Jayapura, WAGADEI – Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Senin, (25/3/2024) membenarkan bahwa anggotanya telah menyiksa seorang warga sipil asli Papua sebagaimana terekam dalam video yang viral di media sosial, serta menegaskan pihaknya telah menahan 13 prajurit tersangka penganiayaan yang terjadi pada awal Februari di Kabupaten Puncak, Papua Tengah.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Kristomei Sianturi mengatakan bahwa pria dalam video tersebut dan dua pria Papua lainnya – yang juga disiksa – adalah pemberontak separatis yang ditangkap setelah mereka diduga menembaki aparat yang menjaga Puskesmas di Desa Omukia di Kabupaten Puncak.
Ke-13 tentara yang terlibat dalam dugaan penyiksaan terhadap tiga warga sipil Papua tersebut ditangkap setelah muncul video viral yang memperlihatkan para prajurit tersebut memukuli dan menyayat seorang pria dengan bayonet.
Kristomei mengatakan kepada wartawan pada konferensi pers di Jakarta bahwa 13 pelaku tersebut akan segera ditetapkan sebagai tersangka. Mereka ditahan di markas Polisi Militer Kodam III/Siliwangi di Jayapura, Papua.
“Saat ini kami sedang memeriksa 42 prajurit TNI. Dari 42 personel tersebut ditemukan indikasi 13 di antaranya memang melakukan kekerasan,” kata Kristomei kepada wartawan, Senin, (25/3/2024).
Pangdam Cendrawasih Mayjen Izak Pangemanan mengatakan kejadian tersebut terjadi pada 3 Februari setelah pihak berwenang mendapat laporan dari warga setempat yang menyebutkan tiga warga Papua korban, Warinus Kogoya, Alianus Mirok, dan Defianus Kogoya berencana membakar Puskesmas di Omukia, Kabupaten Puncak, provinsi Papua Tengah.
Izak mengatakan TNI dan polisi memutuskan menjaga puskesmas untuk mencegah aksi tersebut. Namun, lanjutnya, ketiganya melepaskan tembakan secara sporadis yang menyasar petugas keamanan yang berjaga di Puskesmas sehingga terjadi baku tembak. Mereka ditangkap tidak lama kemudian.
“Salah satunya membawa senjata dan peluru saat ditangkap,” kata Izak dalam jumpa pers yang sama, seraya menambahkan Warinus tewas saat hendak dibawa ke kantor polisi dengan mobil polisi, dan ia melompat dengan tangan terikat.
“Kami bawa ke Puskesmas namun akhirnya meninggal dunia,” kata Izak seraya menambahkan, petugas sedang memeriksa Alianus dan Defianus di pos militer Gome, Kabupaten Puncak, yang mengakibatkan kejadian tersebut.
“Saya mohon maaf kepada seluruh masyarakat Papua dan saya berharap kejadian seperti ini tidak terulang lagi,” ujarnya.
TNI akan jatuhkan sanksi
Brigadir Jenderal Nugraha Gumilar, Kepala Pusat Penerangan TNI, menegaskan pihaknya akan memberikan sanksi jika prajurit tersebut terbukti bersalah dalam kasus dugaan penganiayaan tersebut.
“Sudah ada prosedur, dibekali semua aturan main. Jadi perlu kita tegaskan lagi, kita tidak pernah ada SOP (prosedur operasi standar) untuk tindakan kekerasan,” kata Nugraha.
Namun, dia mengklaim yang ditangkap adalah kelompok separatis Papua. “Ketiganya merupakan anggota Kelompok Kriminal Bersenjata. Dua sisanya sudah diserahkan ke polisi untuk penyelidikan lebih lanjut,” ujarnya dalam konferensi pers.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mempertanyakan pernyataan TNI terkait kronologis kejadian dan penyiksaan tersebut.
“Kalau memang mereka ingin membakar Puskesmas, maka itu merupakan tindak pidana dan kewenangan kepolisian. Bukan TNI,” kata Usman kepada BenarNews.
Usman mengatakan pernyataan resmi TNI berbeda dengan informasi di kalangan akar rumput. Menurut keluarga korban, aparat militer menangkap Defianus dan temannya Alinus saat kedua korban berada di atap dan kemudian menutupi atap rumah dengan alang-alang.
“Mereka tidak berencana membakar Puskesmas. Jadi, TNI harus menahan diri untuk mengambil kesimpulan yang cepat tapi tidak tepat,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa TNI harus terbuka dan tidak mencari-cari alasan atas pelanggaran tersebut.
“Penyiksaan yang dilakukan aparat keamanan, siapapun korbannya, merupakan kejahatan yang tidak dapat diterima baik dalam kondisi damai maupun dalam kondisi darurat perang,” imbuhnya.
Peneliti Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional Adriana Elisabeth mengatakan operasi standar militer Indonesia tidak melegalkan kekerasan dalam penyidikan.
“Kasus ini menjadi bukti bahwa telah terjadi reproduksi kekerasan di Papua,” kata Adriana kepada BenarNews.
Desakan untuk evaluasi
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo segera memerintahkan Panglima TNI untuk mengadili oknum TNI yang terlibat penyiksaan dan DPR mengevaluasi operasi keamanan di seluruh wilayah Papua.
Selain itu, LBH Papua juga meminta Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) membentuk tim investigasi dan mengerahkannya ke Kabupaten Puncak untuk mengusut kasus tersebut.
“Di Kabupaten Puncak ditemukan fakta pelanggaran ketentuan bahwa tidak seorang pun boleh ditahan, dipaksa, dikucilkan, atau diasingkan secara sewenang-wenang,” kata Gobay kepada BenarNews, merujuk pada Pasal 34 UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Gobay mengatakan kejadian di Kabupaten Puncak ini merupakan penyiksaan kedua yang dilakukan pihak berwenang dalam sebulan terakhir ini.
Pada bulan Februari, dua remaja berinisial MH dan BGE, masing-masing berusia 15 tahun, ditangkap pihak berwenang seminggu setelah insiden penembakan pesawat Wings Air oleh Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB).
Wakil Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Andi Muhammad Rezaldy menyebut penyiksaan di Kabupaten Puncak merupakan hal yang “sangat mengkhawatirkan”.
“Aparat militer tidak hanya melakukan tindakan di luar hukum, tetapi juga melanggar larangan hukum internasional,” kata Andi kepada BenarNews, merujuk pada Pasal 7 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Ia juga mendesak negara mengusut para terduga pelaku melalui sistem peradilan pidana umum, tidak hanya menangani disiplin internal, guna memastikan kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari.
“Meskipun sanksi disiplin masih dapat berlaku selama proses hukum sedang berjalan, namun sanksi tersebut tidak menggantikan proses peradilan di lingkungan peradilan umum,” tutupnya.
Papua mengalami peningkatan kekerasan menyusul serangan pemberontak yang mengakibatkan kematian 19 pekerja konstruksi jalan dan seorang tentara pada tahun 2018.
Pada tahun 2022, pemberontak separatis membunuh delapan karyawan yang sedang membangun menara seluler di Kabupaten Puncak.
Papua resmi menjadi bagian dari Indonesia berdasarkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah pengawasan PBB pada 1969 yang menyatakan rakyat Papua ingin bergabung dengan Indonesia. Namun sebagian warga Papua dan pegiat hak asasi manusia memandang Pepera tidak sah lantaran hanya melibatkan sekitar seribu orang yang dipilih militer untuk mewakili 800.000 warga Papua saat itu.
Sejak saat itu, kekerasan dengan korban warga sipil, pasukan keamanan dan anggota separatis terus berlangsung di tengah konflik antara TNI dengan kelompok separatis bersenjata yang ingin melepaskan diri dari Indonesia. (*/benar news)