabar Mapega. Itu saya bersuara terus menerus sejak mahasiswa sejak tahun,” ungkapnya.
Lahan adat di Degeuwo rusak akibat tambang emas
Masyarakat Adat dari Suku Walani, Mee dan Moni yang tinggal di sepanjang Sungai Degeuwo, Kabupaten Paniai, Papua, makin resah dalam beberapa tahun belakangan ini. Operasi tambang emas makin menggila, tanah-tanah adat terampas. Tak hanya itu, kini air sungai keruh, tercemar limbah pengolahan tambang. Kondisi tambah parah kala warga yang menolak dan protes harus berhadapan dengan aparat keamanan yang ketat menjaga tambang. Tambang terus beroperasi, penyebaran penyakit seperti HIV/AIDS tak terhindarkan.
Thobias Bagubau, Ketua Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni kepada Mongabay, mengatakan, warga tak mengetahui jelas bentuk perizinan tambang di sekitar itu. Yang jelas, banyak beroperasi tambang emas dan meresahkan warga. Sebab, tanah-tanah ulayat terampas hingga menimbulkan banyak korban.
Tambang emas di daerah itu berawal 2001. Kala itu, orang-orang luar mulai masuk dan menambang secara tradisional. Baru, pada 2003, perusahaan masuk, dengan alat-alat berat yang mulai merusak hutan. Kini, setidaknya ada 26 pertambangan, antara lain PT Madinah Qurrata’ain, bekerja sama dengan PT West Wist Mining, asal Australia dan PT Martha Mining. Perampasan tanah masyarakat adat, penghancuran rumah, kebun, bukit dan tempat–tempat keramat masyarakat, terjadi.
“Jadi adanya masalah di Degeuwo mulai sejak tahun 2001 -2002 ketika emas mulai bermunculan. Aktor dibalik semua masalah ini pertambangan illegal di Baya Biru, pemerintah juga terus abaikan sampai sekarang,” kata Silas Yasipa mengenang.
Yasipa mengatakan, dirinya mendukung keinginan John NR Gobai, mantan ketua Dewan Adat Daerah (DAD) Paniai yang sekarang menjabat anggota DPR Papua melalui mekanisme pengangkatan bahwa daerah seperti Degeuwo harus dijadikan wilayah pertambangan rakyat (WPR) semestinya didukung oleh semua pihak, namun tak menutup kemungkinan juga bisa diatur oleh Lembaga-lembaga non pemerintah guna mendeteksi persoalan dan keberpihakan pada rakyat di sana. Di mana emas telah menjadi mata pencahariann mereka guna memenuhin kebutuhan sehari-hari sebab pemilik lokasi tak pernah Batasi siapapun yang hendak datang dulang emas.
“Satu sisi saya mendukung pak John Goabi tentang WPR dan itu harus didukung oleh pemerintah kabupaten Paniai. Terus ada juga lembaga non pemerintah, pihak adat, dan lembaga lainnya. Karena masyarakat memahami dampak-dampak buruk itu, sehingga kedepan kami akan bergandengan tangan Atasi masalah-masalah ini,” katanya.
Doa orang tua terwujud!
Lelaki kampung di balik gunung yang hidup sebagai anak yatim ini pernah mendapatkan kepercayaan sebagai ketua ikatana pelajar, mahasiswa Nabire, Paniai, Dogiyai dan Deiyai di Jakarta untuk periode 2018-2020 ini pernah diberikan wasiat oleh ayahnya Aita Steven sebelum ia meninggal dunia, kala itu Silas masih kelas VI SD.
Dalam wasiat ayahnya, salah satu hal yang ditegaskan adalah wajib tekun dalam sekolah agar cita-cita bisa tercapai dan kelak bisa berguna untuk sesama di wilayah Degeuwo. Penyampian itu tertanam secara permanend di dalam lubuk hatinya, ia tak bisa lagi tinggal lama-lama di kampung pasca ayahnya meninggal. Segera bergegas turun ke Nabire setelah dua tahun lamanya bersama-sama ibundanya yang telah menjadi janda.
Berkat uang 4 juta rupiah yang diberikan ibudanya dan pamannya menjadi motivasi besar agar segera masuk kembali sekolah dasar. Ibundanya tetap mendoakan dari kejauhan di pinggir kali Degeuwo agar anak sulungnya itu kelak bisa sukses.
So, pada periode 2019-2024, kata Yasipa, para orang tua dan masyarakat memanggil dirinya untuk calon DPRD kabupaten Paniai namun berhubung masih berstatus mahasiswa terpaksa ia tolak namun tetap bekerja sebagai akitivis dalam hal menyuarakan segalam macam persoalan di daerahnya.
“Periode lalu masyarakat dan orang tua bilang kamu calon DPRD Paniai sambil kuliah, tapi saat itu saya jawab saya belum siap. Mereka (masyarakat) terima,” katanya.
Untuk kali inipun, kata dia ia dipaksa oleh masyarakat agar harus caleg supaya bisa angkat persoalan yang terjadi di daerah penambangan di lembaga parlemen. “Dan kali ini juga sama, saya bilang oke kita perang,” katanya sambil senyum.
“Ogai yapee motiika ukaa mapega teki-teki teetai (kita perang jadi siapkan busur dan anak panah). Periode lalu saja masyarakat sudah mendukung. Kali ini langsung bulat. Jadi mereka semua entah penyelanggara, masyarakat dan para caleg lain juga utamakan saya,” katanya.
“Ini artinya doa orang tua, wasit dari saya punya orang tua dan saya punya cita-cita sejak kecil sudah dipadukan dan hasilnya saya terpilih menjadi anggota DPRD Paniai dari Baya Biru untuk masyarakat Paniai seluruhnya,” katanya.
Jujur ia tidak pernah minder karena dukungan cukup besar, diyakini akan terpilih dan sudah terbukti sekarang. “Tidak ada ruang untuk minder. Saya hanya pikir apakah partai kita ini akan menang atau tidak, hanya itu saja yang saya piker,” ujarnya.
Apakah Silas sudah wisuda S 1?
Sudah bukan hal baru lagi jika seorang caleg harus starata satu (S 1). Namun bagi Silas adalah sebuah kenangan yang terpatri di dalam lubuk hatinya sebab seharusnya ia wisuda tahun 2023 namun hanya karena tidak ada uang sehingga tunda wisuda dan memenuhi permintaan masyarakat bahwa ia harus caleg.
“Saya masih belum selesai kuliah, belum wisuda padahal seharusnya saya harus tamat S 1 (wisuda) tahun 2023 tapi hanya karena kekurangan uang Rp 2.800.000,00 (dua juta delapan ratus ribu), saya tidak wisuda,” ujarnya sambil mata kaca-kaca.
Hal itu terjadi lantaran ibundanya yang menjanda sehingga bisa memaksanakan keadaan walaupun tinggal di daerah yang penuh dengan emas. “Saya tidak bisa memaksanakan orang tua, makanya saya harus tinggalkan kuliah dan pulang ke sini,” ucapnya.
“Puji Tuhan bisa terpilih jadi anggota DPRD Paniai, sehingga dalam waktu dekat sebelum pelantikan saya kembali lagi selesaikan wisuda di kampusku di Jakarta,” katanya.
“Karena walapun saya masih muda tapi keinginan untuk mengabdi untuk rakyat dan daerah memang sudah lama ada di dalam lubuk hatiku,” ujarnya. (*)