Perempuan Bukan Soal Urusan Dapur, Sumur dan Kasur

Oleh: Gagah Nurjanuar Putra

SUATU MALAM, seseorang datang kepada saya. Ia bercerita tentang pertemuannya dengan salah satu pengusaha oleh-oleh kekinian di Surabaya. Setiap kalimat yang dilontarkannya lewat aplikasi obrolan itu terasa penuh kekesalan. Saya pun ikut kesal dibuatnya.

Kami kesal karena pengusaha oleh-oleh kekinian tersebut menganggap remeh perempuan. Katanya, setinggi apa pun pendidikannya, perempuan akan berakhir di dapur dan kasur.

Belakangan, kalimat yang mirip terlontar dari Kapolri Idham Aziz. Sang Jenderal meminta istrinya agar tidak turut campur dalam pekerjaan. Ia ingin istrinya hanya berurusan dengan persoalan dapur, sumur, dan kasur. Idham mengatakan itu supaya tidak ada yang memanfaatkan istrinya sebagai “pintu” untuk tujuan yang tidak baik, seperti minta jabatan dan lainnya.

Di negara demokrasi, orang memang bebas berpendapat. Pada satu sisi, Idham berpikir demi kebaikan. Namun, bagi saya, anggapan bahwa perempuan hanya boleh berurusan dengan persoalan dapur, sumur, dan kasur tidaklah benar. Anggapan tersebut sangat patriarki. Hanya orang-orang yang kadung enggan belajar yang berpikiran seperti itu. Sebab, semua perempuan—terutama di zaman modern seperti ini—tidak harus berakhir begitu.

Komisioner Komnas Perempuan Adriana Venny Aryani juga—menegaskan kepada Tirto.id—bahwa ucapan Idham sama saja mendiskriminasi perempuan. Itu tidak selaras dengan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Againts Women/CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984.

Saya setuju dengan apa yang disebutkan Adriana. Sudah seharusnya memang seorang polisi atau siapa pun yang ingin maju, untuk tidak melakukan diskriminasi. Perempuan tentu punya hak yang sama seperti semua orang.

Sejak percakapan dengan seseorang itu, saya ingat banyak sekali kisah yang mampu menampik soal persoalan dapur, sumur, dan kasur. Semua orang sudah seharusnya sadar akan makna penghapusan segala bentuk diskriminasi, terutama—dalam hal ini—peran perempuan. 

Seorang Ibu, Seorang Guru

Saya lahir dari rahim seorang ibu yang hebat. Ia bukan ibu biasa. Ia seorang perempuan karier, berprofesi sebagai kepala sekolah dan guru di taman kanak-kanak, yang sekaligus ibu rumah tangga.

Pada 2012, Ibu menjadi tulang punggung keluarga. Ayah saya memutuskan berhenti bekerja demi kesehatannya. Akibatnya, ia tidak berpenghasilan tetap. Namun, dengan tegar Ibu tahu apa yang mesti dilakukan. Ia banyak mengeluarkan uang untuk membiayai pendidikan anak-anaknya, termasuk saya yang tahun itu baru mulai kuliah.

Tahun-tahun berlalu, Ibu semakin kuat. Kami sekeluarga juga ikut menguat. Boleh dibilang, kami saling menguatkan. Dalam keadaan susah-senang, kami selalu bersama, walau jarak memisahkan.

Kalau dipikir-pikir, persoalan Ibu tidak hanya keluarga, tetapi juga sekolah. Sebagai pemimpin, ia harus mengurus siswa-siswinya yang masih kecil-kecil. Mengurus anak kecil tidak pernah mudah. Namun, Ibu senang melakukannya.

Ibu bilang, sejak kecil ia memang ingin menjadi guru di taman kanak-kanak. Itu adalah cita-citanya. Ia yakin ia bisa. Sebab, ia tidak pernah mau mendengarkan orang-orang yang berkata tidak bisa.

Buktinya, puluhan tahun berlalu sejak Ibu mengajar di taman kanak-kanak. Ia tetap senang-senang saja. Siswa-siswinya sudah ada yang menikah dan beranak pinak. Saya adalah salah satu siswanya. Meski tentu belum menikah dan beranak pinak.

Ibu sangat menikmati perannya sebagai pengajar. Ia pandai dalam berbagai hal: menari, melukis, mendongeng, dan sebagainya. Setiap hari ia sibuk dengan hal-hal seperti itu.

Untuk urusan rumah tangga, Ibu berbagi peran dengan ayah saya. Tidak ada yang peduli siapa yang harus mencuci, menyapu, mengepel, memasak, dan sebagainya. Kami beruntung memiliki seorang ayah yang pengertian. Ia selalu mengizinkan istrinya untuk berkarier sebaik mungkin. Bahkan, dengan pendidikan setinggi mungkin.

Ayah saya hanya lulusan SMA. Ibu saya seorang sarjana. Namun, itu tidak mengurangi kemuliaan mereka. Keduanya orang tua yang hebat. Mereka membesarkan kami dengan kasih sayang. Tidak ada yang tidak percaya diri. Seperti saya bilang, kami saling menguatkan.

Ibu bahkan ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan setinggi mungkin, termasuk putri bungsunya, adik saya yang paling kecil. Sekarang, adik saya itu sedang kuliah. Mungkin akan melanjutkan ke jenjang magister setelah lulus sarjana. Ia sempat mengatakannya sendiri kepada saya.

Belajar dari Stece

Saya sempat meliput Honda DBL D.I. Yogyakarta Series 2019. Dalam salah satu pertandingannya, ada sebuah sekolah yang menarik. Namanya SMA Stella Duce 1 alias Stece.

Stece merupakan sekolah khusus perempuan. Tim bola basket mereka kuat. Gelar juara mereka ada tujuh.

Meski begitu, bukan tim bola basketnya yang menarik perhatian saya. Melainkan basis suporternya. Siswi-siswi Stece berani naik ke tribun. Mereka ramai sekali. Sampai penuh ke bagian atas.

Seperti halnya suporter lain, siswi-siswi Stece berbondong-bondong membawa perlengkapan ala tifosi sepak bola. Ada drum, lengkap dengan pemukulnya, juga umbul-umbul yang menjuntai. Ada pula panji 3D yang membentang di langit-langit. Mereka bahkan punya koreografi.

Usut punya usut, Stece membangun kultur suporter dengan cara belajar. Mereka belajar menabuh drum, menciptakan yel-yel, dan sebagainya. Mereka berani naik ke atas tribun agar bisa menyemangati teman-temannya yang berjuang di lapangan. Para suporter tidak malu dan tidak melulu berpikir bahwa perempuan harus mengurus soal dapur, sumur, dan kasur. Mereka tidak begitu.

Siswi-siswi Stece terkenal mandiri. Mereka perempuan, tapi bukan perempuan yang lemah. Mereka kuat sebagaimana perempuan harus kuat. Kemandirian menyetir diri mereka untuk maju. Mengubah masing-masing orang menjadi pejuang sehingga yang di lapangan pun mendapatkan dukungan yang selayaknya mereka dapatkan.

Saya juga sempat menemui salah seorang pemain. Namanya Athalia Wynne Prastika. Ia sangat senang dengan kehadiran suporter. Itu membuat motivasinya terjaga, sehingga tidak ingin menyia-nyiakan dukungan mereka. Apalagi mengingat jerih payah para suporter yang rela meluangkan waktu untuk menyiapkan segalanya, dari belajar menabuh drum sampai membuat panji 3D yang dibentangkan di langit-langit.

Dari mereka, saya semakin yakin bahwa perempuan bisa mandiri. Mereka tidak harus bergantung. Tidak pula harus mengerjakan hal yang itu-itu saja. Mereka bisa menjadi sesuatu yang berbeda dari pikiran orang lain hanya karena mereka ingin melakukannya.

Jalan Hidup Lindsay Gottlieb

Lindsay Gottlieb adalah perempuan yang hebat. Ia lahir di Scarsdale, New York, Amerika Serikat pada 2 Oktober 1977. Meski datang dari latar keluarga pengacara, bahkan ayahnya seorang hakim pengadilan negeri, Gottlieb jatuh cinta kepada olahraga sejak kecil, terutama bola basket. Jalan hidupnya seolah sudah digariskan sejak awal.

“Saya adalah gadis kecil yang selalu ingin memegang bola,” kata Gottlieb seperti dikutip Cal Sports Quarterly, majalah University of California Department of Intercollegiate Athletics, dalam edisi 38 pada musim dingin 2011-2012. “Musim olahraga apa pun itu, saya ingin main. Saya hanya ingin bermain bola (basket) sepanjang waktu.”

Minat Gottlieb terhadap bola basket terus terpupuk. Ia sempat bermain sebagai garda Brown University di Ivy League. Namun, sempat pindah ke Australia setelah ibunya meninggal dunia. Gottlieb belajar menjadi seorang pelatih secara serius di sana.

Ketika kembali ke Brown pada tahun terakhir, Gottlieb kemudian merangkap jabatan sebagai pemain sekaligus asisten pelatih. Ia bekerja sama dengan jajaran pengurus tim untuk merumuskan permainan. Semua orang di sana mencintainya. Mereka bahkan menganugerahinya dengan gelar Team Heart and Soul Award.

“Selama tahun terakhir, pelatih membiarkan saya memiliki peran ganda. Saya berada di tim sebagai pemain sekaligus asisten yang membantu rapat, membuat surat perekrutan, dan banyak hal lainnya. Saya benar-benar menyukainya,” ungkap Gottlieb dalam esainya yang berjudul “Why I’m Here” yang terbit di laman The Players’ Tribune.

Pada saat yang sama, Gottlieb mendapat gelar sarjana ilmu politik. Ia lulus dari Brown University dengan bangga. Karena selain bisa mengejar karier lewat bola basket, ia juga bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Gottlieb fokus jalan terus agar bisa membuktikan kualitas dirinya.

Setelah lulus, perempuan berkebangsaan Amerika Serikat itu juga tidak lantas menjadi ibu rumah tangga yang berakhir dengan persoalan dapur, sumur, dan kasur. Ia memang seorang ibu, tetapi punya karier sebagai pelatih di universitas-universitas terkemuka. Dari Syracuse University sampai University of California, Berkeley.

Suatu hari, setelah bertahun-tahun menangani tim universitas, klub profesional mendatanginya. Cleveland Cavaliers, sebuah klub asal Ohio, meminta Gottlieb menemani Kepala Pelatih John Beilein mulai musim 2019-2020. Gottlieb dengan senang hati menerimanya. Ia pun resmi menjadi asisten pelatih sekaligus pelatih universitas pertama yang direkrut menjadi staf pelatih dalam sejarah NBA.

Pelatih perempuan di NBA saat ini memang tidak banyak. Per Oktober 2019, hanya ada tujuh pelatih perempuan yang aktif bertugas di NBA, termasuk Gottlieb. Namun, liga tersohor sedunia itu tidak menutup mata pada kesempatan lain. Mereka terus membuka pintu untuk menerima pelatih perempuan.

Bagi Gottlieb, kesempatan itu menjadi semacam mimpi yang menjadi kenyataan. Sudah sejak lama ia ingin menangani klub NBA. Orang-orang di sekitarnya juga selalu mendukung. Dukungan itu menjadi kekuatannya.

“Bukan karena saya gila, sombong, atau tidak realistis. Namun, karena tidak ada yang mengatakan kepada saya bahwa saya tidak bisa,” kata Gottlieb. “Pilihan. Bahkan, ada beberapa orang yang saya kenal dan saya hormati mengatakan saya bisa. Sangat penting untuk memiliki orang-orang itu dalam hidup Anda, seperti orang-orang yang akan memberi tahu tentang kemampuan Anda.”

Masih soal Dapur, Sumur, dan Kasur

Dari tiga cerita di atas (sebenarnya masih banyak cerita lainnya), maka soal perempuan, dapur, sumur, dan kasur tampaknya tidak relevan lagi. Ketika zaman telah berubah, pikiran juga ternyata banyak berubah.

Patriaki memang masih ada. Sangat jelas. Namun, itu tidak akan menyetop perempuan untuk mandiri dan terus melawan diskriminasi.

Sementara itu, bagi kita yang mawas diri, sudah seharusnya memandang perubahan dengan cara yang berbeda. Kita belajar setiap hari. Pelajaran-pelajaran itu mestinya membuat kita lebih bijaksana, termasuk bijaksana dalam memandang peran perempuan. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *