Jayapura, WAGADEI – United Liberation Movement For West Papua(ULMWP) periode 2023-2028 yang ditetapkan pada 3 September 2023 di Vanuatu, berkomitmen untuk menyoroti situasi nyata yang terjadi di Papua Barat sebagai akibat dari pendudukan Indonesia. Berbagai laporan yang telah diterbitkan oleh kalangan NGO maupun CSO, menunjukan indikasi kuat bahwa masalah yang berlangsung di Papua Barat sedang mengarah padaproses “Genosida, Ekosida dan Etnosida,” secara perlahan namun pasti.
Presiden Eksekutif ULMWP, Menase Tabuni mengatakan, selama bulan Juli hingga September 2023, ULMWP mencatat telah terjadi kekerasan olen aparat bersenjata Indonesia terhadap warga sipil Papua Barat di Kabupaten Dogiyai, Fakfak, Yahukimo, Nduga dan Pegunungan Bintang. Tindakan aparat keamanan ini telah menyebabkan 13 orang tewas, tujuh orang mengalami luka-luka, 16 orang ditangkap, satu orang dianiaya dan 674 warga sipil telah mengungsi.
“Kami orang Papua tidak memiliki masa depan bersama dengan Indonesia, banyakorangtelah menjadi korban akibat konflik selama lebih dari enam dekade. Sumber Daya Alam kami telah dirampok oleh Indonesia. Tanah Adat kami dirampas dengan dalih pembangunan sehingga Orang Papa tidak memiliki rang hidup. Arus migrasi dari luar Papua telah menyebaban orang asli Papua termarginal dan menjadi minoritas di atas tanah leluhur kami. Saat ini kami sedang berjuang untuk memastikan eksistensi kami di masa depan,” kata Menase Tabuni kepada wagadei.id melalui keterangan tertulisnya, Senin, (9/10/2023).
Berdasarkan beberapa data yang telah dipublikasi menyajikan informasi tentang buruknya situasi yang dihadapi oleh orang Papua saat ini.
Ia menjelaskan berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri pada 2020 menunjukan bahwa OAP berjumlan 1,6 juta jiwa, dari total populasi penduduk Provinsi Papaberjumlah 4,30 juta jiwa dan Papa Barat yang berjumlah 1,13 juta jiwa, atau total sebesar 5,43 juta jiwa. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa prosentase OAP adalah sebesar 29 persen dari total populasi penduduk Papa dan Papa Barat; atau 0,58 persen dari total populasi penduduk Indonesia yang berjumlah 275,36 juta jiwa.
“Orang Papua tersingkir dalam segala kehidupan ekonomi dan umumnya dikuasai oleh kaum pendatang dari luar tanah Papua. Salah satu faktor yang mempengaruhi dominasi ini selain nepotisme, kaum pendatang lebih dipermudah dalam memperolen akses pinjaman modal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Nasional Indonesia, sampai dengan tahun 2015, terdapat 7.478 perusahaan industri dari berbagai sektor yang eksis di Provinsi Papua. Sementara diperkirakan terdapat lebih dari 2000 perusahaan yang beroperasi di provinsi Papua Barat. Perusahaan baikdalam skala makro maupun mikro, umumnya dimiliki oleh warga migran,” ungkapnya.
Sektor pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, menunjukan bahwa penguasaan
lahan oleh perusahaan konsesi semakin mengancam ruang hidup OAP. Sebanyak 23.830.632 hektar telah dijadikan sebagai area konsesi untuk 445 perusahaan yang mencakup mineral, minyak, gas, hutan dan perkebunan yang beroperasi di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Data Palm Oil Watch pada 2017 menyebutkan bahwa perusahaan Kelapa Sawit di provinsi
Papua dan Papua Barat menerima pendapatan lebih dari 200 juta US Dolar pertahun. Sedangkan data dari Specialist Geology pada 2017 menyebutkan bahwa, PT Freeport Indonesia memiliki rata- rata pendapatan sebesar 16 juta US Dolar perhari.
“Nilai ini tentunya sangat jauh dibandingkan penerimaan dana Otonomi Khusus Papua melalui skema bagi hasil. Nilai pendapatan tersebut di atas belum termasuk dengan sumber penerimaan keuangan dari sektor perikanan, hutan industri, hutan alam dan pajak,” ujar Menase.
Tabuni mengatakan, konflik bersenjata masih terus berlangsung di beberapa wilayah seperti Mimika, Pegunungan Bintang, Nduga, Puncak Papua, Intan Jaya, Puncak Jaya, Yahukimo, Tambrauw dan Maybrat. Indonesia telah menempatkan 47.261 personil militer di Papua, di mana sekitar 24 ribu personil telah dimobilisasi ke titik konflik yang masih bergolak.
“Selama periode konflik, kami perkirakan sebanyak 67 ribu warga telah mengungsi meninggalkan kampung halaman mereka,” katanya.
Sekretaris ULMWP Markus Haluk menegaskan, mengacu pada situasi nyata yang sedang berlangsugn di Papua Barat, ULMWP menyerukan kepada berbagai pihak baik di Papua Barat, Indonesia, Melanesia, dan komunitas Internasional bahwa Pemerintah Indonesia, sesuai janji Presiden Indonesia Joko Windodo kepada Pelapor Khusus Dewan HAM PBB pada Februari 2018 untuk mengundang Dewan HAM PBB melakukan kuniungan West Papua sebelum memasuki tahun 2024.
“Tuntutan kami (ULMWP) kepada Presiden Indonesia Joko Widodo ini juga sejalan tuntutan dari berbagai negara dan pemimpin dunia. Secara kontinyu sejak 2015, 16 negara anggota PIF, 79 negara anggota ACP di Naerobi Kenya pada Desember 2019 dan debat dalam Sidang Umum PBB pada 8 tahun terakhir ini supaya Pemerintah Indonesia memberikan akses kunjungan dewan HAM PBB ke West Papua,” katanya.
Pihaknya sangat mengutuk keras semua tindakan kebiadaban Pemerintah Indonesia dalam melakukan kejahatan kemanusiaan, kejahatan ekologi dan etnologi yang berdampak pada genosida, ekosida dan etnosida pada bangsa Papa dalam kurun 60 tahun pendudukan Indonesia di West Papua.
“Kami minta kepada Pemerintah Indonesia, tuan Presiden Indonesia Joko Widodo, para menteri dan para pihak lainnya di Indonesia untuk menghentikan sikap serakah, rakus dan tamak pada kekayaan alam Papua. Berhenti menggandaikan kekayaan alam Papua kepada pihak lain. Tanah, hutan dan air milik rakyat bangsa Papua,” katanya.
Tanah lanjut dia, bagi OAP merupakan aset berharga ciptaan Tuhan warisan leluhur. Maka menyerukan kepada rakyat Bangsa Papua untuk senantiasa menjaga tanah, dusun, kebun masing-masing dan tidak diperjualberikannya kepada pihak luar Papua.
“Rakyat bangsa Papua untuk tetap senantiasa menjaga satu dengan yang lain diantara orang Papa. Kita menjunjung tinggi sikap saling percaya, mengakui satu dengan yang lain dalam memperjuangkan kehidupan dimanapun orang Papua berada,” katanya. (*)