Jayapura, (WAGADEI) — Sudah seminggu dari sejak Selasa (21/3/2023) lalu, Komunitas Korowa Membaca atau Ko’Membaca yang bergerak di bidang literasi di Papua membuka donasi buku atau pengalangan buku bagi siapapun yang ingin menyumbangkan buku.
Informasi terkait donasi buku telah dishare melalui berbagai all platform media sosial milik komunitas dengan flayer donasi yang berisi tentang ringkasan informasi donasi.
Hal ini disampaikan Mis Murib, pendiri komunitas Ko’Membaca, ketika menghubungi wagadei.id melalui sambungan teleponnya, Senin (27/3/2023).
“Seminggu berjalan kami sudah buka donasi buku. Untuk itu kepada siapapun yang ingin menyumbangkan buku, dengan senang hati kami siap terima. Untuk informasinya sudah kami share di semua medsos milik komunitas. Bisa dilihat disitu dan hubungi kami,” harapnya.
Jenis buku yang dapat disumbangkan bebas. Apapun, kata dia, siap terima.
“Intinya buku layak dibaca. Mau buku apa saja boleh. Kami tidak batasi. Kepada siapapun yang punya buku lebih dan tergerak mau sumbang, langsung saja hubungi kami,” harapnya lagi.
Sejak didirikan 20 Februari 2022 di Semarang berangkat dari sebuah diskusi kecil mengenai dinamika persoalan pendidikan di Papua, donasi buku yang dilakukan ini adalah yang kedua kali.
“Ini yang kedua di Papua. Pertama kami sudah lakukan di Jawa-Bali. Banyak buku yang waktu itu didonasikan ke kami oleh mahasiswa/i dan beberapa universitas yang peduli dengan literasi disana,” jelasnya.
Dia sebut, jumlahnya hingga mencapai 12 kardus dengan total buku keseluruhan 2.010 buku. Jenis buku yang didonasikan beragam dari rohani, filsafat, novel, politik, ekonomi, geologi dan lain-lain.
“Maka sekali lagi, kami ucapkan banyak terimakasih kepada siapapun yang nanti akan donasikan bukunya demi kita bersama-sama kembangkan sumber daya manusia (SDM) Papua di bidang literasi,” mohonnya.
Mis Murib lebih lanjut mengungkapkan alasan utama membuat ia dan beberapa rekannya terdorong hingga mendirikan komunitas Ko’Membaca yang kini sudah berkedudukan tetap di Nabire, ibukota provinsi Papua Tengah.
Murib mengaku, yakni dari setelah melihat kualitas pendidikan formal di Papua dari sarana, prasarana dan sumberdaya manusia (guru) yang tidak maksimal sangat mempengaruhi pada kognisifitas atau perkembangan siswa.
Seperti, dicontohkannya, pemberlakuan kurikulum k-13 saat ini yang tidak tepat karena merupakan kurikulum jawanisasi yang mana bertentangan dengan provinsi lain dalam penyesuaian sistem pendidikannya.
“Pertanyaan hal mendasarnya adalah secara ilmu antropologis, apakah orang Papua sama dengan orang Jawa? orang Maluku sama dengan orang Sumatera? Jelas tidak!. Dengan demikian pendidikan formal tidak harus berpijak pada kurikulum k-13. Tetapi setiap pemimpin sekolah harus merubah sistem pendidikan secara konteksual sesuai dengan dinamika serta peradaban masyarakat setempat. Karena jika tidak, sumber daya manusia yang dicetak oleh sekolah tersebut tidak akan pernah bermutu,” terangnya.
Maka untuk menjawabnya, dia mengajak, dinamika eksistensi orang Papua terutama anak-anak muda Papua hari ini diharuskan memiliki kuantitas dan kualitas untuk menjadi pemuda yang berkompeten dalam segala bidang, sala satunya dibidang literasi.
“Nah, untuk menjadi pemuda yang berkompeten (kuality) di segala bidang, pertanyaannya, apakah kita hanya belajar di sekolah formal saja? ataukah universitas saja? ataukah organisasi lokal yang lebih kepada kepemimpinan (learn leadership) saja?,” tanyanya.
Beberapa pertanyaan diatas, imbuhnya, hanya bisa dijawab dengan fikiran yang jernih, akal yang sehat dan otak yang fresh dengan bukti tindakan nyata.
”Tidak cukup hanya dengan ucapan,” tukasnya.