Potensi Permasalahan HAM; Komnas HAM audiensi dengan Masyarakat Adat Meepago, DPRD Nabire dan Pemprov Papua Tengah

Nabire, WAGADEI – Tim Pengamatan Situasi HAM Papua Komnas HAM mengadakan audiensi dengan sejumlah kelompok masyarakat di Papua Tengah dan Papua Barat pada 22-28 Oktober 2023.

Audiensi disertai diskusi dengan organisasi keagamaan, perwakilan masyarakat adat dan masyarakat sipil di wilayah Papua Tengah, khususnya Nabire dan sekitarnya untuk mencatat gambaran situasi hak asasi manusia. Pertemuan perdana digelar di Gereja Pantekosta GPDP Jemaat Elim Oyehe, Nabire, Senin, (23/10/2023).

“Untuk memahami Papua, kami melakukan pertemuan konsultasi dengan masyarakat, pemerintah dan pemangku kepentingan di Papua, sebelumnya kami sudah bertemu dengan stakeholder di Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat Daya (untuk pengamatan pengungsi), dan beberapa daerah di Papua untuk penangananan atas kasus yang terjadi,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro.

Masyarakat kemudian menyampaikan pandangannya terhadap otonomi khusus (DOB) dan permasalahan HAM serta harapan/tuntutan terhadap Pemerintah, khususnya Komnas HAM untuk perlindungan dan penegakan HAM di Papua.

Sejumlah organisasi keagamaan, masyarakat adat dan masyarakat sipil hadir, antara lain Ketua Dewan Adat Papua Mepago Herman Sayori, Ketua LMA Nabire Socrates Sayori, Aktivis HAM Yones Douw, Pemuka Agama, KPKC Kingmi, Jaringan Peduli Kekerasan Perempuan, ELSHAM, Solidaritas Perempuan, Abeth A. You wartawan Jubi dan lain-lain.

Adapun persoalan-persoalan di Papua Tengah yang teridentifikasi, antara lain dampak daerah otonomi baru, optimalisasi dana otsus yang belum dirasakan masyarakat, siklus kekerasan yang tinggi di Papua Tengah, kekerasan terhadap perempuan, konflik agraria dan sumber daya alam, pengungsi akibat konflik dan lain-lain.

Persoalan Papua yang kompleks merupakan isu prioritas Komnas HAM. Selain siklus kekerasan yang terus terjadi, terdapat beragam persoalan lain. Di wilayah Papua Tengah, misalnya Komnas HAM mencatat selain siklus kekerasan yang tinggi, persoalan hak asasi manusia lain  di wilayah tersebut seperti kesejahteraan masyarakat yang berkaitan erat dengan kemiskinan, pengangguran, pemenuhan hak atas kesehatan, pemenuhan hak atas pendidikan, pengungsi dan lingkungan yang berkaitan dengan konflik agraria dan sumber daya alam. 

Ketua Dewan Adat di Nabire, Herman Sayori, menyebut ada tiga pilar utama bagi masyarakat Papua, yaitu agama, adat, pemerintahan. Peran optimal ketiga pilar inilah yang diharapkan dapat menjadi jalan keluar persoalan di Papua.

Menyambung Herman, Atnike juga sepakat bahwa  Komnas HAM mengambil posisi untuk menjembatani ketiga pilar tersebut. 

“Komnas HAM menjadi jembatan pemerintah dan masyarakat. Mengamati tanggung jawab pemerintah dalam pemenuhan HAM agar berjalan maksimal, dan di sisi masyarakat Komnas HAM memetakan persoalan yang ada dan penanganannya,” kata Atnike.

Oleh Komnas HAM, gambaran persoalan yang diungkap masyarakat ini akan menjadi catatan dan disampaikan oleh para pemangku kepentingan baik di tingkat pusat maupun pemerintah daerah untuk penanganananya.

Pertemuan ini dihadiri pula Wakil Ketua Eksternal Abdul Haris Semendawai, Kepala Biro Dukungan Penegakan HAM Imelda Saragih, Kapokja Layanan Pengaduan/Sekretaris Tim Papua Endang Sri Melani dan Anggota Tim Pengamatan Situasi HAM di Papua, yaitu M. Unggul Pribadi, Yorgen Numberi, Nareki Kogoya, dan Kurnia Fajriati.

***

Selanjutnya, pada hari Selasa, (24/10/2023) pihak Komnas HAM melakukan diskusi bersama Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Nabire, Ketua Komisi A dan anggota Komisi A di Kantor DPRD Kabupaten Nabire pada pagi hari dan pertemuan dengan Pj. Sekretaris Daerah  dan Asisten I Pemerintah Provinsi Papua Tengah pada sore hari di kantor Gubernur Papua Tengah.

Situasi penerapan prinsip hak asasi manusia di wilayah Provinsi Papua Tengah menjadi perhatian Komnas HAM. Peran aktif pemerintah daerah untuk mengawal implementasinya menjadi kunci untuk mengatasi konflik disertai kekerasan.

“Garda terdepan dalam pelayanan masyarakat dan pemenuhan hak asasi manusia adalah pemerintah daerah. Oleh karena itu, disini dibutuhkan peran aktif pemerintah daerah,” ungkap Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro.

Ia melihat persoalan hak asasi manusia yang muncul di Papua Tengah seperti konflik kekerasan yang tinggi, serta pemenuhan hak atas kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan akibat hak dasar warga tidak dipenuhi.

“Konflik kekerasan yang terus terjadi berdampak pada permasalahan pengungsi. Tidak mudah pula bagi pengungsi untuk kembali. Selain itu, fasilitas umum dan pelayanan publik bagi masyarakat turut lumpuh,” kata Atnike.

Beberapa isu lain dibahas dalam pertemuan terkait hasil audiensi Komnas HAM dengan kelompok masyarakat sipil, masyarakat adat, dan tokoh agama atas permasalahan HAM di Provinsi Papua Tengah, khususnya Nabire. Isu tersebut, antara lain dampak DOB (daerah otonomi baru) dan otonomi khusus, hak-hak masyarakat adat, sengketa lahan, dan permasalahan ekonomi, sosial dan budaya lainnya. 

Komnas HAM memberikan catatan penting terkait beberapa isu ekonomi, sosial, budaya di kalngan masyarakat yang perlu mendapat perhatian dan tindak lanjut dari Pemprov Papua Tengah. 

Pj. Sekda Pemprov Papua Tengah turut menilai bahwa figur kepemimpinan menjadi kunci penting dalam tata kelola pemerintahan di seluruh wilayah Papua. 

Beberapa upaya telah dilakukan dalam kurun waktu satu tahun pasca DOB disahkan. Terdapat 12 agenda tata kelola, antara lain persiapan ASN, infrastruktur bahan dan pembangunannya, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK), Pilgub dan Wagub dan lainnya. Meskipun sudah dipersiapkan, beberapa gejolak masih terjadi di Provinsi Papua Tengah, seperti Peristiwa Dogiyai. 

Masalah tapal batas, perlindungan terhadap perempuan dan anak, dan layanan kesehatan juga masih terjadi hingga seluruh kabupaten di Provinsi Papua Tengah. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *